Asal keluarga dan istriku tidak boleh tahu 6.
Jantungku berdetak kencang. Aku kesal bukan main karena telah melakukan kesalahan fatal yang seharusnya bisa kucegah. Kubalikkan badan saat merasakan derap langkah Dita mendekatiku. Kiamat. Kiamat. Dita tidak boleh curiga. Tidak boleh.
“Siapa Mentari?,” selidiknya seolah aku telah melakukan sesuatu yang salah. Dan weel, DIta tidak boleh tahu sampai kapanpun.
“Bukan siapa-siapa, Dit,” jawabku berusaha cuek.
“SIapa Mentari?,” ulangnya dengan nada lebih tegas.
“Kamu gak perlu tahu,” sahutku buru-buru, lalu berjalan menjauhinya, tapi langkah Dita sangat cepat. Ia seolah sedang meredam sesuatu.
“Siapa?”
“Ok,” jawabku lalu menarik napas,” Dia salah staf baru dari kantor cabang, kami kebetulan ada dateline yang wajib diselesaikan secara bersama-sama, gimana? Puas?,”pungkasku berniat menyudahi interogasinya. Bahaya jika percakapan tentang ini dibiarin lama.
“Ok, Pi. Terserah kamu, tapi pertanyaanku belum kamu jawab, gimana kalau badanku gak juga turun setelah beberapa tahun?”
“Apa mau kamu?”
“Aku tanya, gimana?”
“Iya, mau kamu gimana?”ulangku mulai jengah dengan nada suara tidak kalah tegas.
“Sekali lagi Pi, aku tanya, gimana kalau setelah aku berusaha dengan berbagai cara, badanku yang delapan puluh lima kilogram ini tidak juga turun?”
“Terserah kamu, Dita. Terserah kamu. Aku menyerahkan semuanya sama kamu.”
“Nggak gitu, aku tanya serius, kita gak bisa gini terus!!!”
Kali ini teriakan DIta tak terhindarkan. Aku tidak pernah suka jika wanita mulai berteriak dan bersikap tidak professional. Aku berpaling jengah, sepagi ini dia memancing konfrontasi denganku.
“Ya aku tanya sama kamu,kalau kamu gak bisa gini terus mau kamu apa? Aku udah jelas, aku udah cape, DIt, beneran cape dengan semua ini, kamu mau apa aja terserah.” putusku lalu meninggalkannya di kamar dan bergegas masuk kamar mandi.
Ya kadang-kadang aku menyesali kenapa nasibku terlalu na”as hingga bisa beristirikan wanita seperti Dita. Kupikir punya istri cantik dan pintar kemudian taat saja cukup buat memulai sebuah rumah tangga. Ternyata semua yang kuperkirakan salah. Bahagia itu hanya bertahan dua tahun.
Lima belas menit kemudian aku telah selesai berpakaian. Kulihat ruangan tengah tak ada lagi tanda keberadaan Anak-anak dan DIta. Mereka pasti udah lebih dulu berangkat ke sekolah. Aku masih punya waktu dua puluh menit santai dan sarapan dengan tenang.
Setiap pagi BI Sati pasti akan mencuci di halaman belakang. Dan DIta baru akan di rumah jam sebelas atau jam dua belas siang tiap harinya. Padahal jika dia bisa mengatur waktu, ada banyak waktu kosong yang bisa dia gunakan ketimbang bergosip dengan ibu-ibu di taman kanak-kanak. Sampai hari ini aku tidak mendapatkan satupun faedah dari perkumpulan ibu-ibu yang doyan gossip sambil nunggu anaknya pulang sekolah.
Nah, Dita? Bahkan baby sister yang bertugas menjemput serta mengawasi. Anak-anak dijaga sampai sore olehnya, siang hingga sore aku tidak tahu apa saja kegiatan Dita hingga perkara kecil urusan rumah saja sering terbengkalai.
Jadi, jangan salahkan aku jadi muak seperti ini bila berurusan dengan DIta. Kehabisan kata-kata aku dibuatnya. Aku bahkan sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali kami memadu kasih
Tetapi jujur saja, untuk meninggalkan Dita, itu tidak mungkin, kami punya anak, pantang bagiku memutuskan pernikahan dengan anak di dalamnya. Sejak dulu, saat Ibu ditinggalkan oleh Ayah, aku sudah berjanji tidak akan melakukan hal yang sama pada istriku nanti.
“Pembicaraan tadi belum selesai, Pi.”
Kepalaku terangkat dari aktifitas sarapan. Dita? Bukannya dia biasanya tinggal lama?
“Aku minta Bik Sati yang ngantar anak-anak ke sekolah, aku perlu bicara Pi, biar semuanya jelas antara kita, kamu mau aku bagaimana sebenarnya, dan gimana akhirnya jika aku tidak bisa memenuhi keinginan Papi?”
Kutatap mata Dita selama beberapa detik lalu meneguk teh tawar hingga tandas.
“AKhirnya? Mau kamu gimana? Intinya solusi ada di kamu DIt, mau berubah nggak? Kalau mau ya segera lakuin, kalau ngga ya mau gimana lagi?”
“Makanya aku tanya lagi, seandainya aku tetap aja gini, kamu masih malu bawa aku kemana-mana? Seandainya badanku susah balik normal, apa yang kamu lakuin?”
“Memang kamu minta aku lakuin apa Dit? Yang jelasnya berpisah gak pernah ada dalam kamusku, dan lagipula aku percaya dengan keadaan kamu sekarang, gak mungkin kamu bisa ninggalin rumah ini,” sahutku setengah meremehkan. Entah apa tujuannya sejak tadi mengejarku dengan pertanyaan ini. Para lelaki paling tidak suka di kejar oleh sesuatu yang udah jelas kemana ujungnya
“Kata siapa aku bisa gak bisa ninggalin kamu, Pi?.” Bisiknya. Suaranya lebih seperti gumaman ketimbang jawaban seperti saat kami berdebat tadi. Bahkan, pernah beberapa kali kami bertengkar hebat dengan saling adu mulut. Tidak terhitung jumlahnya.
“Yakin bisa? Ngurus dirimu aja kamu gak becus Dit,”kilahku lalu mulai berdiri.
“Kalau aku bisa, gimana?”
“Ya bagus.”
“Kalau aku bisa pergi ninggalin papi selama beberapa bulan, papi ngasih aku apa?”
Aku mendesah Lelah. Apa lagi maumu DIta.
“Aku bakalan kasih apapun kamu mau, puas? Asal pastiin selama bulan itu aku tidak perlu liat wajah kamu ya, pastiin juga gak ada masalah apapun, ingat aja kita punya anak-anak.” Cetusku tak lama setelah memakai sepatu.
“Aku pegang omongan Papi. Dan tolong sampaikan sama Ibu dan adik kamu kalau aku mulai minggu depan gak bisa bantuin mereka apapun lagi, Pi”
Aku mengangguk acuh lalu melambaikan tangan berlalu dari sana. Terserah kamu DIt.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA HATI DITA
RomanceDita tidak menyangka jika perkawinannya dengan suaminya, Dygta akan berada diujung tanduk setelah semua yang dia korbankan, termasuk karirnya sebagai seorang dokter. Dygta tidak menduga jika wanita yang awalnya dia cintai sedemikian hebatnya bisa be...