bagian 4

515 31 2
                                    

Asal istri dan keluargaku tak boleh tahu 4

=========================

“Eh? Emang benar tadi, papi ke bioskop?”

Jantungku berdetak kencang. Pertanyaan Dita membuatku sontak membalikkan badan. Apa yang dia tahu? Atau bagaimana dia tahu?

“Tadi, Ibu kompleks yang datang belakangan di acara kelurahan ngasih tahu, kalau sewaktu dia jemput anaknya di bioskop, liat kamu, apa itu hanya orang yang mirip kamu, Pi?”

Aku menarik napas lega. Mengambil jeda selama beberapa detik lalu mulai menutup buku yang kupegang. Syukurlah tidak seperti yang aku takutkan. Hampir saja aku membuat diriku gagal dan ketahuan di depan Dita.

“Lain kali sebelum kamu tanya, pastikan dulu kalau yang kamu tanyakan itu berdasar, dit, lagipula mana sempat aku ke bioskop satu harian ini?” elakku lalu memeriksa laci nakas. Sebenarnya aku juga bingung apa yang sedang kucari di sana.

“Makanya aku tanya buat mastiin, apakah itu benar? Lagipula meski kamu nonton di bioskop juga aku gak masalah kok, Pi. Apa yang salah? Eh ini, parfum kamu, ganti ya? Ini agak lebih manis, atau hanya perasaanku aja?”

Lagi aku menarik napas. Sungguh Menyesal aku meminta anakku membangunkan Dita.

“Gak ganti, mungkin penciumanmu aja, aku tadi singgah di kantor, terus di lantai dasar ada acara, naik lift agak berdesak-desakan juga, bisa saja karena bersinggungan lama,” tambahku lagi.

“Aku harap di acara bulan depan, kamu bisa datang Pi. Lagipula apa salahnya bergabung dengan para tetanggam iya kan? Besok-besok kalau kita dibantu, siapa yang tahu?”

“Dit, aku nih capek, kerja seminggu, tadi juga harus ke kantor, kalau urusan kecil begini, juga harus aku tongkrongin gak mungkin, ya kamu aja yang urusin, lagipula itu kan bukan urusan rumit, Dit.”

“Bukan gitu, Pi. Gak enak aku datang sendiri terus, lagian apa salahnya satu jam aja datang, setor wajah biar keluarga kita gak kehilangan wajah, iya kan?”

Kesabaranku mulai menipis. Inilah yang paling membuatku muak dengan Dita.

“Dan aku inginnya kamu lebih sering nemenin aku belanja bulanan, Pi. Sekalian bawa anak-anak main atau makan, udah jarang kita keluar sekeluarga, aku udah gak ingat kapan kali terakhir kita keluar bareng.”

Aku mendengkus mendengar pernyataan Dita. Keluar? Benar, aku tidak lagi ingat kapan kami menghabiskan waktu berempat, meski enam bulan sekali keluarga besarku sering mengadakan acara kumpul keluarga, atau ada jika acara kawinan, ya paling hanya sebatas itu. Aku memang jarang membawa Dita, karena, ya, aku tahu dia pasti sadar aku sangat keberatan dengan kelebihan berat badannya, dan banyak hal lainnya yang membuat aku tidak nyaman bersamanya beberapa tahun belakangan.

Bosan? Entahlah. Yang jelas aku pernah beberapa kali mengatakan padanya tentang ini.

“Jangan sekarang, Dit, nanti, ya. Kalau aku punya waktu luang dan tidak dikejar kerjaan, pasti deh kita keluar, sambil nunggu kamu nurunin berat badanmu juga,” kataku akhirnya. Apa dia akhirnya akan sadar?

“Nunggu badanku langsing mah, masih lama Pi, berat badan gak bisa asal turun, harus fokus aku ngurusnya, ngurus kembar di rumah, bikin waktuku penuh, malam harinya anak-anak tidur aku juga ikut tidur.” Dalihnya.

“Itu alasan kamu aja gak bisa ngatur waktu, bilang aja males, Dit.”

“Pi, aku bukan malas, sehari rasanya gak cukup buatku ngatur semuanya.”

“Dit, dirumah, ada dua asisten, kamu kesulitan apa memangnya? Apa aku gak kasih kamu banyak waktu? Apa aku gak kasih kamu fasilitas? Kenapa kamu bisa memuakkan begini sih jadi istri? Jujur Dit, aku mulai bosan dengar keluhanmu, bosa dengan ocehanmu, bosan dengar alasan kamu yang gak masuk akal, aku juga mulai bosan liat kamu,” semburku akhirnya dengan pandangan menelisik.

“Pi, kerjaan rumah bukan hanya sekedar ngatur dan bersih-bersih, ngasuh anak bukan hanya sekedar jagain dan beresin, mereka kerja aku ngawasin, aku bantuin, anak-anak ada yang jagain, aku tetap yang masak, aku yang rapiin, gak semuanya dikerjain asisten, kamu mau aku gila hadapin pekerjaan rumah ini sendiri?”

“Nah kan? Selalu ada aja alasan kamu, udahlah Dit, terserah kamu mau ngapain, aku capek. “

“Harusnya kamu gak gini, Pi. Harusnya kalau ada masalah ya kita omongin, jangan biarin ngendap, kita selesein baik-baik.”

“Apalagi Dit? Sejak awal kan aku yang ngeluh soal kelakuan kamu yang marah gak jelas, semuanya kemauan kamu yang harus kuikuti, aku bener-bener capek Dit, capek.” Tutupku, lalu masuk kamar mandi.

Niatku sebenarnya malam ini hanya ingin di rumah, tapi, keinginan untuk tinggal di rumah sungguh benar tidak ada. Ada merasa berada di neraka bersama Dita. Oh Tuhan, ada apa denganku? Sapaan kedua anakku akhirnya kuabaikan saat keluar dari rumah.

Dan satu jam setelah mutar-mutar, akhirnya aku telah berada di apartemen Mentari. Kalian tahu apa yang menyambutku saat pintunya terbuka? Senyum yang hangat, aroma yang wangi, dan tentu saja tubuhnya yang enak di pandang. Aku jadi bertanya-tanya apa resep Mentari hingga bisa tetap secantik ini, padahal Dita jauh lebih muda ketimbang Mentari.

“Kupikir, Bapak tidak akan datang malam ini, ada sesuatu?,” sambutnya, saat aku masuk dan memilih duduk di sofa yang sering kududuki akhir-akhir ini.

“Ya, ada sesuatu, dan aku masih belum tahu jawabannya,” jawabku sambil menenangkan debar di dadaku.

Oh Tuhan kenapa godaan ini begitu menyiksa? Sampai kapan aku bisa tahan tidak menyentuh Mentari? Apalagi kali ini ia makin merapatkan tubuhnya padaku. Aromanya mulai akrab di indera penciumanku.

“Bapak bebas bisa datang kapan saja, pintu apartemenku terbuka lebar,” tuturnya, dan kali ini wajahnya menyeruak antara bahu dan daguku. Bahkan aku bisa merasakan bibirnya menyentuh leherku.

“Aku lapar, ka…kamu..masak apa?” putusku akhirnya.

“Kebetulan aku baru saja manasin rendang, ada tumis bunga pepaya, suka?”

Aku tersenyum dan menganguk sebagai jawaban. Kuikuti langkahnya menuju pantry dan menunggu hidangan makanan dengan rasa bahagia. Ah..aku suka ketenangan ini.

“Masakanmu enak banget,Tar,” pujiku setelah menghabiskan dua piring nasi beserta lauknya.

“Sebenarnya itu rendang pesanan sih, Pak, buatan temenku, aku mana sempat masak kalau pulang kantor? Paling hanya sempat mandi aja,” jawabnya dan melihatnya berpindah duduk yang tadinya di hadapanku, berpindah di sampingku.

“Jadi, gimana nurut kamu kelanjutan hubungan ini? Aku… aku butuh setidaknya alasan yang pasti kenapa aku harus bertahan dalam hubungan ini,” tuturnya setenang mungkin.

Aku menghela napas. Tak bisakah kami seperti ini saja?

“Tar, aku…aku jujur sering memikirkan lebih, tapi, asal kamu tahu, aku punya keluarga Tar, dan aku tidak ingin meninggalkan mereka karena hubungan kita,” jelasku berusaha mengimbanginya.

“Aku tidak minta dipilih, aku hanya minta kejelasan status, aku ingin punya alasan menunggu, aku tidak ingin membuat bapak memilih, aku cukup dengan menerima perlakuan sayang, bagiku itu sudah cukup.”

“Lalu apa maksud kamu?” tuturku hati-hati. Aku tahu Mentari bukan wanita bodoh, dan aku juga bukan pria bodoh. Masalahnya aku belum bisa memberinya apapun.

“Kita gak mungkin begini terus, kan? Aku...aku ingin punya status meski tersembunyi, gak masalah, aku ingin bisa tenang berhubungan, lagipula, aku yakin dengan kita menikah, bapak tidak akan sungkan buat tinggal menghabiskan malam denganku, iya kan? Aku janji tidak akan meminta banyak, aku janji,” pintanya.

Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

==========

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang