16 | Menangkap Calon Umpan

724 78 52
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Mahesa kembali diberi minum oleh Raja. Kejang yang tadi terjadi jelas membuatnya kembali merasa lemas. Pria muda itu terus dituntun untuk berdzikir, selama Ziva dan Rasyid sedang menyiapkan semua hal untuk menjalani upaya ruqyah kedua.

"Ruqyah yang kedua akan dilakukan kapan?" tanya Karin.

"Sebentar lagi, Rin. Kita harus membuat Mahesa tenang dulu, setelah tadi kami mendadak meruqyahnya saat sedang mengalami kejang," jawab Ziva.

"Kalau dilakukan sekarang juga, takutnya Mahesa tidak akan kuat. Energinya harus kembali lebih dulu, agar dia bisa menahan rasa sakitnya. Sama seperti saat kamu diruqyah dua hari yang lalu," tambah Rasyid.

"Uhm ... apakah akan ada serangan makhluk halus lagi seperti tadi?" Karin ingin memastikan. "Saat ini sedang tenang sekali keadaannya. Jadi aku merasa was-was, takutnya mendadak akan ada serangan lagi. Kalau memang akan ada serangan lagi, sebaiknya apa yang aku lakukan? Saat ini tidak ada Hani dan Mika yang bisa bantu kalian, jadi sebisa mungkin aku akan coba bantu meski belum paham soal pekerjaan yang kalian jalani."

Rasyid dan Ziva kini saling menatap satu sama lain, setelah mendengar pertanyaan dan juga penjelasan soal kekhawatiran Karin. Mereka memahami kekhawatiran itu, karena rasa khawatir yang Karin rasakan adalah hal yang wajar. Berdasarkan kekhawatiran tersebut jugalah yang membuat Ziva dan Rasyid kompak menatap kembali ke arah Karin, sambil menunjuk ke arah kumpulan botol berisi air yang sudah didoakan.

"Kamu bersiap saja dengan semua air itu. Kalau ada serangan yang datang ke arahmu, maka gunakanlah air itu untuk menangkis, karena kamu tidak punya senjata seperti kami," ujar Ziva.

"Ingat, ya, hanya untuk menangkis serangan. Jangan bikin kami basah kuyup lagi seperti tadi. Kami tidak mau kena omel untuk yang kedua kalinya. Istriku itu selalu mengomel, meski tidak sesering yang Hani lakukan," pesan Rasyid.

"Tapi kalau yang kamu siram seperti tadi adalah Alwan, kami jelas ikhlas lahir dan batin, kok, Rin," tambah Ziva.

"Ziv ... aku bisa dengar ucapanmu dari sini," tegur Alwan. "Jangan sampai Raja yang aku bikin basah kuyup, ya," ancamnya.

Karin pun langsung berusaha keras menahan tawanya. Ia benar-benar tidak menyangka akan berada di tengah orang-orang yang hobi sekali cari perkara untuk bahan adu mulut. Bahkan, ia tidak pernah menyangka kalau pria yang menikahinya juga adalah bagian dari orang-orang itu. Hidupnya yang selama ini sangat suram telah berubah menjadi berwarna, tanpa perlu ia minta.

Nasya meminta sopir taksi online untuk berhenti pada tempat yang cukup strategis. Ia sengaja memberi bayaran lebih pada sopir taksi tersebut, agar mau menunggu lebih lama karena dirinya akan memata-matai rumah orangtua Mahesa. Dari tempatnya memata-matai saat itu, ia bisa melihat ada banyak sekali sepatu di bagian luar pintu rumah. Hal itu membuatnya yakin, kalau saat ini Mahesa memang sedang diberi bantuan oleh seseorang yang bisa melawan ilmu hitam milik Bapaknya. Hal itu jelas membuatnya merasa geram dan ingin membunuh Mahesa secepat mungkin.

"Mahesa tidak boleh diselamatkan oleh siapa pun! Dia hanya boleh mati, jika memang tidak akan menjadi milikku!" tegas Nasya, membatin.

Hani membuka ponselnya ketika ada pesan yang masuk dari Tari. Ia membuka sebuah foto yang Tari kirimkan, lalu membaca keterangan yang ada di bawahnya.

"Nasya Ahzarina. Fakultas ekonomi, jurusan akuntansi. Hah! Lumayan cantik dan pintar ... tapi hobi pakai jasa dukun!" sebalnya, lirih.

Kedua mata Hani membola, saat membaca pesan selanjutnya dari Tari.

TARI
Dia adalah anak dari Dukun yang mengirim teluh pada Mahesa. Lebih tepatnya, Bapaknya perempuan itu yang berprofesi sebagai Dukun.

"Wah, psycho!" geram Hani. "Astaghfirullah hal 'adzim."

Taksi online yang Hani tumpangi saat itu baru saja berbelok dan memasuki gerbang perumahan. Rumah orangtua Mahesa tak lama lagi akan terlihat olehnya. Ia bersiap akan turun dan menyiapkan uang tunai untuk membayar biaya perjalanan. Namun sekitar sepuluh meter sebelum ia tiba pada titik yang telah tertera di GPS, ia segera meminta sopir taksi untuk menghentikan mobilnya.

"Stop, Pak! Stop ... stop ... stop ...!" mohon Hani, tetap sopan.

"Ada apa, Mbak? Apakah jalannya salah?" tanya si sopir.

"Tidak, Pak. Jalannya benar dan rumah yang saya tuju sudah ada di depan mata. Tapi, itu ... saya sedang memperhatikan mobil yang parkir di depan sana," tunjuk Hani, ke arah sebuah mobil yang memiliki logo seperti mobil yang ia tumpangi.

"Itu mobil taksi online juga, Mbak."

"Iya, Pak. Saya tahu. Hanya saja, saya mau tahu siapa penumpang yang ada di dalamnya, makanya saya sedang berusaha melihat ke dalam jendelanya lebih jeli," jelas Hani.

"Sopir taksi itu teman saya, Mbak. Mau saya minta untuk fotokan siapa yang menumpang di taksinya?"

Hani menatap ke arah sopir taksi tersebut, lalu segera menganggukkan kepalanya seraya tersenyum lebar.

"Boleh, Pak! Tapi kasih tahu teman Bapak, jangan sampai ketahuan," pinta Hani.

Tak sampai lima menit, sopir taksi yang Hani tumpangi memperlihatkan pesan balasan berserta foto penumpang di dalamnya saat itu. Perasaan tidak enak yang Hani rasakan terjawab sudah, saat ia melihat wajah Nasya yang begitu jelas di dalam foto tersebut.

"Pak, kalau misalnya Bapak menabrak mobil teman Bapak itu dari belakang, Kira-kira berapa biaya perbaikan yang harus saya keluarkan untuk dua buah mobil sebagai kompensasi?" tanya Hani.

"Eh? Mau sengaja nabrak, Mbak?"

"Iya, Pak. Soalnya penumpang di dalam taksinya teman Bapak itu adalah anak Dukun santet yang sedang mengawasi rumah korbannya. Rumah korban itu adalah rumah yang saya tuju saat ini, Pak. Jadi untuk menghentikan dia dan memancing Bapaknya biar datang ke sini, maka saya butuh menangkap dia dalam keadaan tidak berdaya. Kalau dia baik-baik saja saat saya akan menangkapnya, maka dia bisa saja akan melarikan diri, Pak."

"Kalau bertanya dulu pada teman saya, boleh Mbak? Sekalian meminta persetujuan."

"Boleh, Pak. Tapi cepat, ya."

Tak lama berselang, sopir taksi tersebut memperlihatkan balasan pesan dari temannya. Hani pun setuju untuk membayar uang kompensasi senilai yang diinginkan kedua sopir tersebut. Hal itu membuat Hani segera bersiap, karena sopir taksi yang ia tumpangi akan langsung menabrak mobil temannya dari arah belakang.

CIIIITTTT!!!

BRAAAKKKK!!!

Sopir taksi di depan jelas sudah mengantisipasi diri agar tidak mengalami cedera saat tabrakan terjadi. Beda halnya dengan Nasya, yang kakinya kini terjepit kursi serta kepalanya mengalami benturan cukup keras. Hal itu jelas menguntungkan bagi Hani, sehingga bisa menyeretnya keluar dari taksi sambil menjambak rambut perempuan itu dengan kuat.

"Arrggghhh!!! Sakit!!! Lepaskan!!!" teriak Nasya.

Hani menarik tubuh Nasya, sehingga membuat netra mereka saling menatap dari jarak dekat.

"Sakit, hah??? Ini belum seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang kami rasakan, saat Bapakmu menyuruh makhluk suruhannya menyerang salah satu sahabat kami!!!" balas Hani, dengan teriakan yang tak kalah keras.

* * *

TELUH BANYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang