Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 20
Menghitung jam kedatangan Dita menjemput anak-anak. Sabtu besok anak-anak akan dijemput. Dan tepat tiga bulan Dita meninggal rumah. Yang membuatku sedikit agak marah karena tak ada satupun pesan ku yang dibalasnya. Baik Dita. Baik. Kita lihat sampai sejauh mana kamu bisa memprovokasiku. Kesabaranku hampir habis dua hari yang lalu karena di hari yang sama Ibu memarahiku karena memonopoli tenaga dua adikku mengurus si kembar, sedangkan dia membutuhkan kedua adikku buat menjaga Githa dan nenekku pada pagi hari.
Keadaan sangat kacau pagi itu karena kepalaku begitu penuh dengan keluhan sedangkan dihadapanku banyak kekacauan yang belum kubereskan. Mengambil jalan tengah aku meminta Chaha ke Ibu lebih dahulu hingga dua asisten di rumah ibu datang dan Chica membantuku menemani kembar hingga siang hari, berhubung di waktu yang sama ada perlombaan mewarnai bersama orangtua murid, karena aku harus ke kantor, maka semua harus bisa kuatur sedemikian rupa. Sebenarnya ide ini dari Chaca adikku, jika tidak ada masukan darinya, aku pasti akan pusing bagaimana membagi semua urusan ini sedangkan pekerjaan di kantor tidak bisa kutinggal.
Hari jumat setelah rapat terbatas para manager, aku meminta ijin khusus hari jumat. Sebenarnya aku bisa saja memakai jatah cutiku, tapi, aku sudah berniat menggunakan waktu cuti itu bersama keluargaku, dan tentu saja mengajak DIta. Entah sudah berapa lama aku tidak pernah mengajaknya liburan. Tiga bulan terakhir hidupku bagai di neraka, hanya, aku masih enggan untuk mengakui. Mungkin karena dalam hatiku sudah meyakini, bahwa sejauh apapun DIta pergi dia pasti akan kembali, bahwa selama apapun DIta marah, dia pasti akan kembali padaku, bukankah begitu hakikat dari rumah tangga? Apalagi jika Dita membutuhkan biaya extra buat anak-anak, aku sangsi sampai sejauh mana ia dapat bertahan.
Hitungan sederhanaku, jika uang bulanan yang kukirim ke DIta dia gunakan maka, dia hanya akan bisa bertahan maximal dua bulan. Sewa apartemen di Unit yang dipilih Dita setengah dari uang bulanan yang sering kuberikan. Jika ditambahan dengan makan dan biaya asisten rumah tangga yang dipekerjkan Dita, cepat atau lambat dia pasti akan kembali atau minimal menghubungiku, saat dia menghubungiku, saat itulah waktunya aku mengajukan tawar menawar.
Tunggu, uang bulanan? Kupikir aku harus mengecek saldo rekening Dita minggu depan jika besok Dita masih enggan buat kembali ke rumah ini. Biasanya hanya uang yang menjadi alasan manusia bergantung dan membutuhkan pertolongan.
“Tuan, cadangan gas udah habis, sejak kemarin saya bilang, tabung gas mesti diisi sebelum abis, biasanya langka tuan, Nyonya selalu memastikan mengisi tabung cadangan, tidak menunggu dua-duanya abis, belum lagi susu kembar besok, gimana? Apa pake air dispenser saja?”tutur Bik Sati panik.
Aku berdiri menuju dapur tanpa menjawa pertanyaan Bik Sati. Awalnya kupikir segala remeh temeh seperti ini selalu bisa diselesaikan dengan telpon, ternyata pada prakteknya, ada yang bisa diselesaikan, ada yang tidak bisa diselesaikan secepat yang kita bisa. Belum hitungan aku terpaksa membelikan kembar Kasur baru akibat terlambat mengangkat Kasur yang sedang kujemur. Kasur itu basah kuyup, sehingga membuatku mengeluarkan dana tak terduga dalam jumlah besar buat membeli kasur. Dan mungkin juga akan membeli tabung gas baru lagi sore ini.
“Beli tabung gas baru aja, bibi tahu mau naik apa buat ngakut tabungnya kan?”
“Iya tuan, bibi tau, tapi, apa gak sayang duitnya tuan? Mending diisi aja tabung gas yang ada.”
“Udah gak ngejar Bi, udah mau malam, beli gas aja dulu, nanti malam saya coba pesan jasa belanja online lagi buat nyari ketersediaan gas, kali aja yang jauh ada stok gasnya, iya kan?,”jawabku berusaha sabar.
“Baik tuan, saya keluar dulu, buat makan malam nanti, baru bisa bibi siapin setelah ada gas ya tuan.”
“Gak usah Bi, buat malam nanti biar pesan online aja, yang bibi masak kalaupun ada masukin kulkas saja ya, buat persedian besok.”saranku tenang padahal stok sabarku sudah setipis tissu. Aku hanya berharap Bik Sati tidak sampai mendengar amarahku.
Malam harinya setelah situasi tenang, pandanganku kembali menyaksikan bentuk rumah yang lebih mirip kapal pecah. Kembali kulayangkan ingatan saat DIta masih ada, meski rumah berantakan, tapi semua pekerjaan beres, atau, meski berantakan, tidak sekacau seperti sekarang ini.
Berhari hari yang lalu tak terhitung berapa kali aku menyebut nama DIta dalam hati. Berharap kami terkoneksi entah bagaimana caranya. Berharap hati Dita melembut dan kembali seperti biasa menghubungiku. Memberiku serentetan pesan-pesan aktifitas sehari-harinya. Aku merindukan cerita-ceritanya tentang apapun. Sungguh. Sungguh aku tidak akan keberatan lagi dengan semua pesan-pesannya, sungguh.
Waktu menunjukkan pukul dua belas. Setidaknya rumah sudah tidak semengerikan tadi. Namun,tak ada lagi bising apapun yang terdengar. Anehnya dulu justru suasana tenang seperti ini yang kurindukan. Lalu, saat benar-benar merasakannya beberapa bulan ini membuatku nelangsa luar biasa. Semuanya sunyi. Aku seolah merasa asing dengan rumahku sendiri. Aku berjalan mengitari ruang tamu dan menatap pigura besar yang berisi fhoto-fhotoku dengan Dita. Aku tersenyum saat menatap beberapa pose DIta saat bergelayut manja padaku. Rata-rata fhoto kami diambil sebelum kembar lahir. Gambar dalam pigura ini sangat jelas mengatakan jika aku memang teramat sangat mencintai Dita.
Cintaku pada Dita sejak dulu hingga sekarang masih sama. Tidak ada satupun wanita yang kuanggap bisa menggantikannya, meski keinginan berpaling seringkali datang, tapi, hal-hal rasionil seperti komitmen, tanggung jawab terhadap anak-anak dan menciptakan keluarga yang utuh masih nomor satu dalam prioritasku. Aku paham benar jika selama ini aku keterlaluan menanggapi dan diluar batas karena tidak memahami kesulitan DIta. Hanya memikirkan kenyamananku dan merasa setelah memenuhi kebutuhan keluarga maka semuanya telah selesai. Ternyata dalam rumah tangga semuanya terlalu rumit untuk bisa kusimpulkan sendiri.
Keesokan paginya aku meminta Bik Sati membantuku membersihkan rumah dan mengganti seprei. Hal yang dulu sering dilakukan DIta tiap minggu. Aku ingin saat dia pulang ke rumah, dia merasakan kenyamanan dan merindukan kembali ke rumah secepatnya. Aku ingin DIta sadar jika tidak ada kenyamanan lain selain di rumah bersamaku.
Bik sati mengabari padaku jika satu jam lagi anak-anak akan dijemput. Aku memasang tampang senormal mungkin saat ketukan di pintu membuatku tersentak. Segera kuminta Bik Sati membuka pintu dan menyuruh siapapun di luar untuk masuk. Ya, akan lebih mudah Jika DIta langsung melihat isi rumah, karena semua isi rumah adalah pilihan DIta, dia mengganti dekorasi sesuai dengan keinginannya, dan aku tidak pernah sekalipun menolaknya.
Sesekali mataku melirik kedatangan tamu dan menunngu DIta agar segera masuk di rumah, ya, kalau perlu aku akan dengan senang hati memaksanya.
“Tuan tamunya udah saya minta masuk,”tutur Bik Sati yang kusambut dengan anggukan. Tapi, mungkin saja mataku rabun. Atau ada kesalahan dalam sensorik mataku. Sehingga yang tampil di hadapanku malam Bulan. Eh? Maksudku Mentari. Ini…
what the hell?
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA HATI DITA
RomanceDita tidak menyangka jika perkawinannya dengan suaminya, Dygta akan berada diujung tanduk setelah semua yang dia korbankan, termasuk karirnya sebagai seorang dokter. Dygta tidak menduga jika wanita yang awalnya dia cintai sedemikian hebatnya bisa be...