Bagian 7

477 42 2
                                    

Asal keluarga dan istriku tidak boleh tahu 7.

Aku tiba di kantor dengan perasaaan yang sulit kujelaskan. Beberapa sapaan kutanggapi dengan biasa saat berjalan memasuki ruanganku. Mungkin akibat ucapan Dita sehingga berpengaruh buruk terhadap moodku.

Selama tujuh tahun ini, tidak pernah sekalipun aku melakukan hal yang buruk terhadap DIta. Aku menuruti semua kemauan dan memprioritaskan kebutuhan keluarga. Hanya Dita, yang kurasa tidak pernah memperhatikan dan melayaniku sebaiknya. Apakah aku slah jika aku minta dilayani dengan baik? Apakah aku salah jika meminta istriku tampil cantik serta memukau? Apakah aku salah jika keberatan dengan kondisi tubuh Dita, yang…uuuhh… ah sudahlah, mungkin pada akhirnya semua rumah tangga akan mengalaminya. Aku hanya harus bisa meyakinkan Mentari agar tetap berhubungan denganku, serta bersandiwara di hadapan Dita.

Banyaknya kesalahan pada laporan akhir tahun yang dilakukan kantor managemen cabang membuatku mau tidak mau harus lembur agar dapat memastikan semuanya selesai tepat waktu. Memeriksa detail seperti ini tiap tahunnya kadang membuatku ingin marah dan ingin pergantian posisi di cabang yang bermasalah. Karena biasanya, kesalahan satu oknum akan berdampak pada laporan pertanggung jawaban keseluruhan. Dan, aku tidak pernah menginginkan ini terjadi dalam wilayah tanggung jawabku.

Tapi, itu tahun lalu sebelum kedatangan mentari. Hari pertama saat dia membaca raut wajahku yang menahan emosi, ia segera tahu menyempurnakan kekosongan yang kuinginkan lalu menyempurnakan. Ya, mirip-mirip kekosongan hatiku. Kehadiran Mentari bagai oase, entah mengapa aku sangat membutuhkan kehadirannya, bukan saja hanya di kantor, aku ingin dia menemaniku bercakap, memelukku, dan tidur…astaga,tidak. Apa yang aku pikirkan? Hubungan kami tidak seperti itu. Tidak.

“Pak, semua perbaikan udah saya kirim lewat email, sebelum dicetak, dan dilaporin ke para direktur minggu depan, ada baiknya bapak periksa dulu, biar kekurangan bisa kita benahi,” pungkasnya, saat masuk ke ruanganku.

Ah Mentari, meski udah malam, tapi penampilannya masih optimal. Performanya gak ada bedanya dengan pegawai lainnya, padahal sejak tadi aku tahu dia sibuk dengan sekretrarisku menghubungi kantor cabang sejak pagi. Rambutnya yang Panjang sama sekali tidak menghalangi kegesitannya dalam bekerja.

“Take your time Tari, kerjamu bagus. Senang memiliki kamu di akhir tahun gini, aku pasti tidak akan lupa buat ngasih tahu direktur agar naikin bonus kamu,” ujarku tanpa melepas pandangan mataku.

Kami berpandangan lama. Dia tersenyum, akupun menyambut senyumannya. Seolah ada percakapan tersembunyi yang tercipta diantara kami. Aku menangkap Bahasa bibirnya yang menyiratkan jika akan menungguku di apartemennya malam ini. Tanpa ragu aku mengedipkan sebelah mata tanda setuju.

Gedung perkantoran PT. GAW adalah salah satu yang terbesar di daerah Depok. Antara Gedung kantor dan apartemen Mentari hanya berjarak delapan ratus meter. Jadi, saat mengakhiri rapat terbatas dengan beberapa kepala bagian, aku segera memacu mobilku menuju apartemen Mentari.

Aku hanya mengetuk sekali saat pintu berwarna abu itu terbuka. Dia menyambutku dengan hangat, tak lupa disertai dengan pelukan. Saat mengendus aromanya, keinginan kuat untuk menghirup aroma itu agar meresap di indera penciumanku semakin menjadi-jadi.

“Masuk dulu yuk, pasti lapar. Malam ini aku beli nasi kebuli langgananku, kali aja suka,”katanya lembut. Aku tergerak mengikuti langkahnya, dan seperti biasa menempatkan diriku tepat di kursi pantry. Aromanya masih menari nari di indera penciumanku. Sesekali aku menelan ludah sambil menarik napas Panjang.

Tidak butuh waktu lama bagiku menghabiskan porsi nasi kebuli hidangan Mentari. Tak ketinggalan segelas teh panas. Yah meski kuakui teh buatannya tak seenak di rumah, pelayanan Mentari padaku wajib kuacungi jempol.

Setelah makan aku menyaksikan Mentari yang kembali sibuk depan laptop. Aku tahu itu pasti kerjaan yang datelinenya tidak lama lagi. Aku tidak meragukan ke profesionalan Tari dalam bekerja bahkan dalam melayaniku. Sungguh aku pasti akan diuntungkan jika memiliki istri sepertinya.

Apakah semua yang kulihat tidak bisa membuat hatiku memilih wanita ini? Apakah sepadan? Apakah sepadan meninggalka DIta demi Mentari? Entahlah. Jika dilihat spintas aku yakin skor Mentari bisa diatas rata-rata. Tapi, tapi yang aku takutkan adalah soal anak-anak. Aku tidak ingin jauh dari anak-anak. Ada baiknya sebelum memutuskan aku harus memastikan jika pilihanku tidak akan salah.

“Pak, gimana? Enak? Kenyang? Butuh sesuatu lagi?” tawarnya saat melihatku duduk di sebelahnya. Aku melirik jam yang menunjukkan pukul Sembilan malam kurang, setidaknya sebelum jam sepuluh aku wajib ada di rumah jika tidak ingin kegaduhan tadi pagi berulang. Setidaknya posisiku tidak aman jika mala mini aku menimbulkan kecurigaan.

“Oke Tari, malam ini sampai di sini dulu, ya, sampai jumpa besok,” ucapku lalu berdiri diikuti dengan Mentari yang menyusulku lalu menggandeng tanganku menuju pintu.

“Pak, kalau ada masalah, apapun itu, aku siap menjadi pendengar,” ungkapnya menenangkanku. Seolah ia bisa melihat kegelisahanku. Ah, Mentari, semoga kamu memang jodohku.

Jalanan yang lumayan ramai malam itu mengakibatkan aku tiba di rumah hampir pukul sebelas malam. Di atas meja seperti biasa selalu tersedia air jeruk, meski aku jujur lebih suka teh. Sayang sejak aku menegur teh buatan DIta yang terlalu pekat, dia jadi tersinggung dan tidak pernah lagi membuatkanku teh. Setelah satru tegukan air jeruk, aku melihat kamar anak-anak dan mendapati mereka tidur pulas. Ah ini entah malam keberapa aku selalu tidak sempat menyapa mereka.

Tak lama setelah menyentuh handle pintu kamar yang kutempati, seperti biasa DIta sudah tidur. Baguslah. Aku sedang tidak ingin berperang. Sangat melelahkan hari ini. Segera setelah mengganti baju dan mencuci badan dengan menggunakan air hangat, aku bergabung dengan DIta diatas ranjang.

“Besok aku pergi, anak-anak kubawa, kalau mau menjenguk mereka akan ku sharelok lokasiku.”

Aku masih membutuhkan waktu beberapa detik sebelum sadar kemana arah pembicaran ini.

“Aku bilang terserah kamu, Dita, asal kamu ingat, saat kamu meninggalkan rumah ini, aku gak bisa m

“Oke, gak masalah,” jawabnya

“Berapa lama kamu pergi?”tanyaku berusaha menebak arah pikirannya.

“Satu tahun,” jawabnya.

Aku tertawa dalam hati. Sehari saja dia tak bisa hidup tanpaku. Satu tahun? Tanpa uang bulanan? Ckckckkc, Dita. Kamu saja aja cari mati.

“Baik. Pergunakan waktumu dengan baik lalu lihat apa saja yang bisa kamu perbuat dengan waktu atu tahun. Aku menunggu, ingat aja Dit, kalau sampai belum satu tahun kamu menghubungiku atau meminta apapun dariku, kamu sama anak-anak kembali pulang ke rumah.”ujarku dengan penuh ketenangan. Meski aku tidak paham apa kaitannya dia ingin keluar dari rumah, dan nanti berniat kembali. Apa bedanya? Dasar wanita.

“Tenang aja aku pasti balik ke rumah, selama gak ada orang ketiga,”jawabnya seolah mengakhiri pembicaraan diantara kami.

Keringat dingin mulai mengaliri tengkukku.

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang