XII. Dua Belas

60 6 0
                                    

Selamat sore~

Happy reading













Kinanti pernah membaca sebuah buku yang berisikan tentang sesuatu hal yang negatif atau saat sedang merasa depresi. Saat ia baca kala itu baru beberapa hari setelah kematian ibunya dan ia seperti menemukan sesuatu hal menarik dalam buku itu.

Cara menghalau perasaan negatif adalah salah satunya melakukan aktivitas yang di sukainya. Jika tak jua merasa tenang, maka cobalah untuk berolah raga. Seperti renang, joging, berkuda, panahan, atau hal lainnya yang bisa membuat hatimu kembali tenang.

Lalu saat ini ia mencoba untuk belajar memanah. Dan baru saja belajar sekali ia langsung bisa menerapkan. Kinanti tersenyum malu saat mendengar pujian dari sang guru maupun wanita paruh baya di sampingnya. Kinanti heran, memgapa tubuh Putri Dyah Pitaloka ini begitu ringan. Seolah itu sudah hal yang biasa. Entah itu berkuda, melakukan seni bela diri dan sekarang memanah.

Tak banyak yang ia tahu mengenai bagaimana sosok Putri Kerajaan Sunda itu. Yang mana memang sangat susah untuk mendapatkan sebuah biografinya. Dan ia hanya terkenal dan disandingkan dengan perang bubat dan aksi bela patinya.

"Aku tahu kau sangat berbakat," nada riang nan ringan terlontar begitu mulus dari mulut sang penguasa Kerajaan Majapahit ini sangat ia terima di telinganya.

Kinanti tersenyum hingga lesung pipinya muncul, begitu manis.

"Apa kau lelah?"

Baru saja ia mau membuka mulutnya dan ia malah dipotong.

"Sebaiknya kita beristirahat sebentar."

"Baik."

Tibalah mereka di sebuah ladang kecil nan asri. Ada sebuah gajebo disana dengan pandangan di depannya sebuah kolam ikan kecil. Mereka beristirahat di sana dan berbincang sebentar.

"Bawakan kami beberapa cemilan sepertinya ini akan menjadi perbincangan yang panjang. Bukankah lebih enak jika ditemani beberapa cemilan ringan dan minuman."

Kinanti tak begitu mendengar karena ia sibuk dengan kekalutan di hati dan pikirannya. Jika telah jauh begini, jika telah lama disini, lantas bagaimana aku bisa keluar dari Kerajaan ini? Ibunda dan Niskala bagaimana keadaan kalian?

Jika terlalu banyak aku berhutang pada kerajaan ini, bagaimana nanti Putri Dyah Pitaloka mengatasinya?

Lalu ayah? Apakah ayah akan selalu mengunjungi kuburanku? Aku rindu ayah.

"Tuan putri!" seru Asih di telinga kirinya. Dan Kinanti mengerjap kaget lalu matanya menelusuri dan melihat di sampingnya ada Paduka Sori dan di samping Maharani ada sang paduka raja.

Kinanti menunduk bersalah. "Maaf tadi sepertinya aku..." ah bagaimana ini? Memalukan sekali. Bisa-bisanya aku asik melamun.

"Aku belum menyapamu sejak kau menginjakakkan kaki disini." Suara lembut itu. Suara pemilik dari wilayah ini. Begitu anggun sekali. Dan Kinanti terpana.

"Perkenalkan aku—"

Kinanti membawa tangan gadis itu dalam genggamannya. "Aku sudah mengetahuinya," ujarnya riang begitu pula dengan senyum yang ia berikan begitu tulus. "Kau pasti Paduka sori?" tebak Kinanti.

Namun detik selanjutnya Kinanti ikut terkejut. Ia merasa menjadi seorang penguntit. Padahal walau ia menepati raga dari wajah di masa lalu, jiwa pemilik raga ini kan adalah jiwa orang di masa depan. Namun siapa yang akan mengertinya.

Paduka Sori menunduk kemudian melepaskan tangan yang di genggam Putri Dyah pitaloka kembali ke pangkuannya. Sementara sang Prabu Hayam wuruk mulai merasa adanya keanehan. Gadis yang ia lamar telah mengetahui profil hidupnya dan juga, matanya melirik pada gadis dihadapannya, Paduka Sori.

"Ini ambilah!" Kinanti menatap sebuah wadah kecil yang berisi seperti obat salep. Dan ia juga baru menyadari bahwa jari jemarinya terasa panas dan sedikit menyakitkan jika jemarinya digerakkan.

Kemudian ia menerima obat salep itu. "Ini sedikit memalukan, tapi terima kasih untuk obat olesnya."

"Memangnya kau kenapa?" tanya Prabu Hayam wuruk cemas dengan alis yang bertaut.

Mata Kinanti bergetar kemudian ia sekilas menatap ibunda dari pria tersebut yang hanya diam dengan raut wajah datar sembari menikmati teh melati. Kinanti tertawa canggung sebelum menjawab pertanyaan Prabu Hayam wuruk. "Aku baru saja belajar memanah. Dan mungkin karena itu tanganku agak sedikit‐"

Hayam Wuruk membawa tangan mungil itu padanya dan mengusap area yang telah sedikit kemerahan. "Hati-hatilah," ujarnya.
Entah mengapa melihat luka itu membuat perasaannya gundah gulana. Ada rasa khawatir juga kemarahan. "Berapa lama kamu memanah? Dan kamu tahu bahwa kamu baru belajar? Sebelumnya belum memanah?"

Kinanti menggelengkan kepala karena memang ia tak tahu berapa lama waktu memanah itu. Ya karena memang ternyata bisa se asyik itu hingga lupa waktu. Kemudian ia membawa kembali tangannya. Duh dia kenapa sih?

Prabu Hayam wuruk menghembuskan napas beratnya lalu meneguk secangkir teh melati dihadapannya dengan cepat.

***

Setelah Asih mengoleskan salep pada tangannya lalu menutupinya dengan kain dan rambutnya telah rapi berkat Gendhis ia bersiap untuk beristirahat. Namun sepertinya tidak begitu setelah Jenar membawa makan malamnya.

Tahu tidak, kalau begini aku merasa bukan puteri sanderaan. Tetapi seorang tunangan dari si pemilik bangunan ini.

Kinanti tersenyum setelah Jenar menyiapkan hidangan makan malamnya. "Terima kasih Jenar. Tapi aku bisa sendiri menyiapkan semua itu." Kemudian Kinanti tersenyum canggung pada Jenar, Gendhis, maupun Asih.

"Tuan putri tidak akan melakukan itu. Semua adalah pekerjaan kami untuk melayani, engkau."

Kinanti tersenyum tulus menjawab perkataan Jenar. Kemudian ia menatap tangannya yang sudah dilapisi kain. Ini susah untuk makan, batinnya. "Asih bisakah kau supiku? Kau dan Jenar silahkan beristirahat."

Lalu merekapun undur diri.

Setalah kediaman ini hanya ada ia dan Asih, Kinanti menatap Asih dengan serius dan mengatakan hal yang mengejutkan bagi Asih hingga seluruh tubuhnya bergetar hebat dan Kinanti menepukkan pundaknya. Asih menunduk dan Kinanti mencoba mengangkat kepalanya seolah berkata bahwa ia akan percaya padanya.

***

Esok paginya, hari dimana ia sangat bersemangat. Setelah didandani oleh Gendhis dan sarapan pun telah ia habiskan, Kinanti segera menuju paviliun untuk segera menemui orang yang telah berjanji akan menghabiskan waktunya bersama dirinya keliling istana Majapahit.

"Putri Dyah Pitaloka." Kinanti tersenyum mendengar seruan itu kemudian berbalik melihat betapa cantiknya gadis dihadapannya.

Misi segera dimulai, batin Kinanti sembari terkekeh.

"Kamu sangat cantik," pujinya. Ini bukan hanya sekedar pujian untuk gadis itu. Mulai dari perhiasannya, busananya, rambutnya. Sebagaimana seorang gadis jawa. Namun auranya tentu saja sangat berbeda. Calon ratu majapahit sudah terlihat.

"Aku sangat cemas. Apakah kamu tidak keberatan berjalan disampingku?" kata Paduka Sori dengan gugup. Kinanti menggelengkan kepalanya menjawab kegelisahaan wanita itu.

Kaki mereka perlahan mulai mrninggalkan tempat janjian itu. Dari sini ia bisa mengenal lebih jauh bagaimana sosok sang permaisuri Prabu Hayam wuruk. Cara bicaranya, cara berjalannya, tawanya dan bagaimana wanita itu bertatapan dengannya.

Kinanti menilai bahwa misinya pasti mudah. Mungkin dengan pernikahan yang sudah seharusnya ia bisa kembali ke tempat asalnya. Terlalu lama ia disini dan itu mengusik pikirannya. Semakin lama semakin buruk.

Namun apa yang akan terjadi bila ia kembali? Bagaimana dengan sang pemilik asli tubuh ini? Ibunda? Pangeran Niskala? Kerajaan Sunda? Hingga akhir cerita ini akan seperti apa?

Karena Kinanti telah merubah cerita dari yang semestinya.











Terima kasih telah berkunjung jangan lupa vote dan komen;)

Sumedang, 26 Mei 2024, Minggu 15:27

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang