Chp. 30 : Fugitives of Time

394 33 0
                                    

Raymond menghela napas panjang di ruang kerjanya, tempat yang biasanya menjadi pelarian dari hiruk-pikuk kehidupan istana kini terasa sepi dan menyesakkan. Di hadapannya, tumpukan kertas yang memuat perintah raja dan laporan para kesatria terasa seperti beban berat yang menekan batinnya. Pikirannya terus-menerus kembali pada sosok Alaric, sahabat yang selama ini dianggapnya seperti saudara sendiri. Beberapa hari yang lalu, mereka masih bisa tertawa bersama, membicarakan hal-hal sepele, tanpa satu pun tanda bahwa Alaric menyimpan rahasia kelam yang berpotensi menghancurkan segalanya.

Isabella mengetuk pintu ruang kerja Raymond yang terbuka. Ia masuk dengan hati-hati, menyadari beratnya beban yang dirasakan temannya. Melihat Raymond yang menatap kosong ke arah tumpukan kertas, Isabella merasa iba. Ia mendekati Raymond dan mengusap lembut punggungnya. "Raymond, semua ini bukan salahmu," katanya lembut, berusaha menenangkan hati yang sedang terluka.

Raymond menundukkan kepalanya, suaranya penuh penyesalan. "Ini salahku, Isabella. Andai aku tahu penderitaan yang dialami Alaric, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Aku seharusnya lebih sadar, lebih peduli."

Isabella menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini bukan salahmu. Kau sudah melakukan yang terbaik sebagai sahabat dan sebagai pelindung kerajaan. Terkadang, ada hal-hal yang bahkan orang terdekat kita pun tidak bisa kita pahami."

Raymond merasa hampa. Ketika kedua orang tuanya meninggal, Alaric adalah orang yang datang dan mengisi kekosongan dalam hidupnya. Persahabatan mereka sejak sekolah membuat Raymond percaya bahwa ia telah mengenal Alaric luar dalam. Kenyataan bahwa Alaric menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia ketahui menghancurkan kepercayaan dirinya sebagai sahabat.

***

Di tempat lain, di sebuah ruangan yang tersembunyi dari pandangan orang, Alaric berusaha keras merawat luka di kepala Lysa. Tubuhnya sendiri penuh luka, tapi pikirannya hanya terfokus pada keselamatan Lysa. "Aku tidak ingin melihatmu terluka lagi, Lysa," ucapnya dengan suara serak, tangan gemetar saat mengoleskan salep pada luka di kepala wanita itu.

Lysa menatap Alaric dengan mata penuh rasa bersalah. Tangannya terangkat, menyentuh lembut pipi Alaric yang penuh lebam. "Maaf, pasti sakit ya?" tanyanya lirih.

Alaric tersenyum lemah, menggelengkan kepala. "Tidak, ini tidak sakit. Aku lebih sakit jika hidup tanpa mu," katanya, kata-kata itu mengandung rasa cinta yang mendalam.

Mata Lysa berkaca-kaca. Ia merasa marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa mengatasi ketakutannya? Mengapa ia terus-menerus menyakiti Alaric setiap kali sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya?

Alaric selesai mengobati Lysa dan berdiri, memandang wanita yang duduk lemah di depannya. "Luka mu sudah diobati, sekarang makan dulu ya? Aku akan pergi sebentar untuk membeli persediaan," ucapnya sambil meraih jubah hitamnya.

Lysa menggenggam tangan Alaric dengan erat, tatapan cemasnya tak bisa disembunyikan. "Jangan lama-lama ya? Aku tidak ingin sendirian lagi," pintanya dengan mata yang masih basah.

Alaric tersenyum, mengusap lembut rambut Lysa. "Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Aku hanya akan pergi sebentar," katanya, berusaha menenangkan kegelisahan Lysa.

Dengan berat hati, Alaric meninggalkan rumah kecil mereka, sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup mereka yang penuh cobaan. Ia menuju pasar, dengan hati-hati memilih barang-barang yang mereka butuhkan untuk persiapan musim dingin yang akan datang. Ia tak ingin Lysa kedinginan atau kelaparan.

Namun, di pasar, matanya menangkap sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di papan pengumuman kerajaan, terpampang jelas wajahnya dan Lysa dengan tulisan besar: "Dicari hidup atau mati." Hadiah besar ditawarkan bagi siapa saja yang berhasil menangkap mereka.

Kepanikan mulai merayapi Alaric. Ia tahu bahwa mereka pasti akan ketahuan suatu saat, tapi tidak menyangka akan secepat ini. Dengan segera, ia mengumpulkan barang-barang yang sudah ia beli dan bergegas kembali ke rumah. Kecemasan semakin mendalam saat ia melihat pintu rumah mereka terbuka dan berantakan.

"LYSA!" teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Namun, tak ada jawaban. Alaric mencari ke setiap sudut rumah, tapi Lysa tidak ada di manapun.

Perasaannya semakin cemas. Hingga akhirnya ia mendengar suara dari halaman belakang. Suara yang membuat bulu kuduknya meremang. "MATI! MATI HAHAHA MATI KAU MATI!"

Alaric berlari menuju halaman belakang, dan pemandangan yang ia lihat menghancurkan hatinya. Seorang pria tergeletak tak berdaya di hadapan Lysa, tubuhnya berlumuran darah. Lysa, dengan pisau di tangannya, terus menusukkan senjata itu ke tubuh pria yang sudah tidak berdaya. Tawanya terdengar serak, tapi matanya penuh kesedihan dan ketakutan.

"T-tolong..." lirih pria itu, tapi tak lama kemudian ia tak bergerak lagi.

Alaric tertegun. Dengan segera, ia berlari ke arah Lysa, meraih tangannya yang memegang pisau. "Lysa, sudah cukup. Dia sudah pergi, sekarang semuanya baik-baik saja. Ada aku di sini," katanya sambil memeluk erat Lysa.

Lysa terdiam, kesadarannya perlahan kembali. Ia membiarkan pisau itu terjatuh dari tangannya dan memeluk Alaric dengan erat, menangis sejadi-jadinya. "Hiksss Alaric, a-alaric aku takut... D-dia... Dia tiba-tiba masuk dan ingin membawa ku pergi hiksss... Aku takut, t-takut..." tangisnya tak tertahankan.

Alaric memeluk Lysa lebih erat, air mata mengalir di pipinya. "Maaf, maaf karena aku datang terlambat. Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Lysa," ucapnya dalam hati dengan sungguh-sungguh. Ia merasa gagal melindungi Lysa, namun juga marah pada dunia yang tak pernah memberi mereka keadilan.

***

Sementara itu, Angela masih berbincang dengan Artika-Angela dari masa depan. Percakapan mereka menambah kebingungan Angela, membuatnya merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.

"Walau begitu, Lysa hanya orang malang. Jiwanya mungkin masih tertinggal di usia 10 tahun, kenangan buruk itu pasti membuatnya ketakutan tiap hari," ujar Angela, suaranya bergetar menahan kesedihan.

Artika mengangguk pelan. "Meskipun begitu, pembunuh tidak bisa dilumrahkan. Dia sudah membunuh banyak manusia dan hewan tanpa perasaan, Angela. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan keji seperti itu."

"Tapi ... Tetap saja," bisik Angela, rasa simpati bercampur kebingungan.

Artika memahami dilema Angela. Di masa lalu, dia juga pernah merasakan hal yang sama. Namun, setelah kehilangan Evander, pandangan Artika berubah. Ia menyadari bahwa keadilan harus ditegakkan, bahkan jika itu berarti menghadapi kenyataan pahit.

"Kau akan mengerti setelah kehilangan seseorang yang sangat penting bagi mu. Pembunuhan, apapun alasannya, tidak bisa dibenarkan. Manusia yang berubah menjadi psikopat harus dihentikan," ucap Artika tegas, lalu berbalik pergi.

Evander memasuki kamar Angela tepat saat Artika pergi. Ia memperhatikan wajah Angela yang murung dan merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Angela, apa kau baik-baik saja?" tanyanya, duduk di samping Angela.

Angela menganggukkan kepalanya, mencoba tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja," katanya, meski di dalam hatinya ada banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang belum terjawab.

Evander merasakan kegelisahan Angela, tapi memilih untuk menunggu hingga Angela siap berbicara. "Aku akan menunggu sampai kau siap bercerita," ucapnya, sambil menggenggam tangan Angela dengan lembut.

"Terima kasih, Evander."

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang