26 | Musnah Dan Patah

682 76 34
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Mendengar yang Karin katakan kepadanya, membuat Mahesa sadar bahwa bukan hanya dirinya yang pernah menempati posisi itu. Karin tidak terlihat sedang berbohong, saat mengatakan bahwa dia tahu apa yang sedang Mahesa rasakan.

"Ta-pi, Kak ... sa-kit," ulang Mahesa.

"Bersabar, Mahesa. Hanya tinggal sedikit lagi. Ayo, teruslah bertahan dan berusaha," bujuk Alwan.

Rasyid kembali mengulang usapan pada bagian belakang tubuh Mahesa. Mulai dari bagian pinggang menuju ke atas, tepat pada bagian punggung hingga pundak.

"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ...."

HOEEEKKK!!!

Mahesa kembali memuntahkan air ke dalam ember seperti tadi. Dukungan yang tidak henti diberikan oleh orang-orang di sekelilingnya membuat ia kembali mencoba bertahan. Ia tidak mempedulikan lagi rasa sakit itu. Ia hanya ingin terlepas dari teluh dan berusaha mempercayakannya kepada Allah.

"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir!"

HOEEEKKK!!!

"ALHAMDULILLAH!!!" ungkap Raja, Alwan, dan Karin saat akhirnya muntahan terakhir Mahesa bukan lagi air seperti tadi.

Hal itu menandakan, bahwa Mahesa kini telah benar-benar terlepas dari teluh banyu yang membuatnya menderita. Rasyid pun memberi tanda pada Farhan dan Mawar agar segera mendekat. Mahesa jelas sudah boleh kembali ditemani oleh mereka, karena tidak akan ada lagi risiko terjadinya serangan dari makhluk halus. Mawar langsung memeluk Mahesa dengan erat seraya menangis. Farhan ikut duduk di sisi mereka berdua dan merangkul dengan penuh rasa lega.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Alhamdulillah," ungkap Mawar.

"Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih atas pertolongan-Mu kepada Putra kami. Terima kasih karena Engkau telah menyelamatkannya," ungkap Farhan.

"Pak Farhan," panggil Rasyid, begitu pelan.

Farhan pun menoleh ke arah Rasyid.

"Iya, Mas Rasyid. Apakah ada lagi yang harus dilakukan kepada Mahesa, Mas?" tanya Farhan, sambil mengusap airmatanya.

Rasyid pun tersenyum.

"Alhamdulillah, sudah tidak ada yang perlu dilakukan terhadap Mahesa, Pak Farhan. Hanya saja, sebaiknya Mahesa segera dibantu untuk membersihkan diri, karena sebentar lagi waktu subuh akan tiba. Mahesa harus melaksanakan shalat, untuk memperkuat diri dan batinnya setelah terlepas dari teluh," jawab Rasyid.

"Oh, iya. Baik, Mas Rasyid. Mahesa akan segera saya bantu membersihkan diri."

Setelah bicara dengan Farhan, Rasyid segera bergabung dengan Raja, Alwan, dan Karin yang masih membereskan sisa-sisa pekerjaan mereka. Ketiganya menatap ke arah Rasyid, seakan sedang menantikan arahan dari pria itu.

"Mari kita keluar. Siapa tahu Ziva, Tari, dan Hani membutuhkan bantuan kita," ajak Rasyid.

Tari berjalan perlahan-lahan, untuk menyeimbangkan langkah dan pegangan pada parang peraknya. Buntalan kain merah di ujung parang perak itu tidak boleh terjatuh ke tanah, seperti yang Ziva peringatkan tadi. Tingkah kehati-hatian yang Tari pertahankan itu membuat Nasya merasa sangat marah. Bapaknya terkapar di tanah dan tidak mendapat pertolongan. Sementara ketiga wanita yang menyerang Bapaknya habis-habisan, kini sedang berencana ingin membuat Bapaknya kehilangan ilmu hitam. Kemarahan Nasya benar-benar tersulut atas alasan tersebut. Membuatnya hampir berhasil meloloskan salah satu tangannya, dari tali yang mengikatnya di pohon jambu.

Saat tiba di tujuan, Tari pun langsung menyerahkan buntalan kain merah pada ujung parang peraknya kepada Ziva. Ziva menerimanya buntalan kain merah itu dengan tangan kosong, lalu segera mendekat pada ember kecil yang tadi sudah disiapkan olehnya sebelum Burhan tiba. Buntalan kain merah itu harus segera ia rendam ke dalam air tersebut, agar usaha ruqyah terakhir yang sedang berlangsung di dalam rumah orangtua Mahesa tidak mendapat kendala apa pun.

"Ini adalah ujungnya, 'kan?" tanya Tari.

"Ya. Insya Allah ini adalah bagian paling ujung untuk memusnahkan ilmu hitam si laki-laki tua tidak tahu diri itu, serta untuk mematahkan teluh banyu yang menyiksa Mahesa," jawab Ziva.

"Dan setelah semua berakhir, apa rencanamu terhadap perempuan itu? Apakah kita hanya akan menyerahkannya kepada Pak Ridho untuk dipenjarakan?"

"Aku akan menyarankan agar dia dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, Tar. Dia itu sakit jiwa, jadi tidak bisa jika hanya diberi hukuman penjara. Kalau dia bebas dari penjara suatu saat nanti, maka mungkin dia akan kembali mencari Mahesa dan akan mengusik hidupnya lagi. Jadi ... mengurungnya di Rumah Sakit Jiwa adalah pilihan satu-satunya yang paling tepat."

Tari pun menganggukkan kepalanya. Ia kini paham dengan apa yang Ziva pikirkan. Memikirkan hal terbaik untuk jangka panjang kehidupan Mahesa jelas menjadi prioritas bagi mereka, setelah semuanya selesai. Dan membuat Nasya tidak kembali ke dalam kehidupan Mahesa, adalah salah satu dari sekian banyak prioritas itu.

Ziva kini berlutut di tengah halaman. Ia sudah siap untuk merendam buntalan kain merah yang digenggamnya, ke dalam ember berisi air yang telah didoakan. Sejenak ia menatap ke arah Hani yang masih berdiri di dekat tempat tubuh Burhan tergeletak.

"Hani Sayang! Mundur yang jauh dari sana!" seru Ziva.

"Oke! Aku akan mundur!" sahut Hani.

Tatapan Hani kembali tertuju pada Burhan, diiringi dengan senyum mengejek seperti yang tadi Burhan berikan untuknya dan Tari.

"Nikmati akhir dari kebiadabanmu, Dukun tua sinting!" tegasnya.

Hani berjalan menjauh dari tempat Burhan berada. Burhan kembali berusaha bangkit dari tanah, namun hal itu sangatlah sia-sia. Sakit pada sekujur tubuh menghalangi niatnya untuk mencoba merebut kembali buntalan kain merah, yang berhasil diambil oleh Tari. Buntalan kain merah yang selama ini ia jaga demi mempertahankan kesaktian serta ilmu hitamnya untuk menjalani ritual teluh banyu sudah tidak lagi bisa direbut. Semuanya sudah terlambat, karena Ziva kini telah siap akan memasukkan buntalan kain merah itu ke dalam air untuk dimusnahkan. Rasyid, Raja, Alwan, dan Karin tiba di teras rumah tersebut. Mereka tahu, bahwa sekarang tidak ada yang boleh mendekat ke halaman ketika Ziva akan merendam buntalan kain merah yang dipegangnya.

"A'udzubillahi minasy-syaithaanirrajiim. Bismillahirrahmanirrahim. Bismillahilladzi la yadurru ma'a ismihi shay'un fil ardi wa la fis sama'i wa huwassami'ul 'alim," lirih Ziva.

Buntalan kain merah itu kemudian direndam ke dalam air pada ember, lalu setelahnya terdengarlah suara gemuruh yang begitu hebat dari arah yang tidak pasti. Nasya berhasil melepaskan diri dari tali yang mengikatnya di pohon jambu. Perempuan itu segera berlari ke arah tempat Burhan berada, karena tahu bahwa Burhan butuh diberi perlindungan.

"BAPAK!!!" teriaknya, kalang kabut.

BLAAMMM!!!

Karin langsung menyembunyikan wajahnya di pelukan Alwan. Ia tidak lagi berani melihat ke arah halaman. Iblis yang dipuja selama ini oleh Burhan menyerang tanpa bisa dihindari. Nasya yang sedang memeluk Burhan--usai berhasil melepaskan diri--akhirnya ikut terkena serangan dari Iblis tersebut. Semuanya terjadi begitu cepat, membuat Ziva, Tari, dan Hani tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu. Nasya tewas bersama Burhan, hingga semuanya ikut berakhir. Ilmu hitam yang Burhan miliki telah musnah dan ritual teluh banyu benar-benar telah dipatahkan.

* * *

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang