III. Tilu

129 9 0
                                    

Katanya pada zaman dulu orang-orang begitu mempercayai hal-hal dari alam seperti sebuah isyarat atau pertanda akan adanya sesuatu. Sebut saja hari ini entah mengapa hari begitu indah. Matahari menyala tapi tidak mengeluarkan hawa panasnya, para burung, kupu-kupu dan capung berterbangan seolah menyambut hari bahagia hingga suasana baik itu juga dirasakan di setiap sudut ruang tidurnya. Akhirnya ada lelaki yang pantas mendampingi nona mudanya.

Namun tidak bagi Kinanti. Bahkan ia belum bersiap dan masih duduk diranjangnya sembari memeluk kedua kakinya dan beberapa kali menghembuskan napas resahnya. Seorang utusan dari kerajaan besar yang sedang dalam masa keemasan akan datang menemui mereka.

"Ananda mengapa masih belum memgenakan pakaianmu?" tanya Dewi Lara menghampirinya lalu mengusap kepala putrinya.

Kinanti terbangun lalu mengenggam tangan Dewi Lara dengan kedua tangannya. "Aku sudah mengatakannya, Ibunda. Aku tidak akan menikah. Ucapan Ku sungguh-sungguh."

Asih bersujud di hadapan sang Ratu sembari mengatakan, "maafkan hamba, tapi putri Dyah bersikukuh tidak mau mengenakan pakaian yang telah disiapkan."

"Pergilah Asih. Beritahu prabu bahwa sebentar lagi putri Dyah sudah siap. Biar aku yang membereskan ini semua."

"Baik ratu." Lalu ia segera bangkit dan pergi membiarkan sang ratu menyelesaikan semuanya itu.

"Ibunda sudah kubilang, kan?" wajahnya masih saja di tekuk sambil mengerutkan bibirnya Kinanti memalingkan wajah.

Dewi Lara dengan sabar ia mengatakan sambil tersenyum sayang, "Ananda tidak baik seperti itu. Alangkah terpujinya kita menyambutnya. Kau tidak menginginkan sang prabu dipermalukan, bukan?"

Kinanti menghembuskan napas tak ada yang bisa dielak lagi. Ia harus segera bersiap. "Baiklah aku turuti perintah Ibunda."

***

Sepanjang jamuan itu, Kinanti hanya bisa berdiam. Sesekali ia tersenyum membalas perkataan Prabu Lingga Buana. Matanya terus mengikuti arah Patih Madhu yang berjalan keluar istana setelah rencana pernikahan itu berhasil. Mulutnya terasa terkunci seketika. Sekarang pikirannya pun kosong. Ia tak tahu harus bagaimana.

"Putri? Bukankah mimpimu akan segera terwujud? Kau akan menjadi permaisuri dari Kerajaan besar? Lantas mengapa engkau bersedih?" Asih benar-benar heran dari awal penjamuan hingga persetujuan telah tercapai dari kedua belah pihak, nona mudanya masih tetap diam tak ada satu katapun keluar dari mulutnya.

Sekarang Putri Dyah hanya termenung sambil memeluk kedua kakinya.

Atau jangan-jangan nona mudanya bersedih karena rumor yang sedang beredar? Iya! Mereka mengatakan bahwa dia adalah rubah yang licik. Diluar seperti gadis yang polos dan lugu namun ternyata di dalam memiliki ambisi untuk menjadi seorang ratu di tanah jawa. Bahkan hingga menolak semua bangsawan pria sunda di sini. Sebuah ambisi yang besar dan kuat hingga melepaskan urat malunya untuk menyerahkan sang putri menuju tempat seorang laki-laki. Dialah sang putri yang memanfaatkan kecantikannya untuk kekuasaan yang sebenarnya.

"Asih, rasanya ada yang mematahkan leherku hingga aku tak bisa mengatakan apapun."

Asih terkejut dengan genangan air mata yang hampir jatuh di pipi mulus sang putri. "Hamba akan memberikan pelajaran pada orang-orang yang sudah menghinamu."

"Aku tidak peduli dengan mereka." Kemudian di menggenggam erat dayang pribadinya itu dan berkata, "Andai saja aku bisa melarikan diri, maka akan aku lakukan. Namun ternyata aku tak bisa, Asih. Jika saja perang itu tak terhindarkan, maka kau larilah, sembunyi dari kerumunan para prajurit. Selamatkanlah diri kalian sendiri jika seandainya aku tak mampu melindungi kalian. Jangan sesekali melihat ke arahku. Kau mengerti?"

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang