Bagian 22

567 39 0
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 22

Aku lalu mengambil ponsel dan berusaha menghubungi Dita. Amarahku memuncak saat menyaksikan kedatangan si asisten. Luar biasa tingkat kesabaranku akhir-akhir ini. Seolah saat melihat bukan Dita yang datang lahar panas mengerogoti hatiku. Aku marah. Sangat sangat marah.

Tiga bulan dan Dita sama sekali tidak memikirkan situasi rumah dan kondisiku? Apa maunya? Sampai kapan dia bertingkah seperti anak kecil? Cara orang dewasa menyelesaikan masalah adalah dengan menghadapinya. Bukan dengan cara pergi dari rumah menghindari masalah.

Entah berapa panggilan yang telah kulakukan tapi hasilnya nihil karena ponselnya sama sekali tidak diangkat. Aku berpikir selama beberapa menit sebelum memutuskan jika Kali ini tak ada pilihan lain. Aku yang akan mengantar anak-anak langsung ke apartemen agar dapat bertemu langsung dengan DIta menyelesaikan permasalahan kami

“Bik, aku antar anak-anak ke apartemen dulu ya,”kataku pada Bik Sati yang saat itu mulai mengatur barang anak-anakku. Hatiku makin perih saat melihat Bik Sati memindahkan barang-barang anak-anakku ke depan. Ya, aku harus bicara empat mata dengan Dita. Harus.

Satu jam kemudian aku tiba di apartemen Dita. Setelah memarkir kendaraan dengan aman, aku segera membantu asisten Dita mengangkat barang. Kubiarkan dia memegang kedua putra dan putriku lalu mengikutinya dari belakang. Semakin jauh darinya aku bisa mempersiapkan diriku menghadapi Dita, kerena, entah mengapa nyaliku ciut saat  semakin dengan dengannya.

Tiba di depan pintu apartemen, aku memandang sekeliling dan menaksir jika Unit yang di ambil Ditha adalah unit yang terbaik. Pertanyaan terbesar yang muncul dalam pikiranku ialah bagaimana cara Dita bisa membayarnya, sedangkan aku tahu uang yang kuberikan tidak pernah berkurang sedikitpun. Aku tahu pasti karena semua pengeluaran dari rekening bersama kami masuk dalam emailku meski Dita yang memegang ATM dan bangkingnya. Kecuali ia memang menabung selama tujuh tahun kami bersama. Itu baru masuk akal.

Asisten rumah tangga Dita membuka pintu tanpa canggung, ia menghapal dengan baik nomor kode pintu digital Dita. Aku ikut masuk tanpa permisi. Sebuah aroma yang sangat familiar memenuhi indera penciumanku saat memasuki apartemen. Kedua anakku terlihat antusias saat memasuki apartemen yang telah mereka tempati selama tiga bulan. Dita berhasil meyakinkan kembar jika kepindahan mereka adalah semata untuk liburan. Beberapa kali aku iseng bertanya pada Gunda dan juga Manik tentang itu.

Tunggu, mana Dita? Mengakhiri pertanyaan dalam kepalaku, segera kudatangi asisten rumah tangga Dita dan menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.

“Dia dimana?”

“Dita gak ada?”

“Dia Kemana?”

“Oh anu Tuan, Ibu datang sore katanya, masih ada rapat dengan teman-teman dokternya, makanya saya yang diminta jemput anak-anak.”

Kembali kupijit kepalaku yang mendadak pening. Oh jangan lagi.

Aku meminta tumbelina, asisten rumah tanggaku yang menjemput anak-anak. Aku percaya padanya atas rekomendasi Bik Sati karena mereka merupakan tetangga di kampung.

“Jadi gimana Dit? Ikut Tim ku ya? Gajinya lumayan, kontrak di perbaharui tiap lima tahun, perusahaan ini juga sangat open jika karyawannya ingin mengajukan sekolah spesialis dengan beasiswa penuh,” jelas dokter fadli padaku. Dokter Fadli adalah dokter senior saat aku kuliah dulu. Beliau kakak tingkat lima tahun diatasku. Setahuku dulu dia merupakan dokter residen saat aku sedang co-ass di Rumah Sakit. Kata Deni, ada masalah personal sehingga dokter fadli tidak menyelesaikan residennya. Dia termasuk pria yang hemat kata, hemat bicara. Ya, itu dulu, aku tidak tahu bagaimana sekarang

“Tapi, dok, aku belum punya pengalaman sama sekali menjadi dokter perusahaan yang sedang membentuk tim dalam persiapan pembuatan klinik. Aku takut tidak memenuhi kriteria,”jelasku.

“Menjadi dokter perusahaan tidak semenakutkan yang kamu pikirkan. Dalam klinik yang kita bentuk nanti, kita akan bekerja sama dengan beberapa tenaga kesehatan termasuk sanitariant, perawat, ahli gizi, dan juga ahli kesehatan dan keselamatan kerja. Secara global kamu udah bisa liat apa saja cakupan wilayah kerja kita nantinya. Komando tetap ada padaku, karena penanggung jawab langsung pembuatan klinik perusahaan ada padaku,”jelasnya lagi.

“Kalau boleh tahu, apa saja bagian-bagian kerjaku nanti?”

“Hmm standar, kita bakalan bikin aturan baku, kalau formatnya bisa minta contoh aturan yang ada di perusahaan rekanan, kemudian tinggal ditambahin hal-hal urgent menyesuaikan kondisi perusahaan, kemudian presentase ke pimpnan, penyuluhan, monitoring, laporan dan yang utama kita bakalan ke cabang juga, sementara klinik utama hanya akan ada di perusahaan inti, tahun depan baru akan bukan klinik permanen juga di beberapa cabang, dan kita sama satu dokter yang bakalan gabung lagi adalah tim inti, sama dua sanitarian dan enam tenaga lapangan kesehatan dan keselamatan kerja.”

Aku spchless mendengarkan penjelasan dokter Fadli. Debar jantungku tidak terkendali mendengar penuturannya.

“Oh iya, ada apartemen dekat perusahaan juga yang diperuntukkan bagi tenaga kesehatan, karena aku udah lebih dulu punya unit di sana, mending kamu aja yang nempatin, kata Deni, kamu lagi butuh tempat bernaung.”

Sialan si Deni. Bikin malu.

“Terima kasih Dok, kalau boleh tahu kapan bisa mulai kerja?”

“Resminya tiga bulan lagi, hanya khsus tim inti, mulai awal bulan depan kita udah masuk berkantor mempersiapkan segala sarana dan prasarana, termasuk bakalan sering kontak juga sama dokter perusahaan yang udah di tempatin di cabang, nanti semuanya akan melalui klinik di kantor perusahaan inti.”

“Kamu gak masalah kan dengan ini?”

“Sama sekali tidak dok. Kalau boleh tahu, sejak tadi aku belum diberitahu nama perusahaannya, dan bergerak di bidang apa.”

“PT GAW. Perusahaan tambang emas, lagi happening, dulu mereka make tenaga kontrak dari institusi kesehatan di kampus-kampus buat nanganin masalah kesehatan dan keselamatan kerjanya. Baru sekarang ini niat membuat klinik mandiri.”

Aku sulit  berpikir jernih. Karena aku tahu benar perusahaan itu selama tujuh tahun terakhir meski jarang  ikut dalam kegiatan perusahaan mas Dygta kecuali  hingga tahun kedua pernikahan kami. Meski aku masuk dalam Grup WA persatuan para ibu-ibu GAWENGERS, tidak sekalipun aku pernah menjadi anggota aktif. Selamanya aku selalu pasif. Hingga saat ponselku hilang, dan selama itu pula aku tidak pernah berniat aktif lagi.

“Dok, apakah bisa aku masuk dan bergabung dalam tim inti, jika suamiku juga merupakan Manager di dalamnya? Ehmm maksudku, apa perusahaan tidak masalah dengan itu?”

“Jangan kuatir, itu bisa dibicarakan, salah satu pimpinan GAW, Sabda Pria Pamungkas  adalah sepupuku.”

Aku menarik napas frustrasi, semoga saja sesuai dengan yang direncanakan. Jujur aku gelisah.

“Yuk, aku antar balik, dimana alamatmu?”

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang