VI. Genep

83 5 0
                                    

Rekomendasi lagu sambil baca wattpad

The 1975 - About you



Sepulang dari makam sang ayah, keduanya tak saling berbicara sama seperti sebelumnya. Namun kali ini Dyah pitaloka benar-benar sangat sedih, itu sangat bisa dibaca oleh dirinya saat melihat sirat matanya. Dan bagaimanapun kehilangan seseorang yang dicintainya tentu ibaratkan bumi telah kiamat.

"Terimakasih atas kebaikan prabu. Suatu saat hamba akan membalas kebaikanmu," ujar Dyah pitaloka ambil menunduk dan menangkupkan kedua tangannya di depan.

"Istirahatlah. Aku mengerti kau masih membutuhkan waktu untuk sendiri," jawab Hayam wuruk. Kemudian matanya mengisyaratkan kepada dua pelayan pribadi sang putri untuk memapahnya menuju kediaman.

Setelah pintu kediamannya tertutup dan akhirnya ia bersorang diri, Dyah pitaloka berbalik badan dan menatap lurus pada pintu besar itu. Bagai burung dalam sangkar. Semua gerak geriknya di awasi. Ia sangat terbatas akan melakukan, mengucapkan. Dan ya, bagaimanapun ia bisa di bilang sekarang ia adalah putri sandraan.

Jika Jenar adalah utusan dari sang maharani, maka Gendhis adalah utusan dari sang prabu hayam wuruk. Dan ia sekarang sangat amat merindukan Asih. Bagaimana kabar mereka? Apakah sudah sampai ke kerajaan sunda? Apakah mereka selamat?

Udara semakin turun menyentuh kulitnya. Menyapa dengan ganas. Kedua tangannya mengusap lengannya agar kehangatan muncul mengobati dirinya. Walau langit sudah gelap pekat, namun jika ditemani dengan bulan dan bintang tak terlalu menyeramkan. Kemudian suara ketukan pintu membuat ia merasa harus waspada.

Dilepaskannya salah satu hiasan rambut yang ujungnya runcing. Lalu saat pintu terbuka dengan sigap Dyah pitaloka menodongnya dan terkejut saat melihat prabu hayam wuruk disana dan menangkap tangannya. Melemparkan benda kecil itu ke samping dengan suara bunyi yang agak nyaring. Kemudian sang prabu mendorongnya masuk ke dalam dan menutup mulutnya.

"Maafkan aku. Aku pikir ..." ucapnya sambil menunduk setelah sang prabu melepaskan mulutnya.

"Aku mengerti. Aku yang seharusnya meminta maaf. Gendhis mengatakan kau tak makan apapun. Aku mencoba untuk memberi mu ruang untuk sendiri, tapi pada kenyataannya aku mengkhawatirkan mu."

Dyah Pitaloka tersenyum maklum. Awalnya ia hanya sedang berfikir namun ternyata ia terlalu lama bergelut di dalam kepalanya sehingga ia tak mengetahui kalau langit sudah gelap. "Aku.. ingin pulang," lirihnya. Maksudanya pulang ke zaman dia menjadi Kinanti. Disini ia benar-benar merasa kesepian.

Namun sepertinya yang terdengar di telinga sang prabu bukan itu. Bisa jadi ini menjadi kesalahpahaman. Lalu ia duduk diatas ranjang menghadap Putri Dyah Pitaloka yang masih tak bersedia menatapnya.

Tak mendengar jawaban dari sang prabu, Dyah Pitaloka melanjutkan ucapannya. "Aku tahu, kamu adalah raja yang hebat dan bijaksana. Ku dengar semua orang-orang pendahulu sangat sakti. Untuk itu aku memohon untuk di kembalikan."

Terdengar suara helaan napas kasar. Dyah Pitaloka mendongak. "Aku yakin kau tentu bisa."

"Duduk dulu lah di sampingku. Aku tak membiarkanmu duduk dibawah sana. Kau bukan dari kalangan kasta sudra."

Kalau di pikir, keluarganya adalah pedagang sekaligus seniman. Yang berarti kalau di zaman ini, ia berada di kasta waisya? Dyah Pitaloka tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Terimakasih, tapi aku rasa itu tidak pantas."

"Baiklah aku akan mengabulkan permohonanmu." Binar matanya dan senyum di bibirnya sangat indah. Dan ia terhipnotis akan itu. Sekali lagi ia menepuk ranjang disampingnya. "Duduklah."

"Mana berani. Ini semua milikmu. Kau dengan berbaik hati akan membawaku pulang. Ah, kira-kira kapan aku bisa kembali?"

"Itu tentu harus di persiapkan dahulu."

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang