13

11 1 0
                                    

Keringat yang bercucuran karena panasnya terik matahari masih terasa walau sudah jam empat sore. Segerombolan anak kecil laki-laki sedang semangat bermain bola di lapangan.

"Hei, jovian!" Panggil mereka.

Jovian menoleh, pipinya mengembung karena air minum.
Ia mengangkat sebelah alisnya, di tutupnya botol itu. Tangannya bergantian mengelap keningnya yang berkeringat.

"Kau masih saja menerima pemberian dari sosok yang tidak kau ketahui?" Tanya satu anak bergigi jarang itu.

Jovian memajukan bibir bawahnya dan mengangguk cepat, "iya, aku masih menerimanya" jawab jovian.

"Apa kau tidak takut kalau kau akan terkena racun?" Jovian mendekati anak itu dan mengerutkan dahinya.

"Jika itu ada racunnya, kenapa aku masih hidup sampai pembagian raport?" Suara jovian sedikit tinggi seperti menentang pernyataan temannya itu.

"Yaa..., aku hanya bertanya saja, kenapa kau malah meninggikan suaramu?!" Tidak mau kalah, anak itu juga meninggikan suaranya. Ia mengangkat dagunya dengan tatapan tidak suka.

"Aku tidak meninggikan suaraku, pendengaran mu itu yang rusak!".

"Kau ini!" Anak bergigi jarang itu menarik kerah baju jovian, begitu pula dengan jovian. Tatapan mata keduanya memanas karena tersulut emosi perkara hal kecil.

Anak-anak di sana hanya diam melihat kegaduhan yang terjadi, sebagian mereka mendukung sang anak bergigi jarang itu. Sebagian lagi menyulut api agar keduanya melakukan hal yang lebih dari sekedar menarik kerah baju satu sama lain.

Surya yang baru saja kembali ke lapangan, setelah membeli air minum di warung terdekat. Dia memisahkan mereka sebelum melanjut ke hal-hal yang lebih parah dari ini.

Surya menarik jovian kebelakang punggungnya dan meminta maaf kepada anak bergigi jarang itu. Surya menarik jovian untuk pulang dan tidak melanjutkan bermain bola seperti hari biasa.

Sebelum pulang jovian sempat memungut roti lapis yang belum ia makan tadi. Di jalan pulang Surya tidak berbicara, ini sudah biasa bagi jovian.

Namun, langkah kaki Surya tidak seperti biasa. Ia berjalan dengan cepat dengan suara nafas yang memburu terdengar jelas di telinga jovian.

Saat pulang, ketiga saudaranya menatap aneh kepada Mereka berdua.

Hakim langsung mendekati jovian, "ada apa dengan kak Surya, kak?" Tanyanya dengan berbisik.

Setyo juga penasaran, ia menatap jovian menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Dimana ibu?" Bukannya menjawab pertanyaan hakim, jovian memilih untuk bertanya dimana sang ibu berada.
Hakim dan juga Setyo merengek untuk mengetahui jawaban sang kakak.

Mereka tidak berani bertanya kepada kakak tertuanya, bukan hanya hakim dan Setyo. Tetapi William juga seperti itu, lain halnya dengan jovian. Jovian tidak takut untuk melawan Surya, dia diam karena menghormati Surya sebagai kakak tertua.

Surya mendekati jovian dan menyuruhnya untuk berdiri menghadap dinding sampai matahari terbenam. Kemudian, Surya pergi ke kamar.

Melihat kepergian Surya, hakim dan Setyo berencana untuk bertanya dengan jovian lagi. Wiliam hanya diam melihat kelakuan mereka berdua, ia tidak peduli dan hanya fokus untuk membaca buku.

"Sebaiknya kalian berhenti bertanya kepada orang yang sedang dihukum oleh kak Surya" tutur Wiliam yang berbicara tanpa menatap mereka bertiga.

Sontak keduanya terdiam, keduanya saling menatap sebelum membubarkan diri untuk mandi. William melirik sebentar jovian, lalu ia menatap kembali ke bukunya.

ANINTYA  (2007) [ON GOING!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang