XI. Sabelas

60 5 0
                                    

Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari leluhur kita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari leluhur kita.

Di suatu hari saat Kinanti duduk di bangku SMA ia mendengar begitu banyak kasus pembunuhan yang terjadi di dalam keluarga. Terutama ketika Ayah membunuh putrinya sendiri.

Dalam kasus yang paling membuatnya gelisah adalah kasus ibu dan anak yang di bunuh oleh ayah dan istri barunya. Usut punya usut konspirasinya adalah karena harta.

Saat itu sudah mendung. Jam tiga sore rasanya seperti jam lima sore. Langit begitu menyeramkan. Bukan waktunya untuk berkunjung pada makam sang ibunda, hanya saja saati ini hatinya sedang resah. Gundah gulana.

Perlahan air turun dari langit. Dari rintik hingga deras hebat begitu juga diiringi gemuruh petir dan cahaya kilat. Kinanti menangis dan meraung di hadapan makam ibunya. Takut akan hal yang di alami korban pembunuhan ibu dan anak itu terjadi pada dirinya.

Itu bukan asal tebak saja. Ia punya firasat bahwa iapun akan sama takdirnya. Dan ia tidak tahu kapan rencana pembunuhan itu terjadi padanya.

Hujan belum reda masih ada titik titik kecil air membasahi rambut hitamnya, wajahnya, dan seluruh badannya yang sudah kotor terkena air dan tanah. Baju seragam putih telah berubah warna menjadi coklat.

Ayahnya, Lingga surya atmaja datang menemuinya dan menarik paksa Kinanti agar ia pulang ke rumah. Rumah yang bahkan tak terasa seperti rumah. Kinanti berteriak, "Itu bukan rumah. Disinilah rumahku!"

"Apa kamu sudah gila?"

"Bukankah ayah menginginkan aku segera bertemu ibu?"

Ayahnya hanya diam dan menatap putri semata wayangnya.

***

"Jadi..."

Kinanti tersentak dan baru menyadari bahwa malam itu ia meminta untuk belajar tentang racun. Ia kira akan bersama seorang guru. Namun ini malah sang penguasa yang langsung turun tangan. Bulankah ia sedang sibuk?

Kemudian ia kembali merenung. Apakah ini untuk dirinya sendiri? Atau memang untuk sang pemilik tubuh ini? Dyah pitaloka citraresmi.

Ia terkekeh hambar. "Bukankah kemarin malam aku sudah mengatakannya? Semua hal yang sudah ada aku ingin mempelajarinya."

Meski mendengar dari ucapan itu Hayam wiruk tak mengerti sama sekali. Tapi yang jelas memang gadis di hadapannya sedang membutuhkan tentang racun dan bagaimana cara mengatasinya.

Disisi lain Hayam wuruk gelisah memikirkan ada kemungkinan bahwa Dyah pitaloka mengetahu yang sedang terjadi. Para pemberontak itu harus segera ia bereskan.

"Kau akan baik-baik saja," suaranya begitu kecil bahkan mungin suara angin jauh lebih tinggi ketimbang ujarannya.

Di tempat ini. Sebuah bangunan yang terdapat jalan setapak yang menghubungkan langsung dengan kediaman sang prabu. Sore hingga malam mereka belajar tentang racun. Tidak hanya kinanti saja yang belajar, disini ia adalah gurunya.

Ada berbagai tanaman mematikan. Bagaimana reaksi di dalam tubuh jika terkena racun dan cara mengatasinya. Ada satu hal tanaman kayu yanh menarik perhatian gadis itu.

Katanya getah dari kayu itu akan membuat mati seseorang dengan cepat. Seperti ular kobra spesies reptil yang paling mematikan terutama bisanya.

Kemudian Kinanti melihat perbedaan dalam makanan dan atau dalam minuman yang sudah tercampur racun.

Ia mengangguk. Lalu mendekatkan wajahnya pada minuman itu.

Refleks Hayam wuruk menutup hidung dan mulutnya. "Apa yang kau lakukan?" Desisnya marah.

Kinanti terperangah. "Maaf tadi aku ingin cium harumnya."

Terlihat dari wajahnya mulai melembut sambil terus membuang napas. "Sudahlah ini terlalu larut. Sampai disini pelajarannya."
Kinanti mengangguk pelan.

Ia sedikit meregangkan otot-otot di tubuhnya yang kaku muali dari bahu, lengan, pinggang dan kepala.

Diluaran bangunan itu Kinanti melihat betapa indahnya langit saat ini. Gelap namun bulan purnama bersinar sangat terang menerangi hitamnya langit bersama di temani ribuan bintang. Ah coba saja ada ponsel akan ku abadikan.

"Oh!" Serunya membuat Hayam wuruk berjalan cepat memghampirinya. Ia melihat gadis itu menangkupkan tangannya sambil menutup mata, seperti sedang berdoa.

"Daripada terus melihatku lebih baik cepat memohon doa sebelum bintang jatuh itu tidak terlihat."

Hayam wuruk berdeham. Kemudian ia memgikuti ucapan gadis di sampingnya.
Kinanti membuka matanya sedikit dan melihat kearahnya. Kemudian ia tersenyum lalu kembali berdoa.

"Nah, tadi kamu memohon apa?"

Hayam wuruk memasang wajah datar. "Aku tidak melakukannya."

Kinanti terkekeh dan memukul pelan otot bisep sang maharaja. "Jangan berdusta. Aku tahu."

"Doa itu rahasia."

Kinanti mengangguk kecil dengan mulut terbuka seperti huruf o.

"Aku pikir bakal ada seorang guru. Apa ini tidak apa-apa?"

Dengan mata hitamnya Hayam wuruk menatap kedalaman mata Dyah pitaloka. "Kau tidak suka?"

Kinanti terkejut. Bukan itu maksudnya. Tapi sepertinya ia tersinggung. "Bukan seperti itu. Aku tahu kamu pasti sangat sibuk. Padahal dengan tidak mengganggu perkerjaanmu, kamu bisakan menyuruh seseorang tanpa turun langsung."

Hayam wuruk enggan menjawab. "Ayo aku antar ke kediamanmu."

"Ah tidak usah. Asih, Jenar dan Gendhis akan mengantarku. Mereka menungguku di depan kediamanmu kan."

Namun tanpa kata ia berjalan beriringan menuju kediamannya. Terlihat dari kediaman pria itu, Kinanti menilai bahwa pria ini berkepribadian introvert. Yah mau bagaimana lagi di dalam kamar itu hanya ada barang-barang penting. Tidak ada hiasan atau apapun yang seolah mencerminkan hobinya atau ya apalah itu.

"Selamat malam. Semoga kau terbangun dengan tubuh yang segar," ujarnya sebelum meninggalkan kediaman sang maharaja.







Sumedang, 7 Februari 2024 Rabu, 11:57

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang