IV. Opat

115 9 0
                                    


Mungkin sekitar kurang lebih sepuluh hari berlayar barulah Kinanti menapakan ke suatu daerah lahan kosong yang mungkin inilah yang di sebut sebagai lapangan bubat. Inilah tempat tragedi itu terjadi dan Kinanti memastikan tidak akan terjadi apa-apa.

Aku pikir lapang bubat itu seperti lapangan sepak bola.

Sibuk menelaah tampat ia tersadar setelah prabu Lingga memanggil namanya. Kemudian matanya tertuju pada orang-orang yang terlihat sebagai utusan dari kerajaan majapahit. Mungkin salah satunya adalah Mahapatih Gajah mada, dan Kinanti tidak tahu yang mana sosok sentral itu.

"Terimakasih atas sambutan yang begitu mewahnya," ucap Kinanti berbasa-basi karena ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia tersenyum sambil menangkupkan kedua tangannya dan menunduk sekilas.

"Ah jangan begitu sungkan, ini tidak ada apa-apanya. Kita kan akan berbesanan," jawab Kudamerta atau Wijayarajasa atau nama populernya Bhre Wengker. "Baiklah, kalian baru saja sampai istirahatlah sejenak."

"Eh bukankah seharusnya diantar menuju istana," ujar salah seorang patih sunda galuh.

Angin bertiup begitu kencang seolah menandakan terjadi ketegangan di kedua belah pihak. Jantung Kinanti terasa berhenti sejenak. Dengan gugup ia berkata sambil meremas tangannya yang dingin, "Kita baru sampai. Alangkah baiknya jika istirahat terlebih dahulu."

Ucapan yang terlontar dari mulut Dyah Pitaloka membuat situasi yang begitu tegang berangsur menghilang. Kemudian mereka bersiap untuk beristirahat. Maharaja merangkul putrinya yang terlihat lesu. Dan suara tawa renyah keluar dari mulutnya saat mendengar putrinya kelaparan. "Baiklah kita akan siapkan makanan untuk sang permaisuri."

Kinanti hanya tersenyum sekilas.
Tak berselang lama makanan hampir seluruhnya masuk kedalam perutnya yang kecil. Asih takjub dan merasa benar-benar terkejut hanya beberapa menit makanan sudah ludas tak bersisa.

"Tuan putri, anda benar-benar kelaparan?"

"Setidaknya aku harus banyak makan makanan bergizi. Eh Asih sini, kau juga harus makan yang banyak," ujar Kinanti sembari mengayunkan sendok berisikan nasi dan tumisan daging.

"Eh tapi, saya tidak bisa menerima ini," bantah Asih. Kinanti melotot  mendengar perintahnya di bantah.

"Setidaknya kamu juga harus kenyang. Simpan ini untuk beberapa hari kedepan."
Asih terkikik mendengar ucapan Putri Dyah merasa lucu karena untuk apa ia hatus menyimpan banyak makan di perut nya sedangkan nanti mereka akan berpesta di acara perkawinan tuan putrinya yang sudah jelas akan banyak sekali makanan di sana.

Saat setelah Asih membereskan semuanya ia termenung. Jelas sudah suara Dyah Pitaloka mengatakan semuanya akan sama, tapi bagi Kinanti ia masih bisa mengubah takdir itu. Ini baru awal.

"Di artikel yang aku baca, rombongan kerajaan sunda tidak di sambut hanya saja kepala desa bubat melaporkan bahwa kedatangan mereka sudah ada. Lalu setelah itu Prabu Maharaja Lingga mengutus utusannya ke kepatihan mempertanyakan kapan mereka akan di antarkan. Kemudian ada perselisihan sehingga pertengkaran kecil terjadi, lalu utusan sang maharaja kembali dan terjadilah perang tersebut. Tapi ini, kami disambut begitu meriah hingga di datangkan para bangsawan dari istana majapahit. Ada sebuah perbedaan. Oke! Aku gak boleh cemas! Tenang Kinanti, tenanglah. Kau bisa menyelamatkan semuanya, kau pasti bisa!" gumam Kinanti sembari memeluk tubuhnya dan mengusap pelan.

Asih yang sedari tadi di sisinya menatap Putri Dyah bingung. Akan terjadi perang?
Kinanti terkejut saat matanya menatap Asih yang menatapnya polos. "Sejak kapan kau disana?"

"Sudah lama."

Kinanti mengangguk. Mungkin ini saatnya ia mengatakan yang seharusnya bahwa ia bukanlah Putri Dyah Pitaloka. Ia berdeham sebentar. "Asih mungkin ucapanku tak mungkin kau mengerti. Ini memang di luar nalar tidak bisa diterima oleh kamu. Tapi, ada yang harus aku katakan. Aku bukanlah putri Dyah. Aku hidup di masa depan, tepatnya aku lahir setelah enam ratus empat puluh tiga tahun yang akan datang. Entah kami bertukar jiwa atau bagaimana, akupun tak mengerti. Tapi yang jelas sukmaku bukanlah milik putri Dyah Pitaloka."

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang