Bagian 16

496 37 0
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 16.

Keesokan harinya sebelum ke kantor aku meminta Chaca dan juga Chica, adikku datang ke rumah. Aku meminta mereka membantuku menjaga kedua anakku, hingga aku tiba di rumah sore harinya. Rencananya mereka akan membantuku menjaga si kembar mulai hari senin hingga jumat. Pagi itu aku tidak sempat mengantar si kembar, tapi, sudah selesai membuatkan mereka makanan hingga berpakaian sekolah. Aku membutuhkan bantuan kedua adikku agar dapat waras. Ya, ternyata setelah menjalani dua hari bertiga saja bersama dua damanik, efeknya sangat sulit kujelaskan.

Kemarin aku melewati hari lumayan payah. Emosiku terkuras habis tak berisisa. Puncaknya saat siang hari aku membentak dan memarahi Gunda karena tidak berhenti menghamburkan mainan miliknya. Lalu saat semua amarah itu keluar yang tinggal padaku hanyalah penyesalan. Aku menyesal telah memarahi anakku. Aku meminta maaf setelahnya dan berusaha mencairkan situasi. Butuh waktu beberapa jam bagi Gunda agar mau kuajak bicara. Aku baru tahu jika Gunda sangat sensitife. Berbanding terbalik dengan manik yang mudah kualihkan perhatiannya.

Apakah aku ayah yang jahat? Kupikir tidak. Kasih sayangku pada mereka tidak berkurang. Bahkan seiring dengan berkurangnya pertemuan kami, aku jadi merindukan mereka. Hal yang normal berhubungn sudah beberapa bulan ini aku hanya bertemu mereka tiap minggu. Tapi yang paling membuatku bertanya pada diriku sendiri adalah alasan aku tiba-tiba saja merindukan suasana rumah saat Dita ada di rumah. Dita? Sedang apa kamu sekarang.

Apa yang ada dalam pikirannya, atau apa yang sedang dilakukannya? Kenapa kebiasaannya melaporkan apapun padaku tidak juga kembali? Apa dia benar-benar marah padaku? Apa dia benar ingin setahun tinggal berpisah dariku? Apa benar dia mampu? Ah Dita, ayolah kembali ke rumah. Aku hanya butuh satu pesan darimu agar berani membuatmu kembali ke rumah dan aku berjanji tidak akan menuntut banyak hal lagi.

Tiba di Kantor keadaan juga lebih tidak baik. Ketegangan antara kepala bagian dibawah komandoku terjadi. Ketegangan itu dipicu selisih harga pada kuartal ketiga laba perusahaan. Mereka saling menuduh hingga adu jotos terjadi. Aku memanggil mereka ke ruanganku sebelum info ini beredar dan diketahui oleh bagian direksi.

“kalian tidak malu menjadi tontonan staf yang lain? Kalian ini kepala bagian, harusnya ngasih contoh, apa bedanya kalian dengan preman pasar? Gaji kalian aja yang tinggi, urusan otak nol besar, sekarang, jelasin apa masalahnya, dan kita beresin sekarang juga. Ngikutin pola pikir kalian yang sembrono bisa-bisa bikin kerjaan kita terhambat.”

“Saya tidak akan begini kalau bukan Pak Gibran yang duluan memukul saya, Pak,” terang Wawan padaku.

“Saya juga tidak akan memukul kalau ucapannya bisa dia jaga, Pak,”kilah Gibran, salah satu kepala bidang yang kukenal berpendirian tegas.

“Sudah, cukup! Intinya siapapun yang memakai kekerasan dalam menyelesaikan masalah tidak bisa aku tolerir dengan apapun juga. Setelah perbaikan laporan ini, aku meminta kalian berkeliling pada semua staf dan meminta maaf secara langsung atas perbuatan kalian karena telah menimbulkan kekacauan, setelah itu silahkan berdoa, semoga saja masalah ini tidak sampai di telinga HRD. Karena jika sampai ke telinga mereka, akupun tidak akan bisa menolong kalian. Paham?”

“Paham pak,” sahut mereka kompak.

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang