3 | Ada Yang Menghalangi

879 78 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Keadaan cuaca cukup cerah. Tidak ada kendala sama sekali dalam penerbangan yang mereka lewati malam itu. Tepat pukul sembilan malam, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Keadaan jadi cukup berbeda, akibat dari tempat duduk mereka yang terpisah-pisah. Penumpang lain banyak sekali yang terburu-buru ingin turun dan tidak ingin mengalah. Sehingga sering ada saja yang mencoba untuk mendahului langkah orang lain, padahal tahu bahwa di depannya ada orang yang seharusnya berjalan duluan.

Alwan jelas berusaha tetap berada di sisi Karin. Ia menuntunnya agar tidak tertinggal terlalu lama di dalam pesawat, meski tempat duduk mereka berada hampir di bagian belakang. Karin juga terus mendekat pada Alwan, karena takut tertinggal sendirian di pesawat tersebut.

"Pegang tanganku kuat-kuat, ya, Dek. Kita tidak boleh terpisah. Kalau sampai kita terpisah, takutnya nanti kamu jadi turun paling belakangan karena tertahan di sini cukup lama," ujar Alwan.

"Iya, Mas. Akan kupegang tangan Mas Alwan kuat-kuat. Tidak akan  aku lepaskan, Insya Allah," janji Karin.

Raja tampak mengutamakan Ziva, agar bisa mendekat pada Hani. Bagi Raja, Ziva harus keluar lebih dulu meski bukan dirinya yang mendampingi. Ziva tidak boleh tertahan terlalu lama, atau dia akan menjadi yang terakhir keluar dari pesawat akibat merasa tidak enak untuk memotong antrian penumpang lain. Tas dan kandang Ketoprak tampak akan menjadi urusan Raja sepenuhnya. Sehingga Ziva tidak perlu lagi memusingkan soal barang bawaan.

Mereka mengikuti arus penumpang yang ada di depan perlahan-lahan. Yang berhasil turun lebih dulu saat itu adalah Mika dan Tari. Keduanya pun menunggu yang lain, untuk memastikan kalau tidak akan ada yang turun paling belakangan. Rasyid dan Raja ada di belakang Ziva dan Hani, semetara Alwan dan Karin menyusul langkah mereka tak lama kemudian. Semua akhirnya kembali berkumpul di tempat kedatangan. Mika dan Tari merasa lega, karena akhirnya tidak ada yang perlu saling mencari-cari atau turun paling akhir dari pesawat. Semua barang bawaan mereka juga aman, sama sekali tidak ada yang tertinggal.

Mika segera mengambil foto--seperti biasa--untuk dikirim pada Santi. Ia tidak merasa tenang, jika belum mengirimkan fotonya bersama anggota tim yang lain sebagai laporan kepada keluarga di rumah. Ia selalu ingin orang di rumah merasa tenang, meski dirinya berada jauh dari rumah. Ridho dan Junira--istri Ridho--sudah menunggu mereka di parkiran Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Mereka saling menyapa selama beberapa saat, saling menanyakan kabar, lalu setelah itu segera menaiki minibus pribadi yang dibawa oleh Ridho

"Perkenalkan, yang duduk di sebelah saya ini adalah Istri saya. Namanya Junira Lasmi. Panggil saja Nira. Dia adalah Adik dari Bapaknya Mahesa. Istri saya ini bekerja sebagai Dosen di Universitas Bina Darma. Mahesa juga juga kuliah di sana dan baru semester lima. Dia mengambil jurusan Ilmu Psikologi," jelas Ridho.

"Perkenalkan juga, Bu Nira. Saya Tari, dan akan mewakili seluruh anggota tim saya untuk berkenalan dengan Ibu. Bolehkah jika saya dan yang lainnya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ibu?" tanya Tari.

"Iya, Mbak Tari. Tentu saja boleh. Silakan tanyakan saja, siapa tahu saya bisa menjawabnya," jawab Junira.

Tari melirik ke arah yang lainnya, memberikan tanda agar mulai mengajukan pertanyaan. Hani tampaknya memiliki pertanyaan yang ingin sekali ditanyakan, sehingga membuatnya segera menatap ke arah Junira yang saat itu duduk di kursi bagian depan.

"Kalau boleh tahu, Bu Nira, apakah Mahesa cukup rajin datang ke kampus dan memiliki nilai yang bagus di jurusannya?" tanya Hani.

"Setahu saya, Mahesa memang rajin pergi ke kampus. Hampir tidak pernah dia absen, kecuali sedang sakit atau ada urusan keluarga. Dia anak yang rajin, sejak SD pun sudah begitu. Untuk nilai Mahesa sendiri, saya rasa standar-standar saja. Dibilang bagus, ya, tidak. Dibilang jelek, ya, tidak juga. Pokoknya di tengah-tengah, Mbak."

"Apakah Mahesa punya teman dekat di lingkungan rumah ataupun di kampus, Bu Nira?" tanya Mika.

"Punya, Mas. Baik itu di lingkungan rumah ataupun di kampus, Mahesa punya teman dekat. Mereka selalu datang ke rumahnya, terutama setelah Mahesa sakit parah dan aneh saat ini."

"Mereka sering datang, Bu? Apakah jika nanti kita sampai di sana, mereka juga akan ada?" Rasyid jadi ingin tahu lebih jauh.

"Biasanya mereka masih di sana jam-jam segini, Mas. Soalnya sudah ada yang pulang kerja dan ada yang jam kuliahnya sudah selesai. Jadi mereka selalu menyempatkan diri datang menjenguk Mahesa dan baru akan pulang sekitar jam sepuluh malam."

"Apakah Mahesa punya musuh, Bu Nira?" kali ini Raja yang bertanya.

"Kalau soal itu saya kurang tahu, Mas. Mungkin Mas-nya bisa tanya sama teman-teman dekat Mahesa. Mereka atau salah satunya, pasti tahu mengenai hal itu," saran Junira.

"Selama sakit, apakah Mahesa sering bermimpi buruk, Bu Nira?" Ziva akhirnya buka mulut.

Semua terdiam ketika mendengar suaranya. Apa yang Ziva tanyakan pasti berkaitan dengan firasat yang biasa diterima oleh wanita itu. Hal tersebut akhirnya menimbulkan rasa penasaran yang membutuhkan jawaban.

"Kalau mimpi buruk, menurut yang diceritakan oleh Kakak dan Kakak ipar saya, Mahesa justru sering bermimpi buruk sebelum mengalami sakit, Mbak. Saat dia sudah sakit dan hanya bisa terbaring, dia sama sekali tidak bermimpi buruk lagi. Tidurnya justru nyenyak saat sakit. Padahal biasanya Mahesa kadang terserang insomnia, terutama saat sedang banyak pikiran."

Semua tatapan kini terarah kepada Ziva. Mereka ingin tahu, apakah wanita itu sudah mendapatkan firasat atau belum. Sayangnya, Ziva menuliskan sesuatu di ponselnya dan dikirim melalui grup WhatsApp.

ZIVA
Belum ada firasat sama sekali. Mahesa seakan sulit untuk ditembus olehku. Sebaiknya kita waspada saja mulai dari sekarang. Karena kita sama sekali tidak tahu, hal seperti apa yang akan kita hadapi nanti.

Membaca pesan seperti itu, pastinya membuat perasaan semua orang mulai tidak tenang. Tidak biasanya Ziva sama sekali tidak mendapat firasat sampai pada waktu akan bertemu dengan korban. Sekarang mereka hanya bisa fokus mencari-cari tahu semua hal dari korban atau orang-orang terdekatnya. Tanpa mencari tahu, maka mereka bisa jadi akan tersesat dan salah langkah.

"Ada yang menghalangi meskipun aku mencoba sangat keras untuk menembusnya. Kali ini rasanya penghalang itu cukup kuat. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannya. Tapi jika aku mengatakannya pada yang lain, bisa jadi mereka akan merasa resah dan sulit untuk berkonsentrasi. Ya Allah, berilah aku petunjuk dan mudahkanlah segalanya untuk kami. Aamiin yaa rabbal 'alamiin," batin Ziva, berusaha memperkuat diri dan hatinya.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang