Chp. 19 : The Elusive Truth

378 34 0
                                    

Malam itu, Raymond, Isabella, dan Angela berkumpul di ruang kerja yang remang-remang. Suasana serius dan tegang menyelimuti mereka. Berkas-berkas tersebar di meja, berisi bukti-bukti yang telah mereka kumpulkan selama beberapa bulan terakhir. Semua bukti itu mengarah kepada satu orang: Putra Mahkota Halion.

“Kita sudah punya semua bukti,” kata Raymond, matanya memandang serius ke arah Isabella dan Angela. “Ini saatnya kita menangkap Putra Mahkota.”

Isabella mengangguk setuju, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. “Ayo kita menangkap Putra Mahkota. Tapi, kemana perginya Evander?” tanyanya, melirik ke arah Angela.

Angela menggelengkan kepalanya dengan bingung. “Sedari kemarin, Evander tidak datang menemuiku. Aku tidak tahu dia di mana,” jawabnya, suaranya terdengar khawatir.

Raymond memandang mereka berdua dengan ragu, tapi kemudian menguatkan hatinya. “Baiklah, kita tidak bisa menunggu lebih lama. Kita harus bertindak sekarang.”

Dengan bantuan Calsix, Perdana Menteri muda yang mempunyai kekuasaan besar untuk menangkap penjahat, bahkan dari kalangan kerajaan, mereka merencanakan penangkapan Putra Mahkota. Calsix, yang juga teman dekat Isabella, telah setuju untuk membantu. Ia dikenal karena keputusannya yang selalu berpihak pada rakyat, bahkan jika itu berarti melawan anggota kerajaan.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, kabar mengejutkan datang. Putra Mahkota Halion ditemukan meninggal. Mereka terkejut dan segera menuju lokasi.

Ketika mereka tiba, pemandangan yang mengerikan menyambut mereka. Tubuh Putra Mahkota Halion dipajang dengan bersimbah darah, bekas sayatan yang masih baru terlihat di sekujur tubuhnya. Di dinding, terdapat tulisan "bodoh" yang dibuat dengan darah.

Mereka berdiri terpaku, terkejut dengan apa yang mereka lihat. Angela merasa tubuhnya bergetar, kertas yang ia pegang dari batu yang dilemparkan sebelumnya terasa semakin berat. Tiba-tiba, mereka dilempari batu lagi. Angela memungutnya dan membuka kertas yang melilit batu itu.

“Cari pelakunya segera, sebelum terlambat!” tulis pesan tersebut.

Mereka celingukan, mencari siapa yang melempar batu itu. Di kejauhan, Angela melihat siluet orang misterius. Orang itu berpakaian modern, sama seperti orang yang dilihatnya di pasar dulu.

Para ksatria dan Raymond segera mengejar orang itu, sementara Angela masih terpaku di tempat dengan tubuh bergetar. “Siapa... siapa sebenarnya? Siapa pelakunya? Apakah ada yang aku lewati?” gumamnya pada diri sendiri.

Sementara itu, di istana, Sang Ratu menangis tak karuan melihat tubuh anaknya yang diperlakukan dengan keji. Sang Raja, yang sudah memerintahkan para ksatria untuk menangkap pelaku, semakin murka ketika tahu orang misterius itu kembali lolos.

“Tidak berguna! Mengapa mengejar orang itu saja tidak bisa?!” teriak Sang Raja dengan amarah membara.

Para ksatria menunduk ketakutan. Isabella berusaha menenangkan Sang Ratu yang terus menangis. Situasi semakin tegang, dan murka Sang Raja makin memuncak.

“Aku tidak mau tahu, kalian cepat cari pelaku itu sampai dapat! Kalau perlu, nyawa kalian pertaruhannya pun kalian harus cari! Tunggu apa lagi?! Cepat cari!” perintah Sang Raja dengan suara mengguntur.

Grand Duke Raymond, yang berdiri di samping, mencoba menenangkan Sang Raja. “Yang Mulia, lebih baik yang Mulia tenang dulu,” pintanya.

“Tenang? Kau meminta aku tenang? Anakku mati dengan keji seperti ini kau meminta aku tenang? Hah?! Jawab!” seru Sang Raja dengan nafas memburu.

Calsix, yang selalu bijaksana, melangkah maju. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Tetapi marah-marah seperti ini tidak akan membuat Putra Mahkota kembali. Yang harus kita lakukan adalah menangkap pelakunya. Kita harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk menangkap pelakunya. Tuan Raymond dan Nona Isabella sudah mati-matian mencari tahu pelaku ini, oleh karena itu Yang Mulia tidak berhak menghakimi dan memarahi mereka seperti itu. Saya turut berduka atas apa yang terjadi dengan Yang Mulia Putra Mahkota, tetapi akan lebih bagus kita mengatasi ini dengan kepala dingin.”

Sang Raja terdiam mendengar perkataan itu. Bersamaan dengan itu, Sang Ratu jatuh pingsan. Isabella terkejut, “Yang Mulia!”

Mendengar teriakan Isabella, perhatian semua orang tertuju padanya. Mereka terkejut melihat Sang Ratu pingsan.

Sang Raja segera membopong tubuh Sang Ratu dan berkata kepada Raymond dengan menundukkan kepalanya, “Tolong tangkap pelaku itu. Jika kau membutuhkan ksatria, kekayaan, atau bahkan nyawaku, akan segera aku berikan. Tapi, tolong tangkap pelaku itu.”

“Tidak, Yang Mulia. Tidak perlu seperti itu. Ini memang sudah kewajiban saya untuk melakukannya,” jawab Raymond dengan tulus.

“Terima kasih,” ucap Sang Raja sebelum berlalu pergi dengan Sang Ratu dalam pelukannya.

Calsix menatap Isabella dan Raymond dengan tegas. “Isabella, lebih baik kau dinginkan kepalamu. Aku tahu kau sedang marah. Kau juga, Tuan Raymond, alangkah lebih baiknya atasi ini dengan kepala dingin. Lihat, raga Nona Angela memang ada di sini, tapi jiwanya pergi entah ke mana,” ucap Calsix, menatap Angela yang sedari tadi diam dengan pandangan kosong.

Raymond merasa bersalah karena melupakan Angela. Gadis itu pasti terbayang kembali akan kematian Diana. Dia pasti terpuruk dan putus asa melihat ini. Lagipula, ke mana Evander pergi? Mengapa ia tidak ada di sini?

“Ayo, Isabella,” ajak Calsix yang diangguki oleh Isabella.

Raymond datang menghampiri Angela dan menepuk bahunya dengan lembut. “Angela, ayo kita pergi.”

Angela menatap Raymond dengan pandangan kosong. “Sebenarnya, aku ada di sini untuk apa?” tanyanya pelan. “Mengapa semua ini terjadi? Mengapa?”

Raymond merasa hatinya hancur melihat Angela seperti itu. Ia hendak memeluk Angela, namun gadis itu menepisnya. “Ini semua salahku! Andai... Andai aku tahu siapa pelakunya dengan cepat, tidak mungkin ada korban seperti ini lagi... Andai buku itu... Buku itu hikss...” Angela menangis tersedu-sedu.

Raymond merasa sedih melihat Angela menangis seperti itu. Ia segera memeluk Angela, meskipun gadis itu terus memberontak. “Ini bukan salahmu, Angela. Ini salah iblis itu. Tenanglah, kumohon,” pintanya dengan suara lembut.

Angela hanya menangis dan terus menyalahkan diri sendiri di pelukan Raymond. Ia merasa sangat bersalah.

Raymond mendongakkan kepalanya, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia tidak bisa melihat Angela menangis seperti ini. Hanya Evander yang bisa menenangkan Angela. Ke mana pria itu pergi?

Di tengah kerumunan yang masih diliputi ketegangan dan kesedihan, bayangan Evander semakin membebani pikiran Raymond. Teman baiknya itu menghilang di saat paling genting. Ada sesuatu yang tidak beres, dan mereka perlu menemukan Evander untuk menjelaskan semuanya.

Raymond memandang ke arah cakrawala malam, berharap menemukan jawaban dari misteri yang kian rumit ini. Satu hal yang pasti, mereka tidak akan berhenti sampai keadilan terwujud dan pelaku sebenarnya ditemukan. Kekuatan persahabatan dan tekad mereka akan diuji hingga batas terakhir.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang