44. Khawatir

130 10 1
                                    

🥀☕️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥀☕️

Sebaik-baiknya manusia, hanya Tuhan yang mampu membolak-balikan hati hambanya.

Kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di telinga Hali. Setelah bell pulang sekolah berbunyi. Lelaki itu tak beranjak dari kursinya. Karena ada yang lebih penting selain pulang. Yaitu, menemui teman, sahabat yang sudah dia anggap sebagai keluarga di lapangan futsal. Hali tahu jika hari ini mereka sedang berada di sana.

Lelaki itu masih tak beranjak dari duduknya. Menghela nafas bekali-kali. Mencoba menenangkan diri. Hingga di rasa mantap, barulah ia menyandang tasnya kemudian melangkah keluar dari kelas.

Dengan perasaan campur aduk. Antara takut dan cemas semuanya menjadi satu. Pelan-pelan ia masuk ke dalam lapangan. Satu di antara mereka menyadari kehadiran Hali. Menegur lelaki itu dan mengajaknya main. Sementara Hali menolak sopan.

Menyadari tatapan Farel dan Martin tak suka melihat kehadirannya di sana. Anggota lainpun menyadari hawa tak enak di antara ketiganya.

"Kalian bertiga lagi ada masalah, ya?" tanya salah satu di antara mereka. Ketiga sahabat itu tak ada yang berniat untuk mengkonfirmasi. "Yaudah, kalo gitu. Kita semua tunggu di luar. Kalian selesain tuh masalahnya."

Para anggota futsal keluar. Memberikan ruang untuk ketiga sahabat itu.

"Ngapain lo?" tanya Farel langsung ke intinya. Dia tak ingin lama-lama berada di situasi ini.

Hali melangkah melewati pagar jaring masuk ke dalam lapangan. Lelaki itu membasahi bibirnya juga menelan salivanya susah payah. Martin yang berdiri di samping Farel sudah bersadakap tak suka melihat kehadirannya.

"Gue minta maaf." Hali menunduk tak berani memandangi kedua wajah menyeramkan di hadapannya. "Gue tau gue salah."

"Tuh tau." Martin bersuara.

"Iya, makanya itu gue minta maaf."

"Belum raya." Martin menekan pipi dalamnya menggunakan lidah. Menyindir Hali secara terang-terangan.

Lelaki berkulit gelap itu menunduk. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain maaf. Hali sungguh menyesal. Tak ada yang menanggapi hingga hening beberapa saat.

"Lo seharusnya minta maaf ke Rhea, bukan ke kita." Farel akhirnya bersuara.

Hali sudah memikirkan itu sejak kemarin. Ia akan minta maaf pada gadis itu. Ia telah membentak, dan menyebutnya haus validasi. Padahal gadis itu memiliki hati yang baik dan hanya ingin membantunya.

"Gue benar-benar menyesal. Maaf, karena udah bikin kalian kecewa. Seharusnya gue mikir dua kali sebelum ngelakuin itu. Benar apa yang lo bilang, Rel. Gue mudah terpesona dengan uang. Bahkan gue sendiri aja nggak pernah mikir gimana, ya, jika informasi Nala yang di jual orang. Gue nggak mikir sampe sana. Gue nggak mikir tabur-tuai. Yang ada di kepala gue waktu itu cuma uang, uang, dan uang." Hali menjelaskan. Nada suaranya bergetar. Lelaki itu sungguh menyesali berbuatannya.

DUNIA KITA BERBEDA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang