Chp. 32 : Entangled Destinies

384 32 0
                                    

Malam telah larut ketika semua orang di mansion Vilya terlelap dalam keheningan. Bulan di luar bersinar redup, menambahkan kesuraman pada bayangan gedung yang besar dan megah. Di dalam, cahaya lilin yang redup di beberapa sudut koridor hanya mempertegas kegelapan yang menyelimuti sebagian besar ruangan.

Di tengah keheningan itu, seseorang mengendap-endap di koridor gelap, berhati-hati agar langkah kakinya tidak terdengar. Dia menyelinap dengan gerakan terlatih menuju kamar Angela. Pintu terbuka perlahan, nyaris tanpa suara. Bayangan itu melangkah masuk, menutup pintu kembali dengan perlahan.

Angela tidur dengan damai di atas ranjang, wajahnya terbenam dalam bantal, hanya terlihat bayang-bayang wajahnya yang lembut dalam kegelapan. Orang itu meraih bantal yang tidak terpakai di samping tempat tidur, dan dengan hati-hati menempatkannya di atas wajah Angela, menekan dengan kekuatan yang mematikan. Angela terbangun tiba-tiba, terkejut, matanya terbelalak saat udara terenggut dari paru-parunya. Dia berusaha keras melepaskan bantal itu, tangannya meraba-raba tanpa hasil, menggeliat di tempat tidur dalam usaha sia-sia untuk melawan.

Evander, yang tak bisa tidur tenang malam itu, merasa perlu memeriksa keadaan Angela. Ketika dia mendekati pintu kamar Angela, dia mendengar suara gemerisik yang tidak biasa. Dia mendorong pintu terbuka dan terkejut melihat Angela bergulat di tempat tidur, dengan bayangan seseorang di atasnya. “HEI, APA-APAAN KAU?!” teriaknya marah, suaranya memenuhi kamar.

Sosok itu tersentak kaget, melepaskan cengkeraman pada bantal dan berbalik untuk melarikan diri. Evander melompat maju, mencoba menahan orang itu, namun pelaku dengan cepat mendorongnya keras hingga membuat Evander terjatuh. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, orang itu melarikan diri ke arah jendela, melompat dengan satu gerakan cepat.

Evander bangkit, siap mengejar. Namun, Angela yang tersengal-sengal menarik napas dalam-dalam, berteriak, “Jangan, Evander! Ini lantai tiga, kau bisa terluka!”

Evander menuruti peringatan Angela, menghentikan langkahnya tepat di depan jendela terbuka. Dari sana, dia hanya bisa melihat bayangan orang itu terjatuh di bawah, berjalan tertatih-tatih sebelum menghilang dalam kegelapan malam.

Segera dia berbalik, kembali ke Angela yang masih berbaring di tempat tidur, berusaha meraup oksigen. “Apakah ada yang sakit?” tanyanya penuh kekhawatiran, matanya menyapu tubuh Angela untuk memastikan tidak ada luka serius.

Angela, meski masih terengah-engah, menggelengkan kepalanya lemah. “Tidak, aku baik-baik saja,” katanya, meskipun suaranya terdengar lemah.

“Baik-baik saja bagaimana? Kau hampir terluka oleh orang itu! Aku yakin, dia adalah Lysa,” ucap Evander dengan nada penuh kemarahan, rahangnya mengeras saat mengepalkan tangannya.

Angela tersenyum tipis, mencoba menenangkan pria itu. Dia meraih tangan Evander dan menariknya untuk berbaring di kasur. “Bisakah kau temani aku tidur?” pintanya lembut.

Evander menghela napas panjang, menganggukkan kepalanya. Dia berbaring di samping Angela, menjadikan lengannya sebagai bantal. Meski merasa cemas, dia mencoba menenangkan dirinya. Angela memeluknya erat, mengusap-usap tangan Evander dengan lembut. “Aku disini hanya menjadi benalu. Bukankah jika aku mati, semua akan baik-baik saja? Aku tidak boleh membiarkan orang di sekitarku tiada,” bisik Angela dengan lirih, kata-katanya penuh keputusasaan.

***

Lysa terbangun dengan terengah-engah dari mimpi buruk yang menyiksanya. Dia mendapati dirinya berada di sebuah hamparan bunga yang indah, pemandangan yang terasa aneh setelah kegelapan yang mengancam. Dia menoleh ke sekeliling dengan bingung, mencoba memahami di mana dia berada. “Lysa!” teriak seseorang dari kejauhan.

Lysa berbalik, melihat Alaric yang berlari menghampirinya dengan senyum lebar di wajahnya. “Alaric...” lirih Lysa, suaranya nyaris tak terdengar.

Alaric berlari mendekat dan meraih Lysa ke dalam pelukan hangatnya. “Kau kemana saja? Aku mencari-cari mu tahu!” ucap Alaric dengan lembut, mengusap-usap surai Lysa dengan penuh kasih sayang.

Namun, sebelum Lysa bisa menjawab, pelukan itu tiba-tiba terlepas. Alaric ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat, tubuhnya terlempar menjauh. Lysa berteriak, mengejarnya, namun sia-sia. Alaric menghilang tanpa jejak, meninggalkan Lysa yang putus asa, menangis tersedu-sedu memanggil namanya berulang kali.

Pemandangan hamparan bunga berubah menjadi ruangan gelap yang menakutkan. Di sana, orang-orang yang pernah dibunuh oleh Lysa berkumpul di sekitarnya, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. “Kau iblis! Kau pantas mati! Kau yang seharusnya mati! Ini semua karena kau! Mati kau mati! Mati ikut dengan kami! Mati!” Mereka berteriak bersamaan, tangan-tangan mereka mencengkeram leher Lysa, membuatnya tercekik.

“TIDAKKKKK!” Lysa berteriak ketakutan, tubuhnya menggeliat tak berdaya.

Dia terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuhnya. “Ternyata, itu hanya mimpi,” gumam Lysa dengan suara gemetar, mencoba menenangkan dirinya yang masih dilanda ketakutan.

Namun, sebelum hatinya benar-benar tenang, pintu kamarnya didobrak keras. “HEI ROSE, CEPAT BANGUN DAN BEKERJA!” teriak seseorang dengan nada kasar, berdiri dengan berkacak pinggang di ambang pintu. “Kau ini masih baru tapi sudah bangun kesiangan, kau ingin dipecat, hah?!”

Lysa mengeraskan rahangnya, menatap orang itu dengan tajam. Amarah mendidih di dalam dirinya, namun dia menahan diri. “Lihat, lihat mata mu itu! Lagi dan lagi kau menatap tajam seperti itu! Cepatlah bangun dan bekerja! Madam Choo akan memarahi mu jika kau tak kunjung bangun!” orang itu menambahkan sebelum pergi.

Dengan napas berat, Lysa mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang mendidih. Meski tak rela, dia bangun dari tidurnya, tubuhnya terasa lemah. Kakinya terluka, membuat setiap langkahnya terasa menyakitkan dan tertatih-tatih.

***

Evander menuntun Angela untuk sarapan pagi. Di ruang makan yang terang benderang, Raymond, Calix, dan Vilya sudah duduk mengelilingi meja dengan aneka hidangan. Angela duduk dengan hati-hati, Evander memastikan dia nyaman sebelum mengambil tempat duduk di sampingnya.

“Kemana Isabella?” tanya Angela ketika tak menemukan sosok Isabella di antara mereka.

“Aku disini, Angela,” jawab Isabella sambil memasuki ruang makan, langkahnya tertatih-tatih.

Semua perhatian tertuju kepada Isabella. Wajah-wajah mereka dipenuhi kekhawatiran ketika melihat kondisi Isabella yang jelas kesakitan. Calix segera bangkit dan membantu Isabella duduk dengan hati-hati. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh perhatian.

Evander, yang semula fokus pada Angela, kini beralih memperhatikan Isabella. “Semalam aku terjatuh dari tangga,” ucap Isabella dengan senyum lemah, mencoba meredakan kekhawatiran mereka.

“Astaga! Makanya kenapa kau tidak hati-hati?! Sekarang bagaimana? Apakah terasa sakit?” tanya Calix khawatir.

“Tentu saja sakit! Kau ini, pertanyaan mu tidak bermutu!” jawab Isabella mendelikkan matanya, namun senyumnya menunjukkan bahwa dia menghargai perhatian Calix.

Calix menggaruk tengkuknya, merasa sedikit canggung. Sementara itu, Raymond bertanya dengan serius, “Apakah sudah diobati?”

“Uhm, sudah,” angguk Isabella dengan senyum.

Para pelayan datang, membawa hidangan sarapan dan menyusunnya di atas meja. Evander, yang semula memperhatikan Isabella dengan kecurigaan samar, kini melihat seorang pelayan yang berjalan tertatih-tatih. Matanya menajam, memandang dengan pertanyaan yang belum terucap.

“Siapa pelakunya?” tanyanya dalam hati, tatapannya menyiratkan kegelisahan yang semakin dalam.

Masalah yang mereka hadapi kini lebih rumit dari yang tampaknya, dan Evander tahu bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan keselamatan Angela dan mereka semua.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang