Bagian 19

503 41 1
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 19

Membereskan Chaca dan juga Chica lebih sulit dari yang aku duga. Gen pemberontak anakku menular dari kedua adikku. Saat berusaha mengacuhkan komentar sarkas Chica aku kembali teringat ingin motret Gunda, lalu mengirimkannya pada Dita. Jujur saja, tidak mendengar kabarnya selama dua bulan lebih mulai membuatku menantikan pesan darinya. Aku bahkan berharap dia beralasan salah mengirim pesan, karena aku tidak masalah mengenai itu. Sangat menanti-nantikan bahkan.

“Abang, hati-hati, Ya. Abang tahu benar gimana bencinya Ibu sama tukang selingkuh, jadi, jangan sampai Abang kebablasan. Ini tuh, kalau ketahuan Ibu, bisa brabe, tamat riwayatmu, Bang,”ungkap Chaca kalem tapi menusuk.

“Itu belum seberapa, Abang tahu sendiri gimana Ibu, Ibu bukan orang yang doyan mementingkan tata karma, Bang, motto Ibu hajar dulu, minta maaf kemudian, dari pada Abang malu luar dalam, depan belakang, mending apapun modelnya aktifitas abang sama si jadi-jadian itu, akhirnya sekarang juga Bang,” seloroh Chica tanpa ampun.

“kalian, ya, udah berapa kali aku bilang, hanya staf biasa, sekarang juga kalian abang pesanin taksi, mau bareng atau sendiri-sendiri nih?” tawarku cepat.

“Sendiri-sendiri dong, Bang, rumah kita kan masing-masing, gimana sih.”

Akhirnya setelah melewati debat Panjang, dua racun itu akhirnya meninggalkan rumah. Na’asnya aku lupa meminta mereka membantuku membersihkan rumah terlebih dahulu. Walhasil malam itu aku tidur dalam keadaan lelah luar biasa. Aku memijit kepalaku yang pening. Oh Dit, pulanglah.

Keesokan paginya Alarm telah kustel lebih dini, jadi, setelah memasak sarapan dan membuat susu bagi kedua anak-anakku, pagi itu, aku meminta kerjasama mereka agar membantuku memungut semua mainan milik mereka sebelum mandi. Setelah insiden bujuk membujuk, dan sogokan es krim, mereka akhirnya mau membantu memasukkan mainan dalam kamar mereka yang tidak sempat kubereskan semalam.

Selepas sarapan, aku mengantar mereka ke sekolah dan mengatakan bahwa tantenya akan datang menjemput saat pulang sekolah. Dan karena mereka sudah dewasa jasa baby sitter kurasa tidak terlalu diperlukan lagi. Herannya kenapa jasa baby sitter justru mengganggu stabilitas keuangan padahal sudah hampir tiga  bulan aku tidak lagi mengirimi DIta uang bulanan. Ada apa ini? Setelah mengantar si kembar, aku mengintip Gedung apartemen milik Dita yang hanya berjarak serratus meter dari sekolah anak-anakku. Dalam hati aku berpikir keras, darimana DIta memperolah uang menyewa apartemen, apa selama ini dia memiliki simpanan yang disembunyikan dariku? Tapi bagaimana bisa?

Tiba di rumah aku sadar akan terlambat sampai ke kantor, mungkin akan menjadi sejarah, karena biasanya sebelum jam delapan aku selalu bisa tiba tepat waktu di kantor. Ya..ya… aku akui kesalahanku tidak termaafkan karena selama ini menganggap Dita tidak melakukan pekerjaan apapun di rumah. Aku….aku bahkan, kurasa aku menyakiti hatinya. Sangat menyakiti hatinya, hingga beberapa pesanku selama dua bulan terakhir dan bahkan foto anaknya yang sedang terluka tidak di bukanya. Kembali kukirim pesan padanya, berharap bisa meredakan sedikit emosinya.

{Dit, kamu gak kangen rumah?}

Ah…kenapa kami bisa seperti ini?

Ada apa denganmu Dita? Andita Parjanu Sajena. Pulanglah. Rumah membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu.

********

Semenjak kejadian tempo hari aku melihat Mas Dygta bersama seorang wanita, kurasa, aku merasa langkahku seringan kapas. Aku merasa punya tenaga extra untuk melakukan semua kegiatan tanpa rasa lelah. Secara rutin aku menggunakan waktu yang kupunya mengolah pernapasan dan latihan angkat beban. Tak ketinggalan lari pagi dan sore hari juga kulakukan tanpa lelah. Salah satu alasan kenapa apartemen ini menjadi pilihan ialah karena selain fasilitas yang lengkap, aku tidak perlu lagi mengeluarkan uang buat transportasi anak-anak ke sekolah. Aku menghemat sebisa mungkin agar dapat mencukupi kebutuhan bulanan.

Terakhir kali aku menangis adalah hari di mana aku melihat senyum dan tawa mas dygta yang bergitu lepas. Hari yang kulalui kugunakan untuk memutar rekaman ingatan kenangan awal kami bersama dulu. Dan selalu berakhir tawa miris mengingat apa yang kusaksikan. Aku jadi sadar perubahan mas Dygta padaku, dua tahun terakhir. Jadi, benarkah pria yang kukenali tanpa cela selama tujuh tahun ini berselingkuh selama itu di belakangku?

Sebenarnya, harusnya aku menggunakan asas praduga tak bersalah saat melihat Mas Dygta. Menelepon atau bisa saja menyelidikinya, tapi, sebagian besar hatiku telah sampai pada tahap tak perlu lagi mencari kebenaran karena hasilnya akan menyakitiku. Jika diingat lagi bagaimana perlakuan Mas Dygta beberapa tahun terakhir aku jadi enggan mencari tahu lebih jauh. Akan lebih mencederai harga diriku jika mendengar jawaban menyakitkan disaat tidak ada sesuatu yang bisa kujadikan pegangan atau kuandalkan dari diriku.

“Kamu beruntung, Dita, suami kamu memanjakan kamu, ada asisten, ada baby sitter, uang bulanan dua digit lancar ngalir, mertua dan iparmu pada perhatian sama kamu, kurang apa coba hidupmu?,”cetus salah satu sepupu Mas Dygta setahun setelah kami menikah. Begitu banyak orang yang memuji Mas Dygta sebagai patokan pria mapan dan penyayang keluarga, tak pelit dan ditambah memiliki keluarga yang bahagia. Nyatanya tidak selamanya hidup diukur dari banyaknya harta yang diperoleh. Karena banyak elemen lain yang turut mempengaruhi ukuran bahagia tidaknya sebuah keluarga, dan yang utama menurutku penghargaan dan komitmen, tanpa itu maka akan rapuh.

Tujuh tahun terakhir aku memang selalu mengandalkan dia dalam segala hal, hingga tidak pernah berpikir akan terjadi sesuatu seperti ini dikemudian hari. Apa jadinya jika sebelumnya tidak ada uang dari ayah? Mungkin saja tidak menunggu hitungan minggu aku sanggup bertahan. Aku pasti kewalahan karena meski uang dari Mas Dygta lebih dari cukup, ayahku salalu mengajarkan jika sebagai seorang istri kita wajib mengelola uang suami dengan sebaik-baiknya. Dan itu yang kupegang hingga kemarin, sebelum memutuskan keluar dari rumah.

Aku menatap bayanganku di cermin Gym selepas melakukan beberapa kali repetisi menggunakan beban. Ucapan beberapa kawanku bergulir bagai rekaman video.

“Dit, mau satu dong pria kayak suamimu.”

“Ditaaa, suami kamu cakep banget, rekeningnya juga pasti bengkak nih.’

“Dit, jaga bae-bae suamimu say, banyak wanita di luar sana incerannya tuh gaya-gaya mirip suamimu itu, makanya aku ogah cari suami cakep gitu.”

Aku kembali termenung meresapi komentar teman-temanku tiga tahun yang lalu saat si kembar ulang tahun yang pertama. Kembali ku tatap timbangan di hadapanku, sebelu akhirnya aku memberanikan diri naik di atasnya.

Mataku memejam selama beberapa saat setelah menatap angka yang muncul pada timbang elektrik. Yah, setidaknya usahaku tidak sia-sia. Semoga dua atau tiga bulan lagi bisa mencapai target. Saat aku mengambil tas dan memeriksa ponsel, nama Mas Dygta dengan serentetan pesan masuk bertubi tubi.

Aku berjanji hingga masa satu tahun selesai, baru akan memperjelas apa yang sudah kulihat di depan mataku beberapa bulan yang lalu. Aku harus fokus pada pelatihan yang akan kuiikuti lusa.

Welcome to the new world Dita.

Welcome..

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang