1 | Kecemasan Yang Muncul

981 80 31
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Sambungan telepon dengan Ridho belum terputus. Mika dan Hani segera mengeluarkan ponsel masing-masing dari dalam saku, karena menyadari akan ada perubahan jadwal mendadak. Mereka jelas harus mengabari keluarga masing-masing, jika tidak ingin ada yang merasa khawatir. Santi dan si kembar tiga pasti sudah menunggu Mika pulang, begitu pula dengan Rian dan Olivia yang telah menantikan kepulangan Hani. Jika tidak ada kabar, maka yang menunggu mereka pulang pasti akan merasa gelisah.

"Oke, Pak Ridho tenang dulu," bujuk Tari perlahan, sambil mematikan tombol loudspeaker yang tadi menyala. "Coba jelaskan dulu duduk permasalahannya pada saya, agar semuanya lebih jelas."

Tari segera mengeluarkan buku agenda miliknya dari dalam tas, begitu pula dengan Rasyid. Alwan menatap ke arah Karin yang saat itu masih merangkul lengannya, seraya memasang wajah yang serius. Wanita itu sejak tadi berusaha mendengarkan dengan baik, pembicaraan antara Tari dan Ridho yang sedang berlangsung. Hal itu membuat Alwan langsung memahami, bahwa Karin sama sekali tidak merasa cemas ketika mendengar ada kasus baru yang harus ditangani oleh Alwan bersama semua anggota tim.

"Dek," tegur Alwan, pelan.

Karin pun menoleh ke arah Alwan dan menatap tepat pada kedua mata pria itu.

"Iya, Mas? Ada apa?" tanya Karin, ikut memelankan suaranya.

"Maaf, sepertinya kita tidak akan langsung pulang ke Jakarta. Mau tidak mau, kamu harus ikut bersamaku ke tempat tujuan lain. Aku jelas tidak bisa membiarkan kamu terbang sendiri ke Jakarta, meski tahu kalau kamu pasti bisa menemukan alamat rumah yang akan kita tinggali bersama. Jadi meskipun kamu capek ...."

Karin langsung meletakkan telunjuknya pada bibir, sebagai tanda agar Alwan segera berhenti bicara. Alwan pun benar-benar berhenti bicara saat Karin memberi tanda seperti itu. Karin segera mendekat pada telinga Alwan, agar bisa bicara lebih pelan lagi.

"Aku sama sekali tidak capek, Mas. Aku justru senang kalau Mas Alwan akan mengajakku agar bisa ikut, ketika Mas bekerja bersama mereka. Jadi Mas Alwan tidak perlu khawatir berlebihan soal kondisiku. Ke mana pun Mas Alwan mengajak aku pergi, Insya Allah aku akan ikut dan tidak akan mengeluh," bisiknya.

Wajah Alwan memerah perlahan usai mendengar yang Karin utarakan kepadanya. Jantungnya berdenyut merdu, seiring dengan lembut suara Karin yang terdengar di telinganya. Kini ia tidak bisa menutupi senyum di wajahnya, padahal biasanya ia lebih sering memasang wajah datar di depan orang lain.

"Tapi hanya kali ini, Dek. Lain kali mungkin aku tidak akan mengajak kamu. Ini hanya karena sedang darurat saja. Serta, kebetulan kamu memang sedang ada bersamaku saat ini," jelas Alwan.

"Iya, Mas. Aku paham," jawab Karin.

Alwan sama sekali tidak menemukan ekspresi kecewa di wajah Karin. Wanita itu terlihat sangat bahagia setiap kali Alwan bicara dengannya. Wajahnya yang cerah dan tatapnya yang teduh membuat Alwan merasa sangat tenang. Ia baru menyadari, bahwa keberadaan Karin bisa membuatnya merasa tenang meski wanita itu tidak melakukan apa pun. Kini ia mulai merasa tidak yakin, apakah dirinya bisa berjauhan dari Karin dan meninggalkannya di rumah ketika ada pekerjaan. Ia takut merasa rindu. Ia takut Karin akan kesepian jika terlalu sering ditinggalkan sendiri.

"Iya, Mi. Insya Allah Papi akan selalu menjaga diri. Mami di rumah tenang-tenang, ya, sama Sammy, Sandy, dan Samsul. Nanti kalau Papi pulang, pokoknya kegiatan menjaga si kembar tiga akan kembali menjadi tugas Papi. Oke, Sayang? Kiss dulu, dong," pinta Mika, dengan nada yang begitu manja.

"Heh, Mika Kanigara! Tahu diri sedikit, lah!" tegur Hani, yang juga belum selesai bicara dengan Rian di telepon. "Alwan sama Karin saja masih sering jaga-jaga jarak meski sudah resmi menikah dan bergelar pengantin baru. Ini yang sudah bergelar pengantin bulukan pakai ada acara minta kiss lewat telepon! Malu, dong, sama Sammy, Sandy, dan Samsul!"

Mika berbalik dan menatap Hani dengan sengit, meski ponselnya masih menempel di telinga dan sambungan telepon dengan Santi belum terputus.

"Heh, Hani Amalia alias Nyonya Januar! Mau pengantin baru, kek ... mau pengantin lama, kek ... romantis sama pasangan itu hal yang wajib kita lakukan dan laksanakan setiap saat! Kalau Mas Rian kurang sering romantis sama kamu, kasih nasehat sama dia biar jadi sering-sering romantis," balas Mika.

Karin terkikik geli saat kembali melihat pertengkaran antara Mika dan Hani. Alwan tidak bisa berkata-kata ketika menatap kedua orang tersebut. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala, lalu berusaha menyembunyikan wajah Karin yang sudah memerah ke dalam dekapannya.

"Aduh ... kalian berdua itu kalau enggak bertengkar apa bisa kena penyakit sawan, ya? Kok hobi banget adu mulut, sih?" keluh Ziva.

"Mungkin mereka butuh ceramah rohani dari kamu, Sayang. Sepertinya sudah lama mereka kurang menerima ceramah," saran Raja, sambil menahan-nahan tawanya.

"Ja, jangan menambah-nambah bahan pertengkaran, dong," tegur Alwan.

"Aku cuma memberikan saran pada Istriku, Al. Aku tidak ada maksud sama sekali untuk menambah-nambah bahan pertengkaran, kok," sanggah Raja.

Hani langsung menatap Raja dengan sengit. Ziva langsung tersenyum manis ke arah Hani, sambil menghalangi tatapan wanita itu ke arah Raja.

"Hani Sayang, sudahi kekesalanmu, ya. Ayo ... lanjut bicara sama Mas Rian. Kamu pasti masih kangen sama Mas Rian dan Olivia, 'kan?" bujuk Ziva.

"Kali ini aku akan melepaskan Raja dari omelanku, Ziv. Tapi lain kali, aku jelas tidak akan segan-segan mengomelinya jika masih saja berusaha menambah-nambah bahan pertengkaran seperti barusan."

"Iya ... iya ... Insya Allah akan aku nasehati Suamiku, agar dia lebih sering mengutarakan saran yang baik daripada saran yang bernada kompor," janji Ziva.

Tari akhirnya menutup sambungan telepon setelah mencatat semua keterangan yang diungkapkan oleh Ridho. Rasyid membaca ulang hasil catatan Tari, lalu menyalin bagian-bagian penting dari semua keterangan itu pada buku catatannya sendiri. Tatapan Tari kini kembali terarah pada semua anggota timnya yang duduk di belakang. Ada gurat rasa lelah yang tercetak begitu jelas pada wajah mereka, dan seharusnya mereka semua mendapatkan hari libur setelah menyelesaikan pekerjaan kemarin. Sayangnya, semua itu tidak akan terjadi karena kini mereka harus segera mengurus pekerjaan lain yang datang mendadak.

"Apakah menurutmu sebaiknya kita tolak saja pekerjaan kali ini, Sayang?" tanya Tari, sedikit memelankan suaranya.

Rasyid bisa melihat adanya kecemasan di wajah Tari akan kondisi semua anggota tim yang lain. Rasyid pun memikirkan itu sejak tadi, namun rasanya tidak mungkin menolak pekerjaan karena korban teluh tidak mungkin bisa menunggu satu atau dua hari lagi untuk ditangani. Nyawa korban bisa saja melayang kapan pun, jika tidak segera mendapatkan pertolongan. Hal itu membuat Rasyid memutuskan untuk menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa dirinya tidak setuju jika Tari memilih untuk menolak pekerjaan kali itu. Tari pun kembali menatap ke belakang dan kali ini isi buku agendanya sudah siap ia bacakan.

"Oke, semuanya. Tolong dengarkan baik-baik keterangan yang diberikan oleh Pak Ridho padaku, mengenai kasus kali ini," pinta Tari, memulai.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang