31.

93 13 9
                                    


Semua orang, anak-anak Cenderawasih, menghampiriku dan ingin menjadi temanku, tetapi aku juga merasa semua orang pergi dari hidupku. Mamah menghindariku, Papah tidak lagi kurasakan figurnya, Lucas di-skors, dan  Putri ... seorang teman yang kupikir bisa kumiliki juga tanpa basa basi menjauhiku lagi. Bahkan ... Jerico.

Dia hanya menganggapku sebuah boneka. Akhirnya dia juga membuangku tanpa harus aku yang  repot-repot memikirkan cara untuk menyisihkan Jerico di hidupku. Hanya saja perasaan terasingkan oleh orang-orang tersebut membuatku tidak nyaman, serapi apapun aku menyembunyikannya dari hatiku. Tentu saja, dibuang oleh Jerico adalah pengecualian.

Semua hal yang terjadi hari ini membuat hatiku sangat dingin. Tanpa sadar aku mengerutkan bibir dan mencengkeram erat-erat sendok di tangan. Ini waktunya makan malam dan hanya ada aku sendirian di meja makan yang panjang dan besar ini.

Apakah mereka, keluargaku, menyuruhku makan dengan hantu yang tak terlihat?!

Aku benci merasa sendirian.

Aku berdiri, hendak meninggalkan meja makan yang menyedihkan ini tanpa menyentuh makan malamku sama sekali. Saat itulah Jerico datang dan duduk di kursi yang bersebrangan denganku di meja makan. Ini tidak seperti biasanya, dia tidak mengambil posisi di sampingku.

Baguslah, sekarang kan dia punya Putri, pikirku sinis.

"Duduk," titahnya.

Aku mengembuskan napas berat dan memilih pergi saja. Namun, kemudian terdengar suara klik dari sebuah gawai. Dan percakapan Jerico dengan si penelepon seperti petir, menyambar dan membuat luka ke seluruh tubuhku.

Anehnya, aku merasa suara si penelepon terasa agak ... familier.

"Tuan, Nyonya Miranda sudah berkendara sendirian menuju ke mansion."

"Bagus. Buat seolah-olah dia kecelakaan tunggal."

Aku cepat-cepat kembali ke tempat duduk dengan kaku. Ekspresi Jerico tetap tidak puas. Aku kalut, aku harus bagaimana untuk menghentikan Jerico?

"Baik, Tuan."

Aku berlari ke arah Jerico sampai kursi makanku terjungkal ke belakang, lalu bersujud di sampingnya.

Jerico kini memandangku dan ada senyum main-main di wajah sinisnya. Dadaku masih terasa sakit akibat perkataannya barusan. Aku sudah sangat letih mengharapkan papah kembali padaku, aku tidak mungkin merelakan mamah mati bahkan meski aku adalah anak yang kurang ajar.

Aku menyayangi beliau meski aku enggan mengucapkannya.

"Tunggu aba-aba dariku."

"Baik, Tuan."

Aku meraih kaos baju Jerico dan memohon melalui mataku. Jerico mematikan teleponnya. Dia menatapku tajam.

"Jangan dimatiin teleponnya. Bilang sama orang itu, jangan dilakuin. Gue siap ngelakuin apa aja asal mamah selamet, gue mohon," ujarku dengan suara bergetar.

"Kenapa gue harus ngedengerin elo?" cerca Jerico tajam. "Bukannya lo juga ngerencanain ini sama Lucas ke gue?"

Keringat mulai memenuhi punggungku hingga baju yang kukenakan sepertinya mulai basah dan menempel di kulitku.

"Gue gak ngerti apa yang lo bilang," sanggahku gugup.

"Gue berbesar hati berangkat sendirian ke sekolah agar lo gak ikut celaka bareng gue," kata Jerico menekankan setiap kalimatnya.

Aku menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Bagaimana Jerico bisa tahu hal yang kubahas dengan Lucas kemarin malam?

"Gue gak tau apa sebenernya rencana Lucas ke elo, Kak Rico. Gue cuma disuruh gak berangkat bareng lo. Ini semua salah Lucas, gue gak ada hubungannya," kataku membela diri.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang