14 | Niat Memata-Matai

708 71 86
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Burhan menjambak rambutnya sendiri, saat usahanya untuk menyiksa Mahesa mengalami kegagalan. Keris emas yang tadi ia celupkan ke dalam gumbang mendadak patah dan terpental keluar. Bahkan, gumbang yang biasa tidak pernah bergeser dari posisinya kini menjadi sedikit bergeser akibat adanya perlawanan kuat di sekitar Mahesa. Nasya ikut merasa geram akibat tahu mengenai hal itu. Ia kemudian memeriksa gumbang yang tadi bergeser, untuk memastikan bahwa keadaan gumbang itu baik-baik saja meskipun bergeser.

Sayangnya, Nasya justru menemukan bahwa ada keretakan pada bagian samping gumbang. Hal itu jelas bukan berita baik untuk disampaikan kepada Burhan. Burhan sudah merasa marah sekali malam itu, karena terus saja mengalami kegagalan ketika mengurusi teluh banyu yang dikirim pada Mahesa. Ia merasa penasaran dan ingin tahu, soal siapa orang yang sedang membantu Mahesa saat itu.

"Bapak tidak mengerti," Burhan buka suara. "Kenapa bisa saat ini di sisi Mahesa ada orang yang begitu kuat, yang bisa melawan serangan dan upaya Bapak untuk menyakiti Mahesa. Orang itu pasti bukan asli pribumi daerah sini. Tidak ada pribumi daerah sini yang bisa melawan ilmu hitam milik Bapak. Ilmu hitam milik Bapak sidah sangat tinggi, jadi mustahil jika ada pribumi daerah sini yang bisa memberi perlawanan sampai mematahkan keris emas."

"Kalau aku mencari tahu, apakah Bapak akan keberatan? Aku bisa pergi ke sekitaran rumah Mahesa dan memata-matai siapa saja orang-orang yang kini ada di rumahnya," tawar Nasya.

Burhan tampak memikirkan tawaran itu. Apa yang Nasya katakan jelas ada benarnya. Kalau Nasya pergi ke sekitaran rumah Mahesa malam itu juga, maka dirinya akan terbantu dengan hasil pengamatannya. Kalau dirinya tidak mengizinkan, justru kemungkinan dirinya akan terus mengalami kekalahan dan Mahesa bisa saja akan terbebas dari teluh banyu yang ia kirimkan.

"Baiklah kalau begitu. Bapak akan mengizinkan kamu pergi malam ini juga. Ingat, jangan lupa hubungi Bapak kalau kamu sudah dapat hasil memata-matai rumah Mahesa," ujar Burhan.

"Baik, Pak. Aku akan segera mengabari Bapak setelah mendapatkan hasil. Aku pergi dulu," pamitnya.

Ziva, Raja, Alwan, dan Rasyid akhirnya selesai berganti baju, setelah tadi pakaian Mahesa digantikan lebih dulu oleh Raja dan Rasyid. Kasur yang ada pada dipan pun ikut diganti, akibat adanya ruqyah dadakan tadi. Kini Mahesa sudah berbaring kembali dengan nyaman, sementara yang tadi ikut kebasahan akibat siraman satu ember air sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil.

"Baru aku tinggal sebentar, kalian sudah berani main-main air sampai basah-basahan. Jangan merasa masa kecil kalian kurang bahagia, deh, sampai berbasah-basahan ria seperti itu," omel Tari.

Ziva hanya bisa menahan tawa, sambil duduk di samping Karin. Tatapan Alwan, Raja, dan Rasyid kini terarah sempurna kepada Tari tanpa ada satu penghalang pun yang bisa menghalangi.

"Tar, jangan coba-coba menggantikan Mika selama Mika enggak ada, ya! Mulutku yang manis ini bisa juga, loh, mengeluarkan kalimat-kalimat penuh lecutan," ancam Raja.

"Kalau aku memang niat mau main air, ngapain kuajak Suamimu dan Raja? Kurang kerjaan sekali aku dimatamu, Tar. Betul kata Raja, janganlah menggantikan Mika disaat Mika sedang tidak ada," tambah Alwan.

"Aku sama sekali enggak berusaha menggantikan Mika, kok," sanggah Tari.

"Terus, barusan kamu berusaha menggantikan siapa kalau bukan Mika, Sayangku?" tanya Rasyid, secara baik-baik.

"Hani," jawab Tari singkat, padat, dan amat sangat jelas memancing emosi orang-orang di sekitarnya.

Mendengar jawaban itu, Rasyid pun menjadi sasaran empuk bagi Raja dan Alwan. Mereka menggebuk pria itu menggunakan handuk berulang-ulang kali--sebagai perwakilan atas diri Tari--sampai Rasyid meminta-minta ampun. Tari jelas tidak menolong Rasyid, karena ia sadar bahwa dirinya tidak pernah memiliki bakat menjadi wasit. Tari lebih memilih mendekat pada Ziva dan Karin, karena ingin mendengar pendapat Ziva soal Samsul.

Di rumah sakit, Hani merasa kaget karena Rian datang bersama Olivia untuk menemaninya. Mika masih diperiksa keadaannya oleh Dokter dan Santi sedang mendampinginya sambil menggendong Samsul. Rian sudah mendengar cerita dari Hani, soal bagaimana caranya Mika terbangun setelah kedua tangan Samsul menyentuh dadanya. Rian jelas langsung teringat dengan kata-kata Ziva saat kedua Kakak Samsul--Sammy dan Sandy--mulai bisa melihat hal-hal tak kasat mata seperti Santi.

"Memangnya Ziva pernah bilang apa soal itu, Mas? Kok aku enggak ingat, ya?" tanya Hani, sambil terus berusaha keras mengingat.

"Ziva bilang, Samsul jelas berbeda dengan kedua Kakaknya. Perbedaannya itu akan muncul jauh lebih lama, setelah Kakak-kakaknya mendapatkan kelebihan. Intinya, Ziva sudah tahu kalau Samsul adalah anak yang istimewa," jawab Rian.

Dokter keluar dari ruang perawatan, disusul oleh langkah Santi tak lama kemudian. Santi tampak kaget saat melihat Rian dan Olivia, sementara Rian langsung tersenyum dan menyapa.

"Assalamu'alaikum, Santi. Bagaimana keadaan Mika? Apakah sudah boleh aku jenguk? Kebetulan aku dan Olivia bawa oleh-oleh."

"Wa'alaikumsalam, Mas Rian. Silakan masuk, Mas. Mika sudah boleh dijenguk. Kata Dokter, keadaannya sudah mulai membaik setelah tadi berhasil melewati masa kritis," jawab Santi.

Rian pun masuk bersama Hani. Samsul sudah kembali berada di pelukan Mika, setelah Dokter pergi dari ruangan tersebut. Mika terlihat kembali bersemangat, saat tahu bahwa Rian dan Olivia datang untuk menjenguknya.

"Samsul! Calon jodohmu datang, Nak!" seru Mika, sekonyol biasanya.

Rian hanya terkekeh pelan saat mendengar hal itu, sementara Hani langsung ternganga di tempatnya. Santi pun segera meyabarkan Hani, agar tidak perlu melakukan atraksi pencak silat akibat kesal pada celotehan Mika. Rian pun menyerahkan oleh-oleh yang sempat dibelinya saat tiba di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II ke tangan Mika.

"Apa ini, Mas? Oleh-oleh buat aku?" tanya Mika, dengan kedua mata berbinar bahagia.

"Iya. Itu oleh-oleh yang aku beli khusus buat kamu. Empek-empek khas Palembang," jawab Rian, dengan wajah penuh senyuman.

Wajah Mika yang tadinya berbinar bahagia, mendadak redup dan penuh kerutan akibat cemberut.

"Aku ini orang sakit, loh, Mas Rian. Masa orang sakit dibawain Empek-empek, sih?" protes Mika.

"Yang sakit 'kan bagian dadamu, bukan mulut ataupun lambung. Masa, iya, makan empek-empek tiga porsi enggak sanggup," sahut Rian.

"Udah, enggak usah protes! Kamu pun dulu waktu aku babak belur setelah mengalami penyekapan, bawa oleh-olehnya Nanas Thailand. Jadi sebaiknya kamu makan saja empek-empek itu. Tapi kalau merasa enggak sanggup, berikan saja pada Santi. Santi pasti akan memakan semua empek-empek itu sampai tidak ada sisanya, demi mewakili kamu yang sedang tidak bisa makan empek-empek," saran Hani.

Kedua mata Mika langsung menyipit, tampak siap akan kembali beradu mulut dengan Hani.

"Eh, sudah ... sudah ...! Jangan bertengkar di rumah sakit. Al, Raja dan Ras sedang tidak ada di sini untuk menjadi wasit kalian berdua," lerai Rian.

Hani pun terkikik geli, karena tahu bahwa suaminya tidak pernah bisa melerai siapa pun yang bertengkar.

"Ya, sudah. Kalau begitu aku sebaiknya kembali lagi ke rumah korban. Yang lainnya di sana pasti butuh bantuan. Karena yang kami hadapi kali ini benar-benar gila daripada yang sudah pernah kami lalui," ujar Hani, mengutarakan keinginannya.

* * *

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang