Chp. 22 : Angela's Startling Discovery

381 34 0
                                    

Hari mulai senja ketika Isabella datang ke mansion untuk melanjutkan diskusi. Wajahnya tampak penuh kekhawatiran, mencerminkan ketegangan yang meliputi semuanya. Angela, yang baru saja mengendap-endap ke ruang utama, memutuskan untuk memanggil Raymond yang masih berada di dalam kamar.

“Raymond?” panggil Angela, suaranya sedikit menggetar. Tidak ada jawaban. Angela mencoba lagi, kali ini lebih keras. Masih tidak ada sahutan.

Dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, Angela mendorong pintu kamar Raymond perlahan setelah mengetuknya dan berkata, "Permisi." Pintu terbuka memperlihatkan kamar luas dengan nuansa klasik dan mewah, dihiasi dengan furnitur antik dan tirai berenda tebal yang memberikan sentuhan elegan. Namun, kamar itu tampak kosong. Angela hendak memanggil Raymond lagi ketika ia mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi.

“Sedang mandi rupanya,” gumam Angela. Rasa penasarannya tertuju pada lemari pakaian besar di sudut ruangan. Pintu lemarinya transparan, memamerkan deretan pakaian mewah dan jas berpotongan rapi. Angela mendekat, tertarik oleh koleksi pakaian yang dipajang rapi di dalam lemari itu.

Tatapannya tiba-tiba terpaku pada salah satu pakaian yang terlihat sangat familiar. Tangan Angela terhenti di pegangan pintu lemari ketika dia menyadari bahwa pakaian-pakaian itu sangat mirip dengan yang ia temukan terkubur di taman belakang, dengan noda darah yang sama. Perutnya mual. "Tidak mungkin," bisiknya, mulutnya menganga tak percaya.

Tepat pada saat itu, suara gemericik air berhenti. Angela membelokkan matanya ke pintu kamar mandi yang mulai terbuka, mengungkapkan sosok Raymond yang baru saja selesai mandi, mengenakan jubah mandi putih dengan rambut yang masih basah.

Angela hendak melarikan diri, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik dengan keras oleh seseorang dari arah tempat tidur. Sebelum sempat berteriak, dia ditarik ke bawah kasur oleh tangan kuat yang membuatnya terperangkap dalam kegelapan. Tubuhnya terhimpit dan matanya berhadapan dengan wajah Evander yang tampak serius.

"Evander?" bisik Angela kaget, melihat pria yang menariknya ke bawah kasur. Mulutnya segera dibungkam oleh tangan Evander yang memberi isyarat agar dia diam.

Evander menaruh telunjuknya di bibirnya, “Stt.” Mereka berdua bersembunyi di bawah kasur, nyaris tidak bernafas. Dari celah sempit di bawah tempat tidur, Angela bisa melihat kaki Raymond yang berkeliaran di sekitar kamar, seolah sedang mencari sesuatu.

Raymond berhenti sejenak, memandangi sekeliling kamar. "Aku merasa seperti mendengar suara," gumamnya. Dia mengabaikan perasaan itu dan melangkah ke lemari pakaian. Angela menahan nafas, jantungnya berdebar keras di dadanya. Ia menyadari betapa dekatnya dia dengan bahaya.

Raymond membuka pintu lemari, mengeluhkan sesuatu tentang Alaric yang lupa membeli pakaian baru. "Pasti Alaric lupa lagi membeli pakaian," keluhnya. "Di sini pakaian ku sedikit lagi. Hmm... apakah aku coba pakai baju Alaric ya? Ukuran pakaian kita sama. Tapi... pakaian pria itu membosankan. Sudahlah, pakai yang ada saja."

Angela dan Evander saling menatap dalam kegelapan, napas mereka berkejaran dan wajah mereka begitu dekat sehingga Angela bisa merasakan panas napas Evander di kulitnya. Meskipun situasi mencekam, Evander merasa pipinya memerah. Evander menatap Angela tajam, matanya penuh kewaspadaan, tetapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak bisa Angela definisikan. Evander kemudian perlahan melepaskan tangannya dari mulut Angela, memberikan ruang untuk bernapas, namun tetap menjaga keheningan.

Raymond akhirnya menemukan pakaian yang diinginkannya, mengenakannya dengan cepat, dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Angela menghela napas lega, tetapi ketegangan belum sepenuhnya reda. Evander perlahan menarik Angela keluar dari bawah kasur, memastikan keadaan sudah benar-benar aman sebelum mereka berdiri.

Angela masih merasa canggung, wajahnya memerah ketika dia mengusap pakaiannya yang berdebu. Evander memandanginya dengan pandangan mencela, tetapi ada kekhawatiran yang jelas terpancar dari matanya. “Mengapa kau memasuki kamar pria tanpa izin? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu? Ini kamar pria, Angela, kamar pria!” Evander mengomel, memijat pangkal hidungnya dengan frustasi.

Angela, yang merasa bersalah tetapi juga defensif, melawan. “Lalu apa kabar denganmu? Seorang pria mendatangi kamar pria lain tanpa alasan yang jelas, lalu bersembunyi di bawah kasur? Kau penguntit, ya?!” suaranya bergetar antara marah dan takut.

“Ck, kau—” Evander menelan kata-katanya, menghela napas panjang. “Sudahlah, ayo ikut aku.” Tanpa menunggu jawaban, Evander menggenggam tangan Angela dan membawanya keluar dari kamar Raymond dengan cepat dan hati-hati.

Begitu mereka berada di koridor yang sepi, Angela melepaskan genggaman tangan Evander dan berhadapan dengannya dengan tatapan penuh tanda tanya. “Kemana saja kau selama ini? Kau menghilang tanpa jejak dan sekarang muncul lagi dengan cara seperti ini? Jelaskan, Evander!” desak Angela, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Evander menatapnya dengan mata gelap, tampak seperti sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. “Angela, ada hal-hal yang tidak bisa aku jelaskan sekarang. Aku sedang menyelidiki sesuatu, dan aku butuh waktu. Percayalah, ini demi kebaikan kita semua,” katanya dengan nada yang tegas namun misterius.

“Menyelidiki apa? Mengapa kau harus sembunyi-sembunyi?” tuntut Angela, merasa frustrasi dengan jawabannya yang tidak jelas.

Evander menoleh, memastikan tidak ada yang mendengar sebelum berbicara lagi. “Kau harus mempercayai aku. Aku mencoba melindungi kita dari ancaman yang lebih besar. Ada sesuatu yang sangat salah di sini, dan aku harus mengetahuinya sebelum terlambat,” kata Evander, matanya serius.

Angela merasa kebingungan. Keinginan untuk percaya pada Evander bercampur dengan kecurigaan yang tak dapat dia hilangkan begitu saja. “Aku ingin percaya padamu, Evander, tapi situasi ini... semua bukti mengarah ke arah yang berlawanan,” katanya, suaranya bergetar. “Dan aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya lagi.”

“Aku mengerti,” balas Evander lembut. “Dan itulah mengapa kau harus tetap waspada. Jangan mempercayai siapa pun sepenuhnya, bahkan aku. Lakukan penyelidikanmu sendiri, dan temukan kebenaran.”

Angela memandangnya dengan bingung, tetapi ia merasakan ada kejujuran dalam kata-kata Evander. Meskipun masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, dia mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan melakukan itu. Tetapi jika kau mencoba menipuku atau menyakiti siapa pun di sini, aku tidak akan memaafkanmu,” katanya, suaranya penuh tekad.

Evander mengangguk dan mereka melanjutkan langkah mereka ke ruang utama, di mana Isabella dan Raymond sudah menunggu dengan cemas. Angela merasa pikirannya bercabang, mencoba memahami setiap petunjuk yang ada dan siapa sebenarnya orang-orang di sekitarnya.

Di dalam ruangan, Angela menyadari bahwa permainan ini semakin berbahaya dan kompleks. Dia harus tetap waspada dan mencari tahu siapa yang bisa dia percaya dalam permainan penuh intrik dan pengkhianatan ini. Tekadnya semakin kuat: dia akan menemukan kebenaran dan membawa keadilan bagi mereka yang menjadi korban, apa pun yang terjadi.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang