04

25 3 0
                                    

Selama di perjalanan Jia diam dan menikmati angin pagi, sedangkan Johan dia bersenandung kecil dengan kedua tangannya dilipat didepan dada, ia merasa sangat dingin udara pagi ini.

Sambil berjalan masuk ke ruangan kelas, Johan selalu bertanya hal-hal yang tidak masuk akal kepada Jia. Seperti "Jia, jika awan berbentuk naga apakah dia akan mengeluarkan api dari mulut nya?" Atau "Jia, pelangi itu ada emas, kapan kita akan berburu emas disana?".

Masih banyak lagi pertanyaan Johan, apa saja akan dia tanyakan. Beruntung Jia anak yang sabar dan selalu menanggapi celotehan Johan, Jia selalu menjawab apapun yang Johan tanyakan. Walaupun dia tidak begitu yakin.

Bel telah berbunyi, tepat pukul 8 pagi mereka akan memulai pelajaran. Semua murid duduk di bangku masing-masing, memulai dengan membaca doa bersama. Kemudian, guru memasuki kelas dan para murid fokus untuk memerhatikan pelajaran.

Johan tidak satu bangku dengan Jia, dia ada di sudut paling ujung dan paling belakang. Sedangkan Jia berada di depan sedikit dekat dengan papan tulis. Begitu terlihat jelas sikap keduanya berbeda, atau memang mungkin ini sifat bawaan rata-rata anak laki-laki.

Johan terus memandangi Jia, tangan kirinya menopang wajahnya yang manis. Bibirnya sedikit terangkat ke atas, sesekali ia melihat ke papan tulis.

Bel istirahat telah berbunyi, saatnya untuk makan siang di kantin. Johan perlahan mendekati Jia yang masih membereskan buku, "Jia, ayo makan siang,"

"Ayo cepat, nanti antriannya panjang" ajak Johan sambil menarik Jia, Jia terombang-ambing karena Johan begitu cepat jalannya.

"Johan, pelan-pelan saja. Aku sedikit kesusahan kalau begini" terang Jia dengan nafas yang sedikit terengah-engah. Johan menoleh kebelakang dan sedikit terkejut melihat Jia yang meringis kesakitan.

Johan berpikir bahwa dia tidak terlalu kencang memegang pergelangan tangan Jia dan juga tidak terlalu cepat menarik Jia.

"Jia? Maafkan aku, apa kau terluka?, apa kau sedang sakit?" Tanya Johan cemas, Jia hanya menggelengkan kepalanya. Jia tersenyum kikuk melihat Johan yang kini seperti terlalu khawatir kepadanya.

"A-aku, aku tidak apa-apa Johan,"

"Kenapa kau begitu khawatir" Jia bertanya balik kepada Johan.

"Tadi kau meringis kesakitan ,Jia" tukas Johan, ia terus saja bertanya tentang keadaan Jia. Mendengar Jia yang selalu melontarkan kata kalau ia baik-baik saja membuat Johan merasa sedikit tidak tenang dengan keadaan Jia.

Telah sampai di kantin, keduanya sedikit terlambat karena antrian mulai panjang. Mereka mengambil nampan untuk mengisi makan siang, mata Johan selalu saja melirik ke arah Jia.

"Oh ya, Jia" merasa namanya di panggil, Jia menoleh ke arah Johan sambil berjalan mencari tempat duduk. Setelah mendapatkan tempat, Jia kembali menatap Johan agar segera bertanya kepadanya.

"Jia, kenapa kau selalu saja mengenakan celana olahraga? Tidak ada pelajaran jasmani sekarang" Johan bertanya sambil menyuapkan makanannya ke dalam mulut.

Jia adalah wanita yang susah untuk berbohong, jadi sangat sulit ia menjawab pertanyaan kecil Johan kepadanya. Wajahnya cemas, entah darimana datangnya keringat dingin ini membasahi tubuhnya.

Matanya melirik kesana-kemari, bibirnya juga kelu untuk menjawab. Perlahan pandangan nya menunduk "i-itu..., anu..." Ia mulai memainkan jemari tangannya.

Johan begitu santai melahap makanannya, ia hanya terfokus dengan nampan miliknya. Saat ingin minum, matanya tak sengaja melihat raut wajah Jia yang pucat.

"Jia, kau sakit?" sontak mata Jia melebar, telapak tangan Johan bersentuhan dengan kening Jia. Jia langsung membuang muka kearah kiri.

"Tidak-tidak, aku baik-baik saja Johan" cetus Jia dengan wajah yang ketakutan. Alis Johan bertautan, ia merasa heran dengan Jia.

Pertanyaan ngawur Johan di anggap serius oleh Jia, itu yang membuat Johan kebingungan. Kemudian, Johan menarik tangannya lagi dan kembali makan. Suasana menjadi tegang dan hening sejenak.

Namun, Johan adalah pria dengan keusilan tidak akan pernah membuat suasana menjadi tegang. Mungkin hanya Jia yang merasa suasana menjadi tegang.

"Hei Jia," ia mendongak menatap Johan dengan wajah yang masih kikuk.

"Sebentar lagi ujian Nasional, apa kau sudah menentukan sekolah menengah pertama mu?" Seakan pertanyaan yang serius, Johan menautkan kedua jemarinya dengan sama rata kearah depan.

Jia berpikir sebentar lalu menjawab bahwa ia sebenarnya tidak tahu akan di tempatkan oleh ayahnya kemana. Johan menghela nafas panjang dan berdiri dari duduknya.

Bel masuk berbunyi, semua murid membubarkan diri untuk segera masuk ke dalam kelas. Begitu juga dengan Johan dan Jia, mata Jia tak sengaja melihat anak lelaki yang ia lihat di taman bermain kala itu.

ANINTYA  (2007) [ON GOING!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang