Bagian 15

570 34 1
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 15

Masa-masa indah

Aku berdebar. Sangat berdebar. Saat-saat berlangsungnya akad nikah menjadi momen yang sangat berharga untukku. Beberapa teman satu angkatan datang pada pesta pernikahanku. Aku bersyukur luar biasa atas semua kemudahan yang aku terima sebelum dan saat berlangsungnya acara. Acara akad nikah dilanjutkan dengan resepsi setelahnya. Semua keluarga dari jauh juga ikut datang, termasuk sodara almarhum Ibu dari Sidoarjo juga datang. Pelaksanaan akad nikah lebih banyak dibantu oleh istri kakak sepupuku, Ratih. Menurutku, Sepupu Bernardo, termasuk pria yang sangat beruntung karena mendapatkan wanita seperti Ratih. Dari pasangan suami istri ini, aku mendapatkan satu set perhiasan.

Tak banyak tamu yang hadir. Kami hanya mengundang tiga ratus tamu undangan karena memang selain tetangga dan keluarga dekat, tidak ada kolega yang wajib diundang. Ayah adalah seorang petani biasa yang akhirnya bisa menabung lalu membuat kost-kostan demi membiayai sekolahku dan adikku.

Rumah kami bukan rumah yang besar tapi cukup lapang jika kebetulan ada keluarga yang menginap. Rumah yang merupakan warisan turun temurun dari buyut Ayah merupakan bangunan zaman dahulu yang masih terawat serta terjaga kelestariannya. Selain padepokan, ada dua gazebo mini di sudut taman yang masih dirawat dengan baik oleh ayah. Kata beliau, dua gazebo ini adalah tempat kesayangan kedua orang tuanya, maka, salah satu dari kami nantinya harus ikut merawatnya.

Ketika masuk rumah kami, ukiran pada pintu juga jendela banyak di dapati terpahat indah disertai berbagai lukisan-lukisan lawas koleksi almarhum bapak dari ayah. Kursi tamu, meja makan, lemari, dan berbagai perkakas juga masih menggunakan peninggalan milik kakek. Semuanya dirawat dengan baik oleh ayah. Jadi, saat keluarga Mas Dygta datang bertamu, mereka sangat senang melihat perpaduan etnik juga apik serta pemandangan asri dari sawah yang terhampar di depan rumah.

“Dita dan juga Dygta, menikahlah sekali seumur hidup, ya, Nak. Pernikahan itu bukan macam kita pacaran. Gak suka ya udah, bosan lalu sudahi, gak cinta cari yang lain, marah lalu membenci. Gak gitu yo, Nak. Dalam rumah tangga yang harus dipupuk adalah sabar. Maka, besok-besok jika kalian bertengkar hebat, maka yang satu wajib diam, kalau yang satu ngotot ya yang satunya wajib diam. Hindari mengatakan apapun saat dalam keadaan marah. Bicaralah saat kamu udah mampu tersenyum.”

Aku mengusap air mataku saat menerima wejangan singat dari bapak setelah acara akad nikah usai. Acara resepsi tidak berlangsung lama, karena sore harinya aku langsung turun tangan membantu para keluarga besar beres-beres, termasuk keluarga dari pihak Mas Dygta, yang berencana pulang naik kereta jam tujuh malam.

Malam harinya kami mengadakan acara makan malam yang di hadiri oleh kerluarga dekat. Ada banyak sajian bebakaran yang disiapkan oleh para sepupu dari pihak ayah yang masih tinggal menyemarakkan malam. Aku dan Mas Dygta masih akan tinggal hingga dua hari kedepan, lalu rencananya dia akan langsung membawaku ke rumah yang telah ditinggalinya selama setahun belakangan. Katanya, dia memperoleh tanah dari warisan almarhum papanya, lalu sedikit demi sedikit dibangun sesuai dengan selera.

Sejujurnya tidak ada yang baru bagiku dan Mas Dygta. Meski perkenalan kami tidak berlangsung lama, tapi, dari caranya berinteraksi dengan ibu dan juga adik-adiknya, aku tahu ia kakak yang sangat penyayang. Suatu waktu aku pernah mendengar jika kita  ingin melihat  bagaimana seorang pria memperlakukan istrinya, maka tengok cara dia memperlakukan ibunya.

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang