33. Penderitaan Yang Di Pendam

122 8 0
                                    

Vote dulu sebelum baca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote dulu sebelum baca.
Jangan skip narasi!

Happy Reading❤️

🥀☕️

Setelah kehadiran Bu Uta tadi malam, Nala dan Hali sama-sama kekurangan tidur. Mereka tidak saling berkomunikasi atau membahas topik tentang tadi malam. Selama bersiap-siap akan kesekolah pun mereka tidak mengobrol sama sekali.

"Kita bakal pindah lagi, Bang?" Nala akhirnya bersuara. Ia duduk di kursi kayu teras rumahnya. Menunggu Hali bersiap untuk berangkat sekolah bersama.

Hali mengunci pintu rumahnya. Lelaki itu sudah rapi dengan seragam sekolah, dan tas ransel hitam kebanggaannya. Dia menjatuhkan bokongnya di lantai teras rumah, meraih sepasang sepatu yang tadi sudah di letakan di sana.

"Bang," panggil Nala sekali lagi takut jika Abangnya itu tidak mendengar.

Helahan nafas panjang yang berat meluncur dari bibir Hali. "Berkali-kali Abang bilang, kamu nggak perlu mikirin itu. Itu tugas Abang."

"Gimana caranya aku nggak kepikiran? Abang sering nggak makan. Bahkan pernah seharian nggak makan sama sekali demi bisa menghemat," suara Nala bergetar. Terlihat jelas ia hampir menangis. "Abang makin kurus."

Hali tidak merespon. Tangannya fokus mengikat tali sepatu. Lelaki itu bangkit dan melangkah naik ke atas motornya. Nala sudah tidak berbicara lagi. Daripada menimbulkan keributan di pagi buta, lebih baik ia diam saja sembari naik ke atas motor Abangnya.

°~°~°~°~°

"Fiona dateng nggak, ya, besok?" Martin duduk di kursi besi pinggir lapangan. Sembari menunggu pak Julpan dan teman satu timnya berkumpul. Hari ini adalah latihan terakhir mereka.

"Kayaknya sih nggak, ya," saut Farel yang sudah duduk persis di samping.

Martin menoleh cepat. "Kok lo gitu doanya, Rel?"

"Lo kan nanyak. Ya gue jawab."

Martin menatap tajam ke arahnya. Seakan siap menerkam Farel kapan saja. Meskipun begitu, lelaki keturunan tionghoa  itu masih berharap jika perempuan yang di sukainya hadir di turnamen futsalnya besok.

Pertemuan mereka terakhir di stadion kenaikan sabuk Rhea. Martin mengantar Fiona pulang menggunakan mobilnya. Tapi tetap saja, gadis itu sangat cuek dan dingin. Bahkan Martin hampir berpikir untuk menyerah.

Merayu Fiona untuk pulang dengannya butuh usaha yang besar. Rhea sudah pulang duluan dengan Hali waktu itu. Dan untungnya saja Poppy mau membantu membujuknya. Jika tidak ada Poppy mungkin Martin tidak akan pernah merasakan duduk bersebelahan dengan Fiona.

"Datang kok. Pasti datang." Farel yang tadinya iseng sekarang merangkul Martin agar tidak terlalu memikirkan Fiona akan datang atau tidak. Melihat wajah lelaki putih itu yang murung membuat Farel merasa kasihan juga.

DUNIA KITA BERBEDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang