konflik bermula

1.9K 91 15
                                    

Asal istri dan keluargaku tidak boleh tahu.

“Pi, jangan lupa beliin popok buat Duo manik,” Tutur Dita padaku sesaat sebelum aku keluar dari rumah. Kembali kupandangi wajahnya selama beberapa detik yang tidak lagi seperti dulu. Badannya yang entah bertambah beberapa kilogram membuatku tak lagi minat menatapnya lama.

“Iya, pulang kantor aku singgah,” kataku tak mau pusing. Lagian apa susahnya dia singgah di warung dan membelinya?

“Pulang jam berapa hari ini, Pi?,”katanya dengan suaranya yang terkadang membuatku muak, apalagi jika dia terus merengek padaku. Kembali kutarik napas perlahan. Berusaha menahan diriku.

“Agak malam, makanya kubilang Dit, kamu beli aja di depan, pakai jasa apa gitu, aku maunya kalau pulang di rumah, mau istirahat,” sahutku berusaha bersabar. Ini masih pagi, dan aku tidak ingin memulai pertengkaran lagi, lagi, dan lagi.

“Aku gak minta cepat, asal pulang rumah kamu bawa. Udah itu aja. Gak sulit kalau kamu mau.”

“Iya aku beli,” sahutku sebelum bergegas menaiki mobil dan meninggalkan rumah yang terasa seperti neraka.

Usia pernikahan kami memasuki usia tujuh tahun. Usia yang belum begitu lama jika dibandingkan usia pernikahan teman sekantor di perusahaan tempatku bekerja. Aku menikahi Dita di tahun kedua perkenalan kami. Ya aku jatuh cinta pada Dita dan langsung mendatangi rumah orangtuanya di Jogja karena aku takut jika ada yang lebih dahulu melamarnya. Aku melamarnya tanpa menyadari akan banyak ketidakcocokan diantara kami karena perbedaan usia kami yang terpaut jauh. Aku berusia tiga puluh dua saat itu, dan Dita dua puluh satu tahun. Perbedaan usia kami hampir sebelas tahun. Iya, sebelas tahun. Aku menikahi Dita tepat sebulan setelah ia diwisuda.

Tahun pertama adalah fase bulan madu kami. Aku bahkan tak bisa meninggalkan Dita sedetikpun. Aku dengan sabar menunggunya menyelesaikan pendidikan dengan rajin mengantar jemput. Wajahnya, rambutnya yang panjang, bentuk tubuhnya yang sempurna, Dita yang pintar dan tahu kemauanku, semuanya membuatku mabuk kepayang. Aku tak peduli jika masakan Dita keasinan, atau rumah berantakan saat aku pulang lembur dari kantor. Hingga masuk tahun ketiga dan Dita mulai melahirkan anak kembar kami.

Sejujurnya aku bahagia, sangat bahagia, kelahiran anak kembar menambah warna baru dalam keluargaku. Terutama ibu serta keluarga besarku. Ya kami sempurna. Hingga pada saat si kembar memasuki usia dua tahun perubahan pada DIta membuatku hilang kesabaran, ketidakpengertiannya, membuat kami lebih banyak bertengkar. Padahal ada penjaga dan asisten di rumah yang kupekerjakan, dia masih sering ke salon, tapi kenapa Dita yang dulu masih tidak kembali seperti sedia kala?

Undangan makan malam perusahaan seringkali membuatku tidak tega membawa DIta. Tetapi jika ingin ditelisik lagi bukan tidak tega, aku yang terlalu gengsi jika dijadikan bahan olok-olokan. Asal kalian tahu, posisiku adalah posisi strategis di perusahaan tambang yang berkantor di Jakarta. Kolega kami terdiri dari beberapa kalangan. Dan citra adalah salah satu hal yang wajib bagi perusahaan, karena keberadaanku cukup mewakili wajah perusahaan. Sehingga dita kuanggap akan menghambatku.

Apakah aku tidak pernah memberitahu Dita? Sering.

Apakah aku tidak pernah dengan jujur memintanya agar berubah? Tak terhitung. Yang ada jawabannya adalah sabar, sabar, dan meminta waktu. Sampai kapan? Akhirnya kami hanya akan bertengkar dan aku kembali stress pulang ke rumah.

Aku membutuhkan Dita yang dulu. Dita yang yang cantik, sempurna, dan selalu menjadi kebanggaanku. Apa kurangnya aku? Lalu saat perasaan jenuh, frustrasi melandaku, kedatangan seorang manajer cabang dari Kalimantan ke kantor pusat di bawah komandoku, membuyarkan konsentrasiku. Bahkan seisi kantor takjub dengan kecantikannya.

Aku sering menahan diri agar tidak memandangnya dalam waktu lama. Aroma parfumnya yang membius. Cara bicaranya yang terlatih, wajahnya yang enak dipandang, Kesopanannya padaku, sungguh membuatku kadang menyesali diri kenapa tidak sedari awal bertemu Mentari. Namanya Mentari dan sinarnya telah merasuki dan mempengaruhi dada-dada pria seantero gedung lantai sebelas kantor kami.

“Pak, malam nanti ada meeting, berhubung saya baru di kantor ini, apa saya boleh minta ditemani sama rekan yang lain?,” katanya padaku suatu sore.

Mentari punya wajah blesteran : Kalimantan Pakistan. Ayahnya adalah seorang seorang keturunan Pakistan yang sekarang bermukim di tanah borneo kurang lebih tiga puluh lima tahun lamanya. Jadi, bisa kalian bayangkan bagaimana gelisahnya aku dibawah tatapan Mentari?

“Jangan kuatir, aku ikut juga Kok. Nanti kita bareng aja,” sahutku cuek namun dalam hati sudah berteriak setengah mati.

Pertemuan pertama yang diikuti Mentari, dan sudah kuduga banyak mata yang menatapnya memuja. Dan entah kenapa itu membuat sesuatu di dalam diriku bergejolak. Sebuah energi baru seakan menyelubungiku, apalagi saat Mentari dengan tegas menolak diajak siapapun dan memilih tetap di sampingku seolah meminta perlindunganku. Ah..Mentari. kamu sengaja menciptakan api?

“Apartemenku dekat kantor kok, Pak. Kalau boleh saya minta tebengan sampai ke kantor, malam begini saya belum terbiasa dengan suasananya.”

Aku memilih mengiyakan, padahal jika tidak dikatakan sebagai atasan yang baik aku pasti mengantarkannya dengan selamat sampai tujuan.

“Apa bapak tidak ingin mampir? Minum kopi mungkin?” tawarnya saat kali kedua aku mengantarnya pulang. Namun aku masih berhasil sok jual mahal. Dan tidak menunjukkan ketertarikan sedikitpun. Namun pertahanan diriku buyar manakala ajakan kelima datang.

Jam tujuh malam saat itu. Aku ikut masuk dalam apartemen Mentari. Tidak begitu mewah namun nyaman. Aku bisa melihat pemandangan ibukota dari jendela kamarnya. Aku dan Mentari bukan anak kecil. Usia mentari hanya lima tahun di bawahku. Usianya tiga puluh tiga tahun meski secara tampilan tak ada bedanya dengan karyawan magang usia awal dua puluhan. Posisi Mentari yang bonafit bukan tanpa sebab, dia salah satu lulusan magister terbaik di kampus sehingga tidak sulit baginya mendapatkan pekerjaan. Ah..seharusnya wanita seperti Mentarilah yang ku peristri, bukan wanita seperti Dita.

Handponeku berbunyi. Dari Dita. Apalagi kalau bukan soal remeh? Soal popok? Soal lemari? Soal keran? Atau soal gatal pada anak kami yang seharusnya bisa dia selesaikan? Memang seberapa sibuk dan melelahkannya urusan rumah tangga? Apa tidak cukup penjaga dan asisten rumah tangga yang kupekerjakan? Aku memilih mengabaikan ponselku dan fokus pada sosok Mentari yang kini aku tahu sudah mandi dan duduk di sebelahku. Aromanya memikat.

Ck! Anak SMA pun tahu aliran listrik diantara kami begitu jelas. Hanya kami memilih mempertahankan gengsi.

“Aku tahu Bapak sudah menikah.”

Semua orang dikantor tahu. Apalagi dia yang bekerja hampir beberapa bulan di kantor.

“Lalu?” kataku berusaha tidak terpengaruh dan masih berusaha fokus pada cangkir kopi yang kupegang.

“Aku tahu Bapak tertarik padaku.”

Great Mentari. Great.

“Lalu?” aku menantang matanya. Berusaha membaca pesan tersirat dari sana. Sesuatu mendorongku. Dengan berani kudekatkan diriku agar lebih dekat dengan wajahnya. Hal sudah lama ingin kulakukan karena biasanya kami terlalu berjarak.  Sekarang aku bisa dengan leluasa memandangi binar di wajahnya, dan sisa keterkejutan yang perlahan pergi seiring posisiku yang masih kubiarkan terus memandanginya.

“Aku tidak masalah dengan itu,” ucapnya perlahan dan tenang. Seolah telah mengerti apa yang diinginkannya dan tahu apa yang kuinginkan. Dan sialnya aku seperti terhipnotis. Apalagi saat sebelah tangannya telah bertumpu di pipiku dan berlama di sana. Dan kupikir pertahanan diriku akan segera luntur.

Lalu dering ponselku kembali berbunyi. Sejenak aku ragu. Bagai iblis dan malaikat yang berperang dalam benakku. Sebuah kesimpulan mencuat sekejab.

“Asal istri dan keluargaku tidak tahu, aku tidak masalah dengan hubungan ini,” jawabku lalu mulai mematikan ponselku dan menahan hasratku yang makin menggebu.

“Aku tidak menginginkan apapun, hanya cukup seperti ini. Tidak lebih,” sahut Mentari sebelum akhirnya bibir kami bertemu dan saling bercengkrama.



LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang