XVII. Tujuh Belas

54 3 0
                                    

Happy friday ⚘️

Happy reading~~





Terhitung sudah lebih dari satu bulan lamanya sang putri tertahan ditempat yang asing dan Dewi Lara linsing tak tahu bagaimana perasaan anaknya yang harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan orang-orang yang tak pernah ditemui oleh putrinya. Dengan jamuan yang sangat mewah ini tetap saja perasaan tak karuan tak pernah hilang. Dewi lara linsing ingin segera mengakhiri dan bertemu dengan putrinya.

"Terima kasih atas jamuan mewah ini. Tetapi rasanya aku sudah lama tak bertemu dengan putriku. Untuk itu aku pamit undur diri untuk melepas rindu dengan putriku."

"Baiklah. Kita sudah banyak berbincang hari ini," ujar sri maharani sambil berdiri tanda mempersilahkan para besannya meninggalkan tempan jamuan.

Dewi lara linsing tersenyum sebelum pergi. Namun kakinya tertahan saat sri maharani memanggilnya kemudian ia berbalik menatap sri maharani.

"Putrimu sangat cantik. Aku sangat menyukainya. Selama beberapa menit berbincang denganmu akhirnya aku mengetahui kecerdasan putrimu berasal dari mana," kata Ratu tribuana dengan ramah.

"Ya, putriku memang memiliki wajah rupawan dan otak yang cerdas. Dan ia juga berjiwa besar seperti ayahandanya." Kemudian Dewi lara linsing mengangguk sekilas lalu pergi segera menemui anak-anaknya.

Dan ketika matanya menatap kedua buah hatinya yang tengah asik berbincamg itu, betapa hatinya merasa adanya kelegaan apalagi saat melihat sang pitri yang baik-baik saja keadaannya.

"Aku yang akan menjaga galuh, sama seperti ayahanda," seru pangeran wastu kencana yang sedang memakan cemilan bersama sang kakak di gazebo kediaman putri dyah pitaloka.

Keimutan beliau tentu saja mengundang tawa putri Dyah pitaloka maupun Asih, Jenar dan Gendhis. "Dan aku akan mengawasi dari sini,"

"Iya itu benar. Kita sebagai saudara tentu harus bekerja sama."

"Aku tak akan merepotkanmu."

"Dewi," sapa Asih menyela pembicaraan mereka. Putri dyah pitaloka dan pangeran wastu kencana menoleh memdapati sang ibunda yang tengah menatap mereka dengan haru.

"Ibunda," seru pangeran wastu kencana sembari berlari memghampiri Dewi lara linsing dengan kaki pendeknya.

"Ibunda," sapa putri dyah potaloka.

Dewi lara linsing terseyum lalu mengusap pipi halus putri dyah pitaloka. "Apakah aku mengganggu kalian yang sedang bersantai?"

"Tidak ibunda."

"Tentu tidak ibunda. Bukankah ibunda berkata akan bertemu dengan kakak? Tapi ibunda malah pergi sangat lama," sela pangeran wastu kencana.

"Iya maaf ibunda pergi meninggalkan kalian sangat lama. Tidak baik.jiga bukan jika kita belum.bertemi dengan pemilik istana?"

Pangeran wastu kencana menunduk malu sambil berkata lirih, "ah iya juga."

Putri Dyah pitaloka terkekeh melihat adiknya yang menampilkan wajah imut itu. "Mari ibunda bergabung dengan kami. Eh, apa ibunda mau beristirahat dahulu?"

"Tidak. Aku aku akan bergabung dengan kalian."

Putri dyah pitaloka mengangguk kemudian mereka duduk di gazebo itu. Pangeran wastu kencana kini sudah tak mau lagi dianggap sebagai anak kecil yang selalu duduk dalam pangkuan ibundanya. Kini sang pangeran duduk disamping ibunda dan kakaknya.

"Asih, aku dan pangeran akan bermalam di kediaman putri Dyah pitaloka. Tolong dipersiapkan." Asih mengangguk kemudian pamit undur diri bersama Gendhis dan Jenar.

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang