Bagian 18

483 37 2
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 18

Tapi apa yang harus kulakukan jika suamiku, Mas Dygta tidak menyetujuinya? Aku menatap Deni selama beberapa detik. Tawarannya memang sangat kubutuhkan. Sangat menggiurkan bagiku, selain bisa menambah rasa percaya diriku, aku perlu suntikan semangat dan yang utama dana. Aku tidak ingin Mas Dygta tahu jika aku memakai uang simpananku. Hasil sewa rumah yang selalu rajin dikirimi bapak padaku dan juga adikku. Kata beliau, meski tidak banyak suatu saat uang itu pasti aku butuhkan. Siapa sangka seletelah tujuh tahun berlalu isinya sudah lebih dari yang aku bayangkan.

“Gimana Dit? Kamu gak usah kelamaan mikir, yang utama jangan lupa pelatihan yang kubilang, gak lama kok, seminggu juga selesai,”paparnya

“Iya deh, kamu bantu aku kirimin nomor kak Fadly, biar aku yang ngomong, kalau lewat kamu disangkanya aku krisis percaya diri lagi.”

“Ya udah, sekarang aku balik dulu ya, jadi dokter residen sepertiku gak mudah,”katanya setengah mengeluh. Matanya berubah sayu seakan ingin menekankan padaku betapa berat bebannya.

“Yah selamat buatmu Den, seharusnya kamu bersyukur bisa lanjut sampai spesialis setelah semua peristiwa gak enak yang kamu alami semasa hidup, gak semua orang bisa survive dan mendapatkan apa yang dia inginkan, kamu beruntung,”ucapku tulus.

“Duh Dit, gak usah nyinggung hal yang gak enak gini deh, aku udah mulai move on kok, udah ya, aku masuk dulu, kamu kutingal. sendiri ya di kantin,”jelasnya lalu memelukku dan berlari menuju Gedung D.

Saat aku dalam perjalnan pulang aku melihat waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Saat-saat seperti ini biasanya aku bermain bersama anak-anak di rumah, merapikan pakaian milik papinya, lalu menyempatkan diri melakukan olahraga ringan sebelum malam tiba. Aku masih membiarkan rumah berantakan hingga anak-anak tidur agar bisa membereskannya satu kali, sayang bagi Mas Dygta yang kukerjakan sungguh tidak memiliki arti sama sekali. Hal yang rutin kami berdua lakukan tiap hari adalah perang mulut, dan itu masih terjadi bahkan sebelum aku meninggalkan rumah.

Jalanan macet, dan hujan sedang turun membasahi langit. Aku rindu rumah, rindu Mas Dygta. Apakah dia sama sekali tidak merindukan keberadaanku di rumah? Aku kembali melihat kolom obrolan kami. Miris karena kebanyakan adalah aku yang selalu antusias mengiriminya pesan. Aku yang selalu menjelaskan apapun, aku yang selalu aktif, aku yang selalu…. Tunggu, mataku memaku dan menandai mobil di sebelahku sebagai mobil Pajero milik mas Dygta, dari mode transportasi online yang kukendarai aku bisa melihatnya dari balik kaca. Ah…ini salah satu peluangku agar bisa melihatnya dan menuntaskan rinduku. Lalu saat mobil kami bersisian, badanku kaku. Aku seolah kehilangan kata. Aku….

Dia tertawa.

Tawa yang sangat bahagia.

Tawa yang tak pernah bisa kuberikan padanya.

Tawa yang entah kapan pernah hadir saat kami bersama. Aku bahkan tidak mengingatnya.

Ada yang bergelombang dalam hatiku. Sebuah aliran yang tak kasat mata membuat sekujur tubuhku tegang. Dadaku bergemuruh. Aliran tak kasat mata itu membuat hatiku sakit bukan main. Di sebelahku, dengan mata kepalaku, aku melihat Mas Dygta sedang bersama seorang wanita dan tersenyum bahagia. Tersenyum? Bahagia? Mas Dgyta sedang bersama seorang wanita?

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang