VIII. Dalapan

74 6 0
                                    

Welcome December semoga bulan ini akan jauh lebih baik dan lebih indah dari bulan sebelumnya💖

🎵Kim Doyoung (NCT) - Like a Star🎵








Kanyaah indung mo suwung,
lir jaladri tanpa tepi,
lir gunung tanpa tutugan,
asihna teuing ku wening,
putra teh didama-dama,
dianggo pupunden ati.

Sepenggal lirik dari pupuh Kinanti yang sering disenandungkan ibunya ketika ia masih kecil. Sembari menyisir rambut hitamnya yang sehat dengan tangan lembut itu. Katanya sang ibu menjelaskan bahwa ia dinamakan Kinanti karena perhitungan dari salah seorang paraji di daerah Kuningan, Jawa Barat, tempat dimana ibunya lahir dan dibesarkan.

Namun ibunya tak menjelaskan lagi lebih detail arti namanya itu. Namun pada saat ia mulai paham lalu iseng untuk searching arti dari pupuh Kinanti itu sendiri yang berartikan kanyaah (kasih sayang), nu di ati-ati (yang di nantikan), dan deudeupeun (kekhawatiran), ia malah makin tidak paham. Mau bertanya, pada siapa? Ibunya sudah meninggal pada saat itu, sedangkan ayahnya ia tak memiliki hubungan yang baik dengan pria paruh baya itu.

***

Kerajaan Wilwatikta memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas. Hampir di seluruh Nusantara ini berada di bawah kuasanya. Namun ternyata saat ia berada di dapur istana di subuh hari bahkan matahari saja belum muncul dari permukaan langit, Dyah Pitaloka termenung melihat bahan-bahan di sana.

Tadinya ia akan membuatkan bubur Manado untuk Asih. Tapi ada beberapa bahan yang tidak ada disini. Jadinya hanya seadanya dan beberapa sayuran pun ada yang ia ganti.

Selesai dengan mencuci beras ia langsung memasaknya dengan air dua kali lipat dari banyaknya beras itu, lalu memasukan beberapa labu kuning, jagung, daun bayam, dan cincangan daging ayam sebagai protein nya.

Setelah lama mengaduk masakan setengah jadi itu ia kemudian mencicipinya. Saat dirasa sudah pas dengan bumbunya barulah ia menunggu bubur itu matang secara merata.

Hawa masih terasa dingin di kulitnya dan langit yang gelap berangsur berganti warna dengan cerahnya dari cahaya matahari. Dyah Pitaloka segera bergegas menuju kediamannya sembari membawa semangkuk bubur yang telah jadi dan obat dari tabib istana.

Di sana Asih mengernyitkan dahinya saat bubur itu masuk ke tenggorokan. Ia masih belum bisa menelan makanan. Perutnya masih bergejolak. Rasa gurih itu sangat enak hanya saja Asih merasa bubur itu pahit di lidahnya. Hanya beberapa suapan, lalu Dyah Pitaloka menyuruhnya menghabiskan obat.

"Sementara kau habiskan dulu bubur Manado ini. Nanti ku pikirkan, makanan apa selanjutnya agar perutmu terisi asupan nutrisi."

Asih menunduk kecewa, "Maafkan Hamba. Seharusnya Hamba Lah yang menjaga tuan putri."

Dyah Pitaloka tersenyum manis. "Asih, kalau kau sakit bagaimana bisa menajagaku. Untuk itu segeralah sembuh, oke!"

"Tapi nanti engkau akan kembali ke dapur istana lagi?" Asih bertanya dan Dyah Pitaloka mengangguk dengan senyum gemasnya. "Apa itu diperbolehkan?" Lanjutnya berbisik.

Pada malam kemarin sebelum mereka berpisah tentu saja ia meminta izin untuk membuatkan masakan untuk Asih. Hayam Wuruk merasa kebingungan dengan sikap itu. Maksudnya untuk apa? Bukankah ada juru masaknya.

Dan gadis disampingnya hanya tersenyum kecil. Entahlah mungkin karena ia memang suka memasak dan setelah lama disini ia tak pernah menyentuh barang-barang yang ada di dapur. Kemudian Hayam Wuruk memberikan izin nya.

"Jika hanya lisan saja aku takut mereka tidak akan percaya." Lalu ia menyodorkan sebuah daun lontar dan pengutik kepadanya. "Harus tertulis juga."

"Apakah harus beserta capnya?" Canda sang prabu.

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang