II. Dua

158 8 0
                                    

Bulan purnama itu terlihat seperti lampu bohlam dengan warna cahaya kekuningan. Terkadang ia sangat merindukan kehidupannya saat itu. Namun jika mengingat betapa tak adilnya, rasa rindu itu hilang dengan rasa syukur dan kebencian. Mungkin mereka sedang bersenang-senang merayakan atas kematiannya dan terbebas dari dirinya yang terlalu berambisi menguasai perusahaan ayahnya.

"Asih. Besok aku ingin lihat keluar istana," ucapnya setelah mendapatkan ide bagaimana ia ingin tahu kehidupan pada zaman dahulu seperti apa.

Asih menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Semua telah diatur oleh ratu bahwa tuan putri tidak boleh keluar istana. Bahkan satu jengkal pun."

Kinanti membalikan badannya sambil mengerutkan keningnya tak setuju. "Mengapa tidak bisa? Apa karena aku tenggelam di telaga itu?"

Asih berdeham seakan sesuatu menghalangi di tenggorokan nya. "Semua demi kebaikan tuan putri."

Kinanti berjalan menuju ranjangnya dan terduduk menatap dayangnya sembari tersenyum, namun Asih tahu arti senyum itu untuk merencanakan agar bisa pergi keluar istana besok pagi. "Kau tahu kan, bahwa aku kehilangan sebagian ingatanku. Aku hanya ingin mengingatnya sedikit demi sedikit."

Asih menghela napas bingung. Berbeda dengan Kinanti yang tersenyum puas bahwa ide nya akan berhasil. "Baiklah hamba akan berusaha meminta izin kepada Ratu."

Kemudian ia tertidur sembari tersenyum. Di mulai dari mana dulu ya? Apa mencicipi makanan yang di jual disini? Atau melakukan yang lain? Kinanti sudah tak sabar menanti matahari muncul di atas langit menggantikan bulan purnama ini.

***

Pada akhirnya ia diizinkan dan Kinanti tidak mengetahui apa alasan Asih sehingga sang ratu mengizinkannya keluar. Ah ia tak mempermasalahkan itu. Eh tapi sebentar apa jangan-jangan Asih memberitahunya bahwa ia tak mengingat siapa dan apa dirinya?

"Asih bagaimana Ratu bisa mengizinkanku keluar istana? Kau memberitahu bahwa aku tidak bisa mengingat kejadian dulu?" ucap Kinanti dengan perasaan was-was menanti jawaban dari Asih.

"Hamba berani bersumpah tidak mengatakan itu. Hamba sudah berjanji tidak akan mengatakannya."

Diam-diam Kinanti menghela napas lega. "Lalu?"

"Hamba mengatakan bahwa tuan putri sedang memata-matai pria yang pantas bersanding denganmu."

Kinanti memijat keningnya yang terasa pening. Pantas saja dia dipakaikan baju biasa tak seperti bangsawan dan hanya memakai satu aksesoris di rambut, tidak mewah seperti biasanya. Sudahlah ia tak akan mempermasalahkan alasan itu, dia bisa melihat-lihat di luar istana sudah cukup mengobatinya.

"Loh, bukankah tuan putri memang menginginkan segera di pinang?" tanya Asih heran.

Kinanti justru menatap balik Asih yang sama herannya. "Aku pernah mengatakan ingin segera di pinang?"

Asih mengangguk mantap. "Iya. Itu benar. Bahkan hamba mendengar bahwa tuan putri berhayal bagaimana menjadi istri dan memiliki banyak anak. Pria yang di inginkan putri tentu saja harus setara kehebatannya dengan sang prabu. Bahkan sempat berpikir untuk mengadakan sayembara."

Hah?! Dan ini lebih mengejutkannya. Tak heran juga bahwa sebetulnya putri Dyah pitaloka masih seorang gadis remaja. Kehidupan yang diimpikan justru hanyalah angan-angan semata. Ia tahu bagaimana nanti dan akan dipastikan itu tidak akan terjadi. Kehidupan sesungguhnya adalah layaknya sebuah acara bertahan hidup. Siapa yamg bisa bertahan maka ialah pemenangnya.

Ditepian danau itu Kinanti tiba-tiba begitu pandai menyulam padahal ia tak pernah belajar menyulam atau menjahit. Namun tangan ini seolah sudah tahu arah kemana saja. Kain dan benang itu akhirnya membentuk sebuah angsa yang berenang dengan bunga teratai di pinggirnya.

Asih terkagum melihatnya. "Tuan putri benar. Apakah ini bisa membuat tuan putri mengingat kehidupan dulu?"

"Mungkin saja, Asih. Aku juga tidak tahu," ujarnya sembari mengelus gambaran itu. Kemudian memberikannya pada Asih di sampingnya.

"Hamba tidak berani mengambilnya. Ini sangat berharga."

Kinanti terkikik. "Ambilah. Siapa tahu kalau kau kabur aku bisa langsung tahu. Ini adalah tanda bahwa kau milikku."

"Hamba tidak akan ingkar. Hamba masih ingat dengan sumpah setia hamba padamu—" Asih terdiam kala tuannya mengaitkan kain itu di sela pinggangnya. "Hamba akan menjaganya."

Kemudian Kinanti menatap langit cerah berwarna biru dengan awan-awan besar disana. Alangkah indahnya ciptaanmu. Ia memejamkan matanya sembari tersenyum merasakan hawa hutan itu.

Terik matahari tidak akan membuatnya terbakar. Ini seperti ada hawa hangat namun juga dengan angin yang sejuk menyentuh kulitnya. Belum lagi dengan harum segar ini yang mungkin berasal dari pepohonan, rumput liar, dan air telaga itu.
Suara bising membangunkannya hampir saja ia tertidur disini. Seperti ada suara retakan ranting yang tak sengaja terinjak namun dayangnya justru takut jika itu adalah hewan buas. Segeralah mereka berlari menjauh menuju tempat yang ramai. Tapi mata Kinanti justru melihat seseorang seperti sedang mengintip.
Alih-alih mengatakannya Kinanti justru terhibur dengan wajah panik dayangnya. Mau mengintip apa? Kami berdua tidak sedang mandi! Dasar cabul! Ternyata orang cabul ada di berbagai zaman!

Puas dengan berbagai makanan yang ia beli juga aksesoris perhiasan lainnya akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Apalagi sekarang langit sudah berwarna oren melukiskan bumi dan menjadikan bumi pun berwarna oren. Ia harus segera pulang.

***

Sudah berbagai pria yang di tawarkan ayahnya, Prabu Linggabuana. Namun tak ada satupun yang ia inginkan. Bukan! Ia sudah bersikeras tak menginginkan sebuah pernikahan karena itulah awal mula agar ia bisa hidup bersama keluarga disini.

Sang Prabu pun nampak kebingungan ia sangat resah karena putrinya selalu menolak pria manapun. Bahkan saat di tanya apakah saat keluar istana memdapatkan lelaki idamannya? Jawabannya tentu tidak ada. "Baiklah beritahu ayahanda mu harus seperti yang bagaimana calon suamimu agar kau mau?"

Kinanti menatap sang prabu dan permaisurinya. Ia berhenti mengunyah lalu memberikan jawaban dari pertanyaan sang prabu. "Aku hanya mau menikah dengan pria seorang raja yang masih muda, kaya raya, bijaksana, tampan, yang memiliki singgasana yang megah, tidak menginginkan seorang selir karena aku hanya ingin menjadi wanita satu-satunya."

"Mana ada yang seperti itu?" Dewi Lara Linsing tentu heran dengan jawaban putrinya yang tidak masuk akal.

"Nah, ibunda tahu bahwa tidak ada pria seperti itu."

Namun apakah mereka akan mendengar pendapat dari gadir remaja? Walau ikut tertawa dengan candaan itu tetap saja raja dan ratu tentu memikirkan bagaimana dengan kerajaan jika sang ratu nantinya tidak memiliki sosok pendamping?

Hingga beberapa waktu Prabu Lingga terus menerus menawarkan beberapa pria bangsawan yang mau meminang putrinya namun itupun terus di tolaknya. Hingga saat kepalanya berdenyut memikirkan putrinya itu sepertinya sang hyang widi mendengar keluhannya yang akhirnya memberikan jawaban atas keresahan di hatinya.

Raja dari kerajaan besar seperti kerajaan Wilwatikta. Tentu ia sedikit mengatahui tentang sang raja tersebut. Dan mungkin jikalau ia yang melamarnya, putrinya tentu tak bisa menolak. Sama seperti apa yang di inginkannya. Raja yang muda, tampan, gagah, berani, bijaksana dan sempurna seperti apa syarat yang diucapkan putri Dyah Pitaloka.

"Esok utusan dari prabu hayam wuruk akan kemari untuk melamarmu. Pikirkan ini adalah yang terbaik dari yang terbaik. Kau tidak akan bisa menolaknya." Setelah mengucapkan kalimat itu barulah Dyah ditinggal sendiri dengan pikiran terheran.

Bagaimana bisa prabu hayam wuruk mengetahuinya? Tentu ia pernah baca bahwa sang prabu terpikat karena sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya. Namun kapan ia di lukis? Dia tak— ah! Jangan-jangan pada waktu di telaga itu? Pikirannya tentu berkeecamuk dan ia mengutuk orang yang terlihat ada di sana yang mereka pikir adalah orang mesum.



Terimakasih sudah berkunjung🤍🦩mohon kritik dan sarannya agar bisa membantu cerita ini menjadi yang sempurna 🙏🏻🤍

Sumedang, Selasa, 8 Agustus 2023 20:41

PadmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang