Chp. 26 : Unraveling the Mystery

381 39 0
                                    

Di tengah malam yang gelap, Evander keluar dari mansion Raymond dengan hati yang penuh kecemasan. Cahaya bulan yang redup hanya cukup untuk menunjukkan jalan setapak menuju hutan, namun pikiran Evander tertuju pada satu hal: Angela. Gadis itu hilang, dan tidak ada yang tahu keberadaannya. Evander merasakan dadanya sesak setiap kali membayangkan Angela dalam bahaya. Langkahnya yang tegas terhenti ketika di kejauhan, ia melihat sosok-sosok berpakaian ksatria kerajaan Woodpine, berdiri tegak dengan ketegasan yang tak bisa disangkal.

Di antara para ksatria itu, tampaklah Vilya, putri kerajaan yang memancarkan aura kewibawaan. Ia berdiri dengan anggun, namun tatapannya penuh ketegangan. "Vilya? Mengapa kau di sini?" tanya Evander, kerutan bingung di dahinya.

Vilya melangkah maju, wajahnya menunjukkan keseriusan yang tidak biasa. Sebelum ia sempat menjawab, pintu mansion Raymond terbuka dengan keras, memperlihatkan Raymond yang keluar dengan tergesa-gesa. "Evander, tunggu a-," suaranya terputus ketika ia melihat Vilya dan para ksatria kerajaan. Dengan cepat, Raymond memberi salam hormat, sikapnya berubah menjadi formal.

"Mengapa kau ada di sini?" tanya Evander lagi, lebih mendesak kali ini.

Vilya menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Kalian tidak perlu pergi ke mana-mana," katanya pelan, namun dengan nada yang tegas.

Evander memandangnya dengan kebingungan. "Apa maksudmu?" Ia merasakan ketidaktenangan merayapi dirinya. Pikiran tentang Angela terus menghantui, membuatnya gelisah. Apa yang terjadi pada gadis itu sekarang? Di mana dia berada?

Vilya menghela napas, melihat perubahan ekspresi pada wajah Evander. Sahabatnya itu, yang biasanya dingin dan tanpa ekspresi, kini menunjukkan kerisauan yang sangat manusiawi. Seandainya Halion berada di sini, dia pasti akan mengejek Evander tanpa henti.

"Kau percaya padaku, kan? Aku mempertaruhkan takhta dan kekayaan jika aku berbohong. Datanglah ke tempat ini dan tunggu di sana. Aku akan membawa Angela," ujarnya, suaranya penuh keyakinan.

"Kau tahu di mana Angela berada? Di mana dia? Apakah dia baik-baik saja? Tolong, bawa dia kepadaku. Aku mohon," pinta Evander, suaranya pecah karena kecemasan yang mendalam.

"Tenanglah, sekarang pergilah ke sana. Nanti aku akan menjelaskan semuanya. Aku hanya tidak ingin kehilangan orang yang penting bagiku lagi. Mohon, kau harus beristirahat dan obati lukamu," ujar Vilya dengan nada penuh kekhawatiran.

Evander hendak membantah, tetapi Raymond menepuk pundaknya, memberi isyarat agar mempercayai Vilya. "Mari kita coba percaya," ujarnya pelan, meski Raymond sendiri juga diliputi kekhawatiran. Sikap serius Vilya, orang yang penting itu, mau tak mau membuat Raymond sedikit mempercayainya.

"Lindungi mereka. Sisanya ikuti aku," perintah Vilya kepada para ksatria. 

Vilya menaiki kereta kuda bersama setengah ksatria, meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Dua kereta kuda lainnya disiapkan oleh ksatria untuk Evander dan Raymond. "Mari, tuan," ujar salah satu ksatria, memberikan isyarat agar mereka segera pergi.

Raymond menepuk bahu Evander. "Ayo, Evander," ajaknya, mencoba menenangkan sahabatnya.

Evander mengangguk meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan tentang Angela. Ia merasa tak berguna, tidak bisa melindungi orang yang dicintainya. Ketidakberadaan Angela membuat pikirannya kacau dan hatinya terasa sesak. "Maafkan aku, Angela. Aku tidak akan mengampuni diriku jika suatu hal buruk terjadi padamu," batinnya penuh penyesalan.

Raymond, yang memahami kegelisahan Evander, juga merasa bersalah. "Apa yang kau pikirkan, Alaric?" batinnya penuh kemarahan pada sahabatnya sendiri.

Mereka bersiap-siap untuk meninggalkan mansion, namun tiba-tiba Evander berbelok ke jalan yang berbeda. Raymond yang terkejut segera mengejarnya, khawatir jika Evander terluka. Jika itu terjadi, Angela pasti akan sangat menderita.

Para ksatria, yang memiliki tugas melindungi Raymond dan Evander, juga mengikuti mereka. Mereka tahu betapa pentingnya keselamatan dua pria ini, terutama di tengah situasi yang tidak menentu.

***

Sementara itu, di dalam kereta kuda yang melaju cepat, Vilya telah menjemput Angela yang datang bersama Artika. Perasaan cemas bercampur lega mengisi suasana di dalam kereta. Angela duduk dengan gelisah, mencoba memahami situasi.

"Apakah dia ada di sana?" tanya Vilya, menatap Artika dengan penuh harap.

Artika mengangguk pelan. "Iya, dia di sana," jawabnya dengan keyakinan.

Angela, yang masih bingung, berbisik kepada Artika. "Artika, sebenarnya ada apa? Apa hubunganmu dengan Vilya? Kau tahu, jika Vilya adalah—" Namun sebelum Angela sempat melanjutkan, kereta kuda berhenti mendadak, membuat mereka hampir terjatuh.

"Yang Mulia, apakah kau baik-baik saja?" tanya seorang ksatria dari luar, nada suaranya penuh kekhawatiran.

"Ya, aku baik-baik saja. Apa yang terjadi?" Vilya hendak membuka pintu, tetapi pintu itu terbuka dengan keras sebelum ia sempat melakukannya. Semua orang di dalam kereta terkejut melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

"Evander?" Angela terkejut melihat pria itu berdiri di sana, napasnya terengah-engah dan wajahnya penuh kekhawatiran.

"A-Angela...," suara Evander bergetar dengan kelegaan. "Syukurlah, syukurlah kau baik-baik saja," katanya dengan kepala tertunduk, air mata mulai mengalir di wajahnya.

Angela terkejut melihat pria yang biasanya dingin dan kaku, kini menunduk menangis. Ia segera turun dari kereta kuda dan menghampiri Evander. "Hei... Ada apa?" tanyanya lembut, meraih pipi Evander.

Wajah Evander, yang biasanya tampak keras dan tak berperasaan, kini basah oleh air mata. Mata sembabnya menunjukkan betapa dalam rasa khawatir dan lega yang ia rasakan. "S-Syukurlah... Syukurlah kau baik-baik saja," ujarnya lagi, memeluk Angela erat-erat.

Angela yang bingung namun terharu, membalas pelukan itu dan mengusap-usap punggung Evander, mencoba menenangkan pria yang sekarang terlihat begitu rapuh. "Aku baik-baik saja, Evander. Aku di sini," bisiknya, mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Raymond, yang menyusul di belakang, menatap mereka dengan senyum tipis, meski kekhawatiran masih membayang di wajahnya. Dia tahu, pertemuan ini adalah titik balik bagi Evander dan Angela. Tanpa mereka sadari, Artika, yang duduk di dalam kereta, meneteskan air mata ketika melihat Evander. Ada kerinduan yang mendalam di hatinya, dan ia segera menghapus air mata itu, tak ingin membuat suasana menjadi lebih emosional.

"Lebih baik kita pergi sekarang, sebelum mereka mengetahuinya," suara Vilya memecah keheningan. Ia tahu bahwa situasi masih berbahaya, dan mereka harus bergerak cepat.

Mereka semua mengangguk setuju. Vilya dan Artika kembali masuk ke dalam kereta kuda, sementara Raymond menunggangi kuda. Evander, meski masih diliputi emosi, menghapus air matanya dan dengan lembut membawa Angela naik ke atas kuda bersamanya.

Kereta kuda dan para penunggang kuda pun bergerak melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Di tengah perjalanan itu, Evander tidak melepaskan pelukannya dari Angela, seolah-olah ia takut gadis itu akan hilang lagi. Dengan tangan kirinya memegang kendali kuda, tangan kanannya tetap erat memeluk Angela, menenangkan hatinya yang masih berdebar.

Angela, yang merasakan kehangatan pelukan Evander, terharu dengan perubahan sikap pria itu. Ia dengan lembut menghapus jejak air mata di pipi Evander. "Aku baik-baik saja, Evander," bisiknya lembut.

"Iya, dan aku akan selalu memastikan kau baik-baik saja," jawab Evander, mengecup singkat kepala Angela. Hatinya yang dulu beku, kini mulai mencair dengan kehangatan yang ia rasakan saat bersama Angela.

Angela tersenyum dan memeluk Evander erat-erat. "Walaupun begitu, aku akan memastikan kau tidak terluka, Evander," balasnya, suaranya penuh kehangatan dan tekad.

____________________________________

TO BE CONTINUED
____________________________________

The Binding Of Worlds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang