Chp. 23 : Secrets Unveiled

384 39 0
                                    

Sejak pertemuan terakhir di kamar Raymond, Angela tidak pernah lagi melihat Evander. Mereka sepakat untuk melakukan penyelidikan secara terpisah, masing-masing dengan cara dan kepercayaan mereka sendiri. Meskipun tidak berarti mereka saling tidak percaya, ada perasaan bahwa saling menjaga jarak mungkin lebih aman. Mereka khawatir, pelaku sebenarnya adalah seseorang dari lingkaran terdekat mereka. Angela bahkan mulai curiga pada Raymond, namun pikirannya bergejolak dengan kontradiksi. Bagaimana mungkin Raymond, pria yang begitu baik dan ramah, tokoh utama dalam novel "A Peaceful World," bisa menjadi antagonis yang keji? Pikirannya terus memutar-mutar kemungkinan ini, tetapi bukti yang ia temukan tetap menggiring kecurigaannya ke arah Raymond. Setiap kali dia mencoba menyangkalnya, fakta-fakta yang ada kembali menyergapnya: pakaian bersimbah darah di taman belakang sangat mirip dengan pakaian Raymond. Dan ada pengakuan Raymond kepada Alaric tentang pakaian yang sering dibelinya. Bukankah itu sangat mencurigakan?

Sore itu, Angela duduk di teras belakang mansion dengan pikiran yang penuh dengan kecurigaan dan kebingungan. Ia begitu larut dalam pikirannya hingga tidak menyadari kehadiran Lysa yang berdiri di depannya.

"Angela, ada apa?" suara lembut Lysa menyadarkan Angela dari lamunannya.

Angela tersentak, tersenyum lemah sambil menjawab, "Ah, Lysa. Tidak ada apa-apa."

Lysa menghelakan napas panjang, menggenggam erat tangan Angela, dan menatapnya dengan serius. "Angela, kau tahu? Kau sudah seperti saudara bagiku. Setelah kehilangan Diana, aku tidak ingin kehilanganmu juga. Kehilangan Diana membuatku terpuruk dan ketakutan. Angela, ingat ini. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun dan di mana pun itu."

Angela tersenyum terharu mendengar ketulusan Lysa. Perasaan rindu pada sahabatnya, Artika, juga menyeruak di hatinya. Bagaimana kabarnya Artika sekarang?

"Terima kasih, Lysa," jawab Angela, suaranya bergetar. "Uhm... Apakah kau punya waktu? Aku ingin berbicara sesuatu."

Lysa mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja. Aku sudah bilang kan? Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun dan di mana pun."

Merasa didorong oleh keyakinan Lysa, Angela memutuskan untuk membuka sebagian dari bebannya. Mereka berjalan ke kamar Angela, di mana Angela menutup pintu dengan hati-hati sebelum mulai berbicara.

"Lysa," Angela mulai, dengan nada yang serius. "Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Ini tentang pakaian bersimbah darah yang kutemukan di taman belakang mansion. Pakaian itu sangat mirip dengan pakaian milik Raymond."

Mata Lysa membulat terkejut. "Sungguh? Ternyata dugaanku benar selama ini," katanya, setengah berbisik. "Kau tahu? Aku pernah mendengar percakapan antara Tuan Raymond dan Tuan Alaric. Tuan Raymond meminta tuan Alaric untuk membeli pakaian baru setiap minggu. Alaric sempat bertanya kenapa harus sepuluh pakaian setiap minggu, tapi Raymond hanya menjawab tidak ada apa-apa. Bukankah itu aneh?"

Angela menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Raymond yang baik hati itu... Tidak mungkin. Apakah dia?" bisiknya, setengah kepada dirinya sendiri.

"Aku tidak mengatakan bahwa Tuan Raymond pelakunya," lanjut Lysa, sedikit menenangkan. "Tetapi buktinya itu... bukankah ini aneh? Setiap kali kamu mendekati sesuatu, bukti itu selalu mengarah pada Putra Mahkota yang tak bersalah. Mungkin ini adalah sebuah jebakan."

Angela menganggukkan kepalanya, menyadari kebenaran di balik kata-kata Lysa. "Ya, aku mengerti. Tetapi aku pernah mengatakan tentang orang misterius yang selalu muncul di tempat kejadian, kan? Orang itu selalu meninggalkan petunjuk. Aku memiliki lima surat petunjuk darinya, meskipun aku merasa surat ketiga itu palsu." Angela mengeluarkan surat-surat tersebut dari laci dan menunjukkannya kepada Lysa.

Lysa menatap surat-surat itu dengan pandangan penuh pertanyaan. "Astaga, apakah orang misterius itu mungkin pelakunya?" tanyanya dengan nada cemas.

Angela menggeleng pelan, masih meragukan kemungkinan itu. "Aku sempat berpikir begitu, tapi aku tidak yakin. Petunjuk-petunjuk ini terlalu spesifik untuk dianggap sebagai kebetulan."

Lysa menggenggam tangan Angela, matanya bersinar dengan tekad. "Tidak apa-apa. Kita akan mencari tahu bersama. Malam ini, kita akan pergi ke tempat yang dimaksud dalam surat-surat itu."

Angela menatap Lysa dengan rasa syukur dan kebimbangan. "Apakah itu aman?" tanyanya ragu-ragu.

"Tidak apa-apa," balas Lysa meyakinkan. "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada di sini untukmu."

Sementara itu, di tempat yang jauh berbeda, Evander berusaha keras mencari petunjuk. Ia mengajukan pertanyaan kepada orang-orang di sekitar tempat kejadian, berharap ada yang melihat sesuatu yang aneh. Namun, semua usahanya hampir sia-sia. Semangatnya mulai pudar hingga ia menemui seorang gadis yang tampak gugup dan cemas.

"Apakah kau mengingat apa yang terjadi saat pembunuhan itu?" tanya Evander, menggenggam harapan terakhirnya.

Gadis itu gemetar, matanya memancarkan ketakutan yang mendalam. "Aku... Aku pernah diculik," jawabnya dengan suara pelan namun gemetar.

Evander terkejut, mendekat untuk mendengar lebih jelas. "Apa?" tanyanya, tetapi ibu gadis itu segera menarik anaknya menjauh.

"Pergi. Dia tidak melihat apa pun," ucap sang ibu, memeluk anaknya dengan erat.

"T-tidak... Aku benar-benar melihatnya," sang anak berusaha memberontak, air matanya mengalir di pipinya.

Evander memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Sebenarnya ada apa?"

Dengan enggan, ibu gadis itu menjelaskan, "Anak saya hampir menjadi korban. Pada malam itu, dia diculik dan sempat disiksa. Beruntung ada banyak warga yang lewat sehingga dia selamat. Namun, pelakunya melarikan diri."

Rasa simpati memenuhi hati Evander. "Apakah kau melihat orangnya?" tanyanya dengan lembut, sambil menunjukkan beberapa gambar wajah orang-orang yang mungkin menjadi pelaku.

Gadis itu memandangi gambar-gambar tersebut dengan tangan yang gemetar. Tiba-tiba, matanya terbelalak dan dia menunjuk dengan ketakutan. "D-dia... DIA ORANGNYA! ARGHHH TOLONG, TOLONG!" teriaknya, matanya penuh teror.

Gadis itu mulai berteriak histeris, meminta tolong sementara ibunya berusaha menenangkannya. "Pergilah tangkap pelaku itu," pinta sang ibu dengan air mata mengalir.

Evander menatap gambar yang ditunjukkan gadis itu dengan perasaan ngeri. "T-tidak mungkin..." gumamnya, matanya terbuka lebar dengan kepanikan.

"Cepat pergilah!" ucap ibu gadis itu mendesak.

Dengan segera, Evander berlari menuju kudanya, wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. Dia berpacu secepat mungkin, hatinya penuh dengan rasa takut yang tak tertahankan. "Aku mohon... semoga kau baik-baik saja, Angela," bisiknya sambil memacu kudanya menuju mansion. Hatinya bergemuruh dengan firasat buruk, dan dia hanya bisa berdoa agar Angela aman dari bahaya yang mengintai di balik kegelapan misteri ini.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang