15 | Terungkap

814 78 40
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rian pun mengangguk, pertanda bahwa dirinya setuju dengan keinginan Hani. Rian paham betul bahwa Hani sekarang merisaukan kinerja timnya, karena harus kekurangan dua orang pada waktu yang sama. Hal itu pasti akan berdampak, terutama jika harus ada banyak tenaga ketika sedang meruqyah korban teluh.

"Iya. Aku setuju. Kamu sebaiknya kembali ke sana untuk membantu yang lain. Soal Mika, biar aku dan Santi yang menemaninya. Kalau ada apa-apa yang harus diurus, nanti aku yang akan bantu uruskan agar Santi bisa tetap menjaga Mika di sini," tanggap Rian.

"Apakah tidak apa-apa jika kamu pergi sendiri ke sana, Han? Ini sudah jam setengah dua pagi," cegah Santi.

"Tidak apa-apa, San. Insya Allah aku akan sampai di sana dengan selamat. Aku akan terus mengabari Mas Rian soal keberadaanku selama berada di perjalanan," janji Hani.

Rian pun meletakkan Olivia pada boks bayi yang disediakan oleh pihak rumah sakit, dan membiarkannya bermain dengan Samsul. Mika tampak enggan menyetujui hal yang Hani katakan, namun sadar bahwa tim mereka akan kekurangan orang ketika harus menghadapi serangan-serangan tidak terduga lainnya.

"Coba tanya dulu pada Dokter, apakah aku juga bisa keluar dari rumah sakit secepatnya atau tidak," pinta Mika.

"Heh! Jangan gila, ya!" omel Hani, instan. "Sudah tahu keadaanmu sedang tidak baik-baik saja, malah berusaha meminta sesuatu yang tidak masuk akal! Kalau pun pikiran Dokter ikut ada gila-gilanya seperti pikiranmu, aku tetap tidak akan biarkan kamu keluar dari sini dan kembali ke rumah orangtua Mahesa. Kamu harus tetap ada di rumah sakit dan menjalani perawatan sampai sembuh. Kalau pekerjaan tim kita selesai, semuanya pasti akan datang ke sini dan mengupayakan agar kamu bisa pindah ke rumah sakit di Jakarta. Jadi jangan coba-coba merayu Dokter agar memberikan izin! Paham?"

Mika berjengit ngeri, saat mendapat pelototan maut dari Hani. Samsul memukuli wajah Mika dengan mainan lembut milik Olivia berkali-kali. Bayi menggemaskan itu seakan setuju dengan pendapat Hani, sehingga langsung memberi pelajaran pada Mika.

"Aduh, Samsul ... sakit, Nak. Kamu kok malah mendukung Tante Hani, sih? Dukung Papi, dong," protes Mika.

"Pipa, ppfftttt! Pipa, ppffftttt! Ppffftttt-ppffftttt-ppffftttt!" balas Samsul.

Rian dan Santi langsung menertawai keadaan yang mereka lihat saat itu. Mika tidak bisa lari ataupun menghindar dari semburan biskuit bayi yang tengah dikunyah oleh Samsul. Olivia tertawa geli saat melihat hasil karya Samsul pada wajah Mika, lalu bertepuk tangan. Hani segera berpamitan pada Olivia tak lama kemudian, lalu mencium punggung tangan Rian seperti biasanya.

"Jangan lupa kabari, ya, kalau kamu sudah tiba di rumah orangtuanya korban," pinta Rian.

"Iya, Mas. Insya Allah aku akan segera mengabari jika sudah sampai di sana. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Hani.

"Wa'alaikumsalam," jawab Rian, Santi, maupun Mika.

Setelah Hani pergi, Mika kembali menatap ke arah Santi--yang ada di sisi tempat tidur Mika--dan Rian--yang ada di samping boks bayi.

"Aku serius, loh, tadi. Aku benar-benar yakin, kalau diriku pasti bisa ikut kembali ke rumah orangtua korban," Mika berupaya membujuk sekali lagi.

"Ppffftttt-ppffftttt-ppffftttt!"

Bujukan itu jelas tidak akan berhasil mempengaruhi siapa pun, karena Samsul akan selalu menyanggah ucapan Mika dengan semburan biskuit bayi yang dikunyahnya. Dan Santi sama sekali tidak akan menghentikan usaha Samsul.

"U-lu-lu-lu-lu ... anak pintar," puji Rian--sambil membelai lembut puncak kepala Samsul--dengan sengaja.

Tari kembali ke ruang tamu setelah mengurus keempat anggota timnya yang tadi mendadak basah kuyup. Deri baru saja berhasil meretas firewall kampus dan masuk pada bagian data mahasiswa. Zaki menyodorkan kertas yang tadi Tari serahkan. Nama Nasya sudah ia tulis di sana agar Deri lebih mudah menemukan keterangan lengkap mengenai perempuan itu.

"Ini tidak ada yang salah huruf, 'kan? Sudah benar, 'kan, namanya seperti itu?" tanya Deri.

"Iya. Itu sudah benar, Der. Aku dan Saif lihat sendiri namanya saat kartu mahasiswa yang dia punya terekspos oleh kami berdua. Dia menyimpan kartu mahasiswanya pada ID card holder yang tergantung di lehernya. Jadi saat dia sudah tidak bersikap sekalem Princess Aurora ketika berhadapan sama Esa, tatap mata kami berdua langsung bisa melihat namanya dengan jelas pada kartu mahasiswa itu," jawab Zaki.

"Hah? Awalnya dia bersikap sekalem Princess Aurora?" kaget Deri.

"Iya, awalnya memang begitu. Saif pun sampai sempat terpesona saat melihat kecantikan dan keanggunannya. Tapi akhirnya, dia langsung menjelma jadi seseram Annabelle setelah Esa menolaknya," jelas Zaki, sangat detail.

"Wajar, sih, kalau Saif sempat terpesona. Dia, 'kan, pria normal," pikir Miki.

"Zaki juga normal," sahut Tari. "Dia tahu, kok, mana wanita yang cantik dan tidak. Buktinya dia juga mengakui kalau perempuan itu memang cantik, sampai bisa dibandingkan dengan Princess Aurora. Hanya saja, perspektif antara Saif dan Zaki memiliki perbedaan. Kalau Saif adalah orang yang mudah terpesona pada kecantikan dan keanggunan perempuan itu sejak pertama melihatnya, beda halnya dengan Zaki yang merasa tidak bisa mempercayai penglihatan sekilasnya. Zaki tipikal yang harus tahu secara detail tentang seseorang, barulah setelah itu dia memberi nilai apakah orang itu baik atau tidak jika harus berada di dekatnya dalam jangka waktu lama. Dia sangat observatif, jadi tidak bisa disalahkan jika dia tidak bisa percaya seseorang yang baru dikenal atau baru dilihatnya."

Deri memutar arah laptopnya, agar Tari bisa melihat dengan jelas foto serta biodata lengkap dari Nasya yang sejak tadi tidak bisa mereka sebutkan namanya. Tari segera mengambil foto menggunakan kamera ponselnya, agar apa yang dilihatnya pada layar laptop milik Deri bisa ia kirimkan pada yang lainnya. Ia kemudian membaca semuanya secara detail, sampai ia menemukan keterangan mengenai alamat perempuan itu di bagian tengah.

"Aku akan coba buka Google Maps dulu, ya. Biar kita semua tahu di mana lokasi dari alamat yang tertera pada data dirinya itu," ujar Tari, sambil mencari Google Maps pada ponselnya.

Junira mencoba melihat lebih dekat pencarian lokasi dari alamat yang mereka dapatkan. Kedua wanita itu langsung ternganga dengan kompak, saat melihat lokasi yang mereka temukan pada Google Maps.

"Wah, tampaknya dia memang anak dari seorang Dukun santet. Alamatnya saja berada di tengah hutan dan sangat jauh dari pemukiman warga," Junira tampak tidak percaya.

Zaki membaca semua keterangan yang tertera pada laptop Deri. Ia kembali menatap Tari, saat menemukan sesuatu yang lebih penting lagi.

"Yang Dukun ternyata Bapaknya, Kak. Tertulis di sini bahwa Ibunya perempuan itu sudah meninggal sejak tahun 2017," ujar Zaki, sambil memperlihatkan keterangan yang ia maksud.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang