Bagian 8

192 28 1
                                    

Asal istri dan keluargaku tidak boleh tahu 8

Pagi kembali datang. Kali ini aku bangun dengan perasaan yang lebih tenang disbanding semalam aku tidur dengan perasaan was-was. Sebenarnya semalam aku bergulat dalam pikiranku, bahwa waktu yang diminta Dita sebenarnya terlalu lama. Karena ada banyak hal yang bisa terjadi dalam satu tahun. Ada banyak perkembangan pada anak-anakku yang bisa terjadi dalam waktu satu tahun, tapi aku tiba-tiba tersadarkan jika waktu satu tahun cukup bagiku mengenali Mentari lebih jauh. Waktu satu tahun akan aku pergunakan dengan sebaik-baiknya agar tidak menyesali keputusanku di kemudian hari.

Mentari wanita dengan rasa ambisius yang tinggi. Aku tidak ragu dengan penampilan serta caranya melayaniku. Tapi, aku tidak yakin bagaimana dia kepada anak-anakku atau apakah bisa dia menerima keluargaku seperti Dita menerimanya.

Dita sejak awal wanita yang cukup cerdas, berpendidikan, sehat, cantik, dia punya potensi yang sangat baik jika di poles dengan apik. Aku memang melarangnya bekerja hingga kedua anakku bisa ditinggal. Tapi, siapa yang sanggup tinggl  lebih lama dengan rumah yang selalu berantakan, istri yang tidak bisa merawat diri? Entah ingin menggunakan Bahasa apa lagi aku sampaikan padanya, jika dalam pekerjaanku, penampilan adalah nomor satu. Mencitrakan diri lewat penampilan yang baik adalah langkah awal dalam memperoleh kredit poin dari kolega. Dua tahun. Ya, dua tahun yang lalu Aku mulai komplain dengan Dita

Hubungan intim kami sudah terhenti sejak lama. Tak perlu kujelaskan bagaimana caraku menyalurkannnya. Intinya aku masih paham Batasan, aku pantang melakukan hubungan intim jika itu bukan pasanganku. Ya…semoga imanku masih kuat. Semoga Tuhan masih bersamaku.

Saat memilih kemeja dan celana yang akan kugunakan. Kulihat tas dan koper Dita telah dipersiapkan di depan lemari. Ya, aku harus  menjelaskan padanya jika kepergiannya bukan selamanya, ini semata-mata karena aku mengikuti permintannya. Entah apa yang ada dalam kepalanya.

“Gimana sekolah anak-anak? Aku gak mau anak-anak pindah dari sekolah lamanya, susah cari sekolah yang sesuai, Dit,”cetusku saat mulai duduk di meja makan dan melihatnya membenahi perkakas dapur. Hah, untuk kesekian Kali aku kembali tidak sempat bertemu anak-anakku.

“Gak usah kawatir, anak-anak tetap di sekolahnya, nanti aku terusin nomor rekening sekolah, biar kamu yang bayar langsung, dan beberapa tagihan,” jawab Dita. Untuk sepersekian detik aku menyadari, ini kali pertama Dita tidak memanggilku dengan sebutan Papi. Oke. Aku ikuti mau kamu, Dit.

“Oke. Gimana kalau aku transfer gaji setengah?  itung-itung nafkah anak-anak, dan keperluan kamu.” Tawarku mencoba membuatnya berpikir. Aku gak mungkin tega. Lagipula tawaranku flexible.

“Gak usah kasih setengah, pokoknya, masalah kebutuhan anak-anak selama aku keluar dari rumah jadi tanggung jawabku, kamu cukup bayar sekolah mereka. Belanja bulanan Bi Sati juga akan berkurang karena aku sama anak-anak gak ada, mending kamu simpan duitnya di tabungan anak-anak.”

“Baby sisternya gimana?”tanyaku. Juju raku merasa ada yang beda mendengar cara Dita memanggilku

“Gak perlu, aku bisa kok kalau Cuma ngurus dua anak.” Jawab Dita lagi. Aku tertawa dalam hati. Cih. Kayak aku gak kenal kamu aja DIt. Ada Bik Sati sama baby sister aja tampangmu urak-urakan rumah berantakan.

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang