XIX. Salapan Belas

45 4 0
                                    

Happy Friday⚘️

Rekomendasi lagu untuk chapter ini
Nadin amizah - Kekal















Mata memandang pada kerlap kerlip bintang dan juga lampu di kota. Suasana dingin, gelap dan sunyi buat pria itu mengambil satu batang rokok kemudian menghisapnya. Menghembuskan asap rokok sembari memikirkan hal yang terjadi barusan.

Pikirannya sangat ramai. Sehingga untuk membakar rokok tak bisa hanya satu batang. Dan pada saat rokok itu telah terbakar setengahnya ia bisa merasakan seseorang tengah hadir bersamanya.

Ia berbalik dan menatap seorang pemuda yang tampak tak asing dimatanya. Ah dia mengingatnya. Pemuda itu yang membawa putrinya ke rumah sakit. "Saya belum mengucapkan terima kasih pada.." ia terhenti saat menyadari bahwa ia tak tahu nama pria tersebut.

"Satya. Satya Anugrah."

"Ya, nak Satya." Lingga kemudian membuang rokok itu dan memadamkannya dengan kaki kanannya. "Apakah kamu mengenal putriku?" Ia ragu menanyakan itu karena Satya sepertinya bukan orang sini. Tapi seakan pemuda itu sudah sangat mengenal putrinya.

"Mungkin bisa dibilang, ya. Sangat kenal dengan putri bapak." Dan Satya pun menjawab dengan lugas namun di dalam hatinya ia ragu, apakah ia sangat mengenal Kinanti?

Lingga mengangguk. Ia menghela napas diam-diam. Seberapa jauhkah ia dengan putrinya, sehingga ia tak tahu siapa saja orang-orang yang dekat dengan putrinya. Ia menganggap bahwasannya ia sudah gagal berperan menjadi sosok ayah. Ia tak pernah ada dikehidupan putrinya.

"Akhirnya saya memahami situasi yang terjadi saat itu. Saya ingat kamu yang membawa putriku dan melaporkan kepada pihak kepolisian tentang kejadian kecelakaan itu."

"Dan saya yang tak memahami, kenapa seorang ayah tak mengusut tuntas kecelakaan yang hampir membuat anaknya sendiri meninggal."

Kedua pria itu saling bertatapan dengan sorot mata yang berbeda. Lingga tersenyum kecut. "Saya hanya ingin melindungi dia. Dari apapun."

"Melindungi?" tanya Satya. Jelas ia bingung. Perbuatan itu bukankah untuk melindungi pelaku, bukan si korban? Jadi apa yang dimaksudkan dengan melindungi putrinya?

"Saya sangat berterima kasih karena kamu sudah menolong putri saya. Tapi setelah ini saya mohon kepada kamu sebagai ayah dari orang yang kenal dengan kamu, mohon untuk jangan bergerak sebelum adanya persetujuan dari saya. Seberapa jauh kamu mengenal putri saya, jelas saya lah yang lebih tahu yang mana yang terbaik untuk saya lakukan demi putri saya. Pahamkan, anak muda?"

Lingga berjalan meninggalkan Satya. Namun sebelum itu ia memperingatkan pada Satya tepat di samping telinganya. "Kamu gak akan tahu dengan apa yang kamu lakukan bisa saja buat Kinanti meninggal."

"Pak Lingga," seru Satya saat Lingga berada di depan pintu rooftop rumah sakit. Dan sepertinya Lingga pun ingin dengar apa yang akan dikatakan pemuda itu. "Besok dan seterusnya saya mungkin tak akan kembali ke sini. Namun bukan berarti untuk selamanya saya berada jauh dengan putri bapak."

Dan setelah itu Lingga diam mengacuhkan omongan Satya. Ia kembali ke kamar yang Kinanti tempati. Setelah banyaknya kemajuan Kinanti akan rawat jalan tak lagi berada di kamar rumah sakit.

***

Tiga jam sebelumnya.

Tepat pada pukul dua puluh nol nol, tetiba saja suara Kinanti ada. Saat memeluk putrinya dan berusaha menenangkannya samar-samar terdengar Kinanti mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang telah ia ketahui baik olehnya maupun mendiang istrinya.

Sebuah kalimat dari bahasa sunda kuno. Yang jelas ia menangkap bahwa seorang putri tengah di gandrungi penyesalan yang membuncah. Rasa rindu, cinta dan sakit.

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang