24

11 0 0
                                    

"Jia!" Pria yang baru saja meneriaki gadis berambut panjang sedikit bergelombang itu mendekati dirinya dengan sumringah diwajahnya.

"A-ada a-apa, ya?" Tanya balik sang gadis itu. Pria itu berdiri di depan Jia dengan senyuman yang masih mengembang.

Jovian terkekeh sebentar, "aku mau tanya sesuatu" ucapnya.

"Apa kau tahu jessa ruangan berapa? masalahnya dia tidak mau memberitahukan aku, kau tahu sendiri kan kalau jessa itu sedikit gengsi kepada ku" Jia memang tahu jika jovian menyukai jessa sejak kecil.

Namun, kali ini berbeda. Pria yang dia sukai menanyakan wanita lain, langsung kepada dirinya. Jia perlahan menundukkan pandangannya, menggigit bibir bawahnya. Lalu, ia mendongak dan tersenyum lembut kepada jovian.

"Jessa ada di ruangan satu, kalau tidak salah dia satu ruangan dengan Surya" mendengar nama Surya raut wajah jovian berubah, kemudian ia berterimakasih dan pergi meninggalkan Jia sendiri di lorong kelas.

Jia hanya dapat memandang punggung pria itu saat meninggalkan dirinya.

"Kau sedang apa?" Jia terkejut karena tiba-tiba saja Johan mengagetkan Jia dengan suaranya tepat di samping telinganya.

"Kau mengagetkanku, Johan" gerutunya.

Johan tersenyum, "kau terlalu fokus, bukan aku yang mengagetkan mu" ledeknya.

"Ngomong-ngomong, soal ujian tadi kau merasa sulit?".

"Tidak, hanya saja aku merasa bahwa aku akan salah beberapa soal" jelas Jia, mereka berdua berjalan-jalan di lorong kelas. Hanya memutari lorong kelas sambil bercerita ringan.

"Kau masih saja memakai celana olahraga, aku penasaran. Kau selalu saja menolak untuk memberitahu, ada apa memangnya dengan kaki mu?" Sudah sejak lama Johan tidak membahas tentang celana olahraga Jia.

Jia hanya tersenyum menanggapi semua celotehan Johan, "aku hanya ingin tertutup, apa tidak boleh? Aku takut, banyak perempuan yang di lecehkan di luaran sana. Walaupun pakaian tertutup tidak menjamin tidak akan terjadi seperti itu. Tapi aku yakin, selagi ada kau, aku akan baik-baik saja" perkataan Jia sungguh menyentuh hati Johan.

Johan terdiam dan mengulum senyumnya, "oh, itu benar. Selama ada aku kau akan baik-baik saja, aku tidak ingin kau terluka walaupun sedikit. Aku janji, nona Jia" Johan membelakangi kedua tangannya dan memajukan wajahnya kepada Jia, sehingga senyum tulusnya terukir begitu saja.

Keduanya tertawa dengan manis, "Jia" panggilnya.

Jia hanya berdeham, "kau sungguh menyukai jovian?" Selalu, Johan selalu saja menanyakan hal yang tiba-tiba.

"Ka-kau, kau kan sudah tahu. Kenapa harus di katakan berulang kali? aku malu" cicit Jia yang hanya ditertawakan oleh Johan.

"Jika kau menyukai jovian, seharusnya kau dekati dia dengan sungguh-sungguh." Jia berhenti berjalan dan berbalik menghadap Johan dengan wajah yang penuh pertanyaan.

"Begini maksudku, ayo duduk di sini dulu" Johan mengajak Jia untuk duduk di dinding setengah seperti bangku.

"Kau hanya memberikan bekal rahasia kepadanya, namun tidak kau tulis siapa yang mengantarkan. Walaupun jovian sudah paham dengan bekal yang kau berikan setiap saat itu, dia juga penasaran siapa orangnya".

"Tapi, kalau aku beritahu jika akulah yang memberikan dia bekal dari kelas 6 SD, itu memalukan".

"Bukan itu maksudku, kau lebih terang-terangan saja. Tapi kalau kau malu, kau bisa memulai dari hal kecil. Kau selalu saja menghindar saat ada jovian,"

"Jadi, kau tidak boleh menghindar darinya lagi. Lakukan itu saja untuk sementara, untuk tahap selanjutnya akan ku beritahu" johan terus saja menjelaskan agar Jia bisa berhubungan dengan jovian, tanpa Jia menghindar.

"Tapi...."

"Tapi, aku malu. Aku gugup saat ada dia, aku juga tidak tahu kenapa. Aku sungguh seperti orang kehilangan nyawa saat bertatapan mata dengannya" kini Jia mengeluh karena dirinya tidak bisa seperti wanita lainnya yang secara terang-terangan untuk menyatakan cinta nya.

"Kau hanya perlu menyapanya, tidak perlu menatap matanya jika tidak tahan. Kau tatap saja yang lain seperti, hidung, mulut, pipi, Hindari saja kontak mata. Lalu, kau tahan rasa berdebar di hatimu. Tarik nafas dan buang perlahan, kau anggap saja seperti teman biasa, itu akan mudah Jia" tidak mengeluh untuk melakukan apapun agar Jia bisa menahan rasa gugupnya, Johan terus saja memberikan semangat dan solusi kepadanya.

"Baiklah aku akan melakukannya, terimakasih Johan"  sungguh senyuman Jia sangat manis hingga jantung Johan berdebar kencang.

"Untuk ujian, kami diliburkan sementara. Kau bisa memberikan bekal saat kami bermain dilapangan biasanya".

"Aku akan ke rumah mu, aku les seperti biasanya" Johan mengangguk paham perkataan Jia, keduanya berpisah saat bell ujian berbunyi.

ANINTYA  (2007) [ON GOING!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang