12 | Berpikir Ke Arah Yang Sama

725 69 39
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

BOOMMMM!!!

Lagi-lagi ledakan terjadi di ruangan besar itu. Burhan dan Nasya terlempar ke belakang hingga keduanya jatuh ke lantai, bersamaan dengan berhamburannya wadah sesajen yang tadi sudah diperbaiki. Malam itu benar-benar menjadi malam yang sial bagi Burhan. Laki-laki tua itu harus menghadapi kenyataan, bahwa makhluk suruhannya sudah terkalahkan sebanyak dua kali. Ia merasa geram. Amarahnya meluap-luap tanpa bisa dikendalikan.

"KURANG AJAR!!! BERANINYA ORANG ITU DUA KALI MENGALAHKAN MAKHLUK SURUHANKU!!!" amuknya.

Nasya segera membantunya berdiri, meski dirinya sendiri saat itu merasakan sakit pada bagian pinggang dan kakinya. Setelah Burhan kembali berdiri, tangannya langsung menunjuk ke arah lemari yang ada di pojok ruangan besar tersebut.

"Cepat, ambilkan keris emas milik Bapak dari lemari itu!" perintahnya.

"Iya, Pak," jawab Nasya.

Nasya pun segera berlari menuju ke arah lemari untuk mengambil keris emas. Ia sudah sering melihat keris emas yang Burhan maksud, sehingga sangat hafal di mana letaknya meski keris itu berada di antara deretan keris-keris lainnya. Setelah mengambil keris emas dari lemari, Nasya segera kembali dan menyerahkannya kepada Burhan. Burhan segera membawa keris itu ke ujung tengah ruangan. Nasya mengikutinya, karena tahu kalau Burhan akan melakukan sesuatu pada Mahesa.

Keduanya tiba di depan sebuah gumbang yang terbuat dari tanah liat. Isi dari gumbang itu adalah air rendaman tulang kepala kerbau. Air dalam gumbang tersebut biasa digunakan untuk merendam keris, ketika Burhan akan menyerang langsung pada korban teluhnya yang harus segera dibunuh. Malam itu, Burhan sudah jelas menyadari bahwa orang yang berusaha menolong Mahesa memiliki Ilmu cukup tinggi, meski tidak setinggi ilmu hitam yang ia kuasai. Maka dari itu ia memilih akan menyerang Mahesa dan membunuhnya, agar orang yang telah melenyapkan dua makhluk suruhannya tidak berhasil menyelamatkan Mahesa.

"Bapak harus segera membunuh Mahesa malam ini juga. Bapak tidak bisa menyiksanya lebih lama lagi, karena bisa saja orang yang membantunya malam ini akan berhasil membuatnya terlepas dari teluh banyu," jelas Burhan. "Kamu tidak keberatan, 'kan, kalau Mahesa lebih cepat mati?"

Nasya menatap Burhan sambil tersenyum miring. Raut wajahnya yang cantik menggambarkan betapa jahat hati yang dia punya selama ini. Hanya saja, tidak pernah ada yang menyadari jahatnya perempuan itu karena selalu tertipu oleh kecantikan pada wajahnya.

"Mana mungkin aku merasa keberatan, Pak? Bapak tahu sendiri, 'kan, kalau aku tidak pernah setengah-setengah saat menginginkan kematian seseorang. Bapak lupa, sudah berapa teman satu fakultasku yang mati karena aku benci pada mereka? Bapak yang mengirimkan teluh banyu pada mereka, hingga akhirnya mereka lenyap dari pandanganku. Jadi, begitu pula keinginanku terhadap Mahesa. Dia memang harus mati, karena aku tidak mau dia dimiliki oleh perempuan lain setelah menolak cintaku," jawab Nasya, sama sekali tidak menutupi niat busuknya.

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Burhan pun tertawa, sambil membelai rambut panjang putri kesayangannya tersebut. "Kamu memang satu-satunya anak Bapak yang terbaik. Kamu benar. Jika Mahesa tidak bisa menjadi milikmu, maka tidak ada satu perempuan pun yang boleh memilikinya. Kalau begitu, Bapak akan mulai menyiksanya sekarang. Siksaan itu tidak akan berhenti sampai dia benar-benar mati."

Nasya tersenyum penuh semangat. Ia sudah tidak sabar ingin mendengar kabar kematian Mahesa yang akan tersebar di kampus. Ia jelas akan menikmati momen itu dengan perasaan bahagia, karena tahu bahwa Mahesa benar-benar tidak akan dimiliki oleh perempuan lain seperti impiannya.

Rasyid mulai memberi Mahesa minum menggunakan air yang sudah didoakan. Mahesa--yang saat itu keadaannya sangat lemas akibat tidak bisa makan selama berhari-hari--hampir menolak minum, saat Rasyid menyodorkan botol ke hadapannya. Pria itu merasa perutnya sudah terlalu penuh dengan cairan, sehingga lebih ingin semua cairan itu segera keluar dari perutnya.

"Sedikit demi sedikit saja, Mahesa. Minum air yang sudah kami doakan ini akan membuat kamu merasa sedikit lega," bujuk Rasyid.

"Ayo, dicoba dulu. Jangan takut. Insya Allah rasa sakit di perutmu saat ini akan hilang perlahan setelah minum," tambah Raja, ikut membujuk.

Mahesa pun akhirnya menuruti bujukan Rasyid dan Raja. Setelah membaca basmalah dengan lirih, Mahesa pun minum sedikit demi sedikit air tersebut, hingga habis setengah botol. Alwan terlihat diam saja di ujung dipan. Pria itu tampaknya sedang memikirkan jalan keluar--seperti yang biasa dilakukannya--sambil mengamati Mahesa dengan teliti. Keluarga dan teman-teman dekat Mahesa menatap dari pembatas ruang tamu dan ruang tengah. Mereka masih merasa cemas dengan keadaan Mahesa, sehingga tidak ada satu pun yang ingin meninggalkan rumah itu.

Tatapan Alwan kini beralih kepada Ziva, setelah sejak tadi dirinya hanya diam saja. Ziva tahu betul kalau dirinya sedang ditatap oleh Alwan, karena ia dan Raja sudah sering merasakan adanya perbedaan keadaan di sekitar mereka ketika Alwan sedang menatap dari jauh. Dan ketika ia menoleh, benar saja bahwa Alwan tengah menatapnya. Pria itu tampaknya ingin mengajukan pertanyaan, namun masih mempertimbangkan.

"Biasanya kalau Dukun mendadak bertindak memberi serangan balasan, artinya orang yang menyuruh Dukun itu sedang ada bersama dia, 'kan?" tanya Alwan.

"Iya. Kamu benar, Al. Biasanya Dukun akan memberi serangan balasan, jika dirinya sudah mendapat persetujuan dari orang yang menyuruhnya. Karena bagaimana pun, ada hal yang harus dibayarkan oleh orang yang menyuruh kepada Dukun itu, sehingga persetujuannya dibutuhkan untuk menjamin bahwa nanti orang yang menyuruhnya akan benar-benar membayar kepada si Dukun atas jasanya. Memangnya kenapa kamu bertanya begitu, Al?" Ziva balik bertanya.

"Kalau memang demikian ... berarti saat ada serangan yang kedua tadi, orang yang menyuruh Dukun itu sedang ada di rumah Dukunnya. Kita semua tahu, 'kan, bahwa rumah Dukun biasanya berada sangat terpencil dan jauh dari keramaian? Semacam di tengah hutan, di puncak gunung, dan tempat-tempat lain yang biasanya bisa dihuni oleh makhluk-makhluk halus peliharaan si Dukun. Jadi bagaimana bisa orang itu ada di rumah Dukun malam-malam begini dan memberi perintah, padahal dia adalah seorang perempuan?"

Alwan sengaja membeberkan apa yang dipikirkannya sejak tadi. Hal itu membuat Ziva dan Tari ikut berpikir keras seperti yang Alwan lakukan.

"Kecuali ..." Karin bicara pada dirinya sendiri sambil berpikir.

Semua anggota tim menoleh ke arah wanita itu, yang kini sedang duduk di bagian paling bawah tangga menuju lantai atas.

"... perempuan itu adalah anak dari si Dukun. Dia pasti akan selalu ada di sisi si Dukun, kalau mereka memang tinggal satu rumah."

"Ih ... Alwan jadi ada duplikatnya. Cepat sekali Karin berpikir sampai ke situ," celetuk Raja, saat yang lain memikirkan ucapan Karin.

"Ja! Jangan bercanda!" tegur Rasyid, setengah mendesis.

Tari tidak mau terlalu memikirkan celetukan Raja. Ia segera berjalan mendekat ke arah Junira, yang saat itu juga berada di dekat tangga bersama Karin.

"Maaf, Bu Nira. Kalau saya meminta bantuan Bu Nira untuk mencari tahu soal data mahasiswa dan mahasiswi di kampus tempat Ibu mengajar, apakah bisa?" tanya Tari, penuh harap.

* * *

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang