Chp. 9 : Tangled Emotions

636 51 0
                                    

Angela duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi bayangan bulan yang masuk melalui jendela kamarnya. Dunia baru ini, yang sebelumnya hanya sekumpulan kata di novel A Peaceful World, kini menjadi kenyataan yang hidup. Berbagai perasaan memenuhi pikirannya, terutama saat ia memikirkan Raymond. Meskipun Raymond selalu baik padanya, Angela sadar bahwa sikap lembut Raymond tidak hanya ditujukan padanya, melainkan kepada semua orang di sekitarnya.

"Sial," umpat Angela.

Angela menggigit bibir bawahnya, memikirkan perasaannya yang semakin berkembang terhadap Raymond. Ia tahu, cara Raymond memandang Isabella berbeda—penuh dengan kehangatan dan perhatian. Kenangan tentang tatapan mesra Raymond kepada Isabella memenuhi pikiran Angela, membuat hatinya terasa nyeri. Ia tahu bahwa Raymond menyimpan perasaan mendalam untuk Isabella, sesuatu yang jelas terlihat dalam novel yang dia baca. Novel itu kini tampak semakin nyata, dengan Angela sebagai penonton dari kisah cinta yang bukan miliknya.

"Ini juga salah ku, karena tidak bisa menutup pintu ketika Raymond mengetuknya. Padahal dia hanya bersinggah, bukan menetap." Gumam Angela dengan sendu.

Suatu malam, setelah berusaha melupakan perasaannya yang rumit, Angela memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar mansion. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya. Saat melewati ruang tamu, Angela terhenti. Di dalam ruangan itu, ia melihat Raymond dan Isabella berbicara dengan akrab.

"Apakah Isabella akan menginap disini?" Gumam Angela melihat interaksi mereka.

Isabella tertawa lembut, dan Raymond tersenyum hangat. Isabella duduk di sofa, mengenakan gaun hijau muda yang membuat wajahnya bersinar. Rambutnya yang panjang terurai indah di pundaknya. Raymond berdiri di dekatnya, dengan sikap yang santai namun penuh perhatian.

"Kau benar-benar pandai berbicara, Raymond," kata Isabella dengan senyum menawan. "Aku selalu merasa nyaman saat berbicara denganmu."

Raymond tersenyum lembut, menatap Isabella dengan tatapan yang begitu hangat hingga membuat hati Angela terasa berat. "Itu karena kau pendengar yang baik, Isabella. Aku selalu bisa menjadi diriku sendiri saat bersamamu."

Angela menahan napas, merasa seolah-olah dadanya diremas. Pemandangan itu, meskipun sederhana, menusuk hatinya. Raymond dan Isabella tampak begitu cocok bersama, seolah-olah mereka adalah potongan dari gambar yang sempurna, dan Angela merasa dirinya tidak termasuk dalam gambar itu. Perasaan cemburu semakin menguat saat ia melihat tatapan lembut Raymond pada Isabella. Tatapan itu mengingatkan Angela bahwa kisah cinta Raymond dan Isabella adalah bagian dari cerita yang seharusnya tidak ia ganggu. Ia mengalihkan pandangannya dengan cepat, hatinya berdebar dan perasaan campur aduk.

Angela merasa seperti menjadi pengganggu dalam kisah cinta mereka yang sempurna. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Raymond tidak seharusnya berkembang lebih jauh. Tapi setiap kali ia mencoba untuk melupakan perasaannya, pemandangan tadi kembali menghantui pikirannya, membuat hatinya terasa lebih perih. Angela berbalik dan bergegas kembali ke kamarnya, berusaha menjauh dari pemandangan yang membuat hatinya sakit.

"Niat hati ingin menenangkan diri, justru semakin membuat sakit hati. Dasar bodoh kau, Angela." Gerutu Angela menendang-nendang angin.

Malam itu, Angela berusaha keras untuk tidur, pikirannya penuh dengan pikiran tentang Raymond dan Isabella. Saat ia berbaring, pintu jendelanya tiba-tiba terbuka dengan suara keras. Evander muncul, wajahnya tegang dan napasnya memburu, seolah-olah baru saja melarikan diri dari sesuatu.

"Evander?" Angela terkejut, berusaha bangkit dari tempat tidur. Sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Evander dengan cepat menutup jendela di belakangnya dan berlari untuk menutup mulut Angela dengan tangannya.

"Diam," bisik Evander, suaranya terdengar tegang.

Dari luar, Angela bisa mendengar suara samar-samar orang-orang yang mencari Evander. Mereka berdiri dalam kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela, sementara ketegangan memenuhi udara.

Setelah beberapa saat, suara orang-orang itu perlahan mereda. Evander merasa aman dan melepaskan tangannya dari mulut Angela. "Terima kasih," katanya dengan nada rendah, matanya masih penuh kewaspadaan.

Angela berkacak pinggang dengan pipi mengembung kesal. "Tanganmu bau tahu!" serunya, berusaha mengalihkan perasaan terkejutnya dengan marah.

Evander, yang tidak terbiasa dengan kelakar, mengendus tangannya dan memandang Angela dengan bingung. "Apa kau mempermainkan ku?" tanyanya dengan nada datar.

Angela menghela napas panjang. "Ya! Kenapa? Kau masuk ke kamar seorang gadis di malam hari tanpa izin dan membungkam mulutku! Apa kau tidak punya sopan santun?"

Evander tetap tenang, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. "Aku dikejar musuh ayahku. Ini tempat terdekat untuk bersembunyi. Kau terlalu percaya diri," jelasnya dengan nada yang lebih dingin daripada biasanya.

Angela mendengus, tetapi rasa marahnya mulai mereda. "Tetap saja, kau harus menghormati privasi orang lain, terutama di malam hari. Bahkan Raymond tidak pernah masuk ke kamarku seperti ini," ucapnya, suaranya masih terdengar tegas, meskipun ada sedikit getaran.

Evander menatap Angela dengan tatapan dingin yang biasa. "Bagaimana jika aku suamimu? Apa kau masih akan mengomel seperti ini?" tanyanya dengan nada bercanda, meskipun wajahnya tetap dingin dan serius.

Angela terkejut dan memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. "Keluar! Keluar kau sekarang!" serunya.

Angela mendorong Evander ke arah jendela dengan tangan kecilnya. Evander membiarkan dirinya didorong, sedikit tersenyum melihat reaksi marah Angela. Sesampainya di dekat jendela, dia tiba-tiba mengacak-acak rambut Angela dengan tangan besarnya sebelum melompat keluar.

"Terima kasih sudah menolongku. Aku akan membalas budi ini," katanya sambil melompat keluar dengan lincah.

Angela berdiri di sana, wajahnya bersemu merah karena kesal. "Sialan kau!" teriaknya, meskipun Evander sudah hilang dalam kegelapan malam.

Ia tidak percaya bahwa ia baru saja mengalami insiden yang aneh itu. Evander memang bukan seperti yang Angela bayangkan. Sikap dingin dan cenderung berbicara sedikit membuatnya sulit untuk dipahami. Meskipun ia kesal dengan cara Evander memperlakukan dirinya tadi, ada rasa penasaran yang tak dapat dipungkiri. Angela menutup jendela dengan kasar, mencoba mengabaikan perasaan campur aduk dalam hatinya.

***

Keesokan harinya, Angela berusaha mengalihkan pikirannya dari insiden semalam dengan membantu di dapur. Namun, bayangan  interaksinya Raymond dan Isabella terus menghantui pikirannya. Ia merasa bingung dan terombang-ambing antara perasaan cemburu pada Raymond dan alur cerita novel a peaceful world.

Raymond mendatangi Angela yang sedang membersihkan jendela, memecah kesunyian dengan senyum hangatnya.

"Angela, aku baru saja mendapatkan buku menarik. Bagaimana kalau kita membacanya bersama?"

Angela, dengan perasaan rumitnya terhadap Raymond, menolak dengan sopan namun tegas. "Maaf tuan muda, saya sedang bekerja. Saya sudah terlalu sering menghindar dari pekerjaan."

Melihat nada tak suka dari Angela dan panggilan tidak biasa, membuat Raymond bingung namun tetap tersenyum dengan mata sendunya.

"Baiklah, tidak apa-apa. Jika kau butuh sesuatu, katakan padaku ya."

Dengan kata-kata itu, Raymond pergi, meninggalkan Angela yang merasa bersalah. Namun, Angela tahu bahwa perasaannya harus ditahan.

Apa boleh buat? Angela tidak boleh menaruh perasaan apapun kepada Raymond.

"Maaf, maafkan aku. Aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi, aku tidak ingin jika alur cerita novel hancur hanya karena perasaan ku. Suruh siapa kau baik! Aku jadi salah mengerti kan..." Gumam Angela dengan lesu.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang