Bagian 23

619 50 1
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 23

Aku memutuskan untuk keluar dari apartemen dan berniat akan datang lagi sore hari. Biarlah hari ini aku mengunjungi Ibu. Terhitung hampir sebulan aku mengindari telepon darinya. Sebisa aku mengindari konfrontasi dengan ibu, masalahnya semakin sering aku ditanya-tanya, semakin besar peluang masalahku akan ketahuan.

Aku membutuhkan waktu dua jam tiba di rumah Ibu. Tentu setelah tiba aku mengutamakan mengunjungi Nenekku terlebih dahulu. Melihat kondisinya serta memijit kedua kakinya. Aku lalu teringat dulu, awal-awal nenekku sakit, aku sering mengatakan pada DIta, jika Nenek bagiku adalah segalanya. Sejak kecil apapun yang kumaui selalu dikabulkannya tanpa pamrih. Untuk itu semua kebutuhan Nenek berusaha kupenuhi hingga menggaji asisten khusus untuk merawat nenekku, si Nia romadona. Lain halnya dengan Gita adikku, adik bungsuku yang mengalami keterbelakangan mental, gaya bicara dan tingkah lakunya tak ubahnya anak usia sepuluh tahun.

Saat pertama kali memperkenalkan keluargaku pada Dita sebelum menikah dulu, saat itulah aku tahu jika wanita itu adalah calon yang tepat buat mendampingiku. Dia tahu dan sabar berkomunikasi dengan nenekku, dan tahu bagaimana mengendalikan Gita. Kehadiran Dita layaknya puzzle bagiku. Keberadaannya selama tujuh tahun ini melengkapi kepingan kosong dari diriku. Dia tahu mengurus semua hal berkaitan dengan keluargaku.DIta tahu mengendalikan kedua adik kembarku jika bertengkar, dan DIta pula yang mengurus pernikahan kedua adikku. Meski ada banyak kekacauan, keluhan darinya, menurutku Ia melaksanakan semuanya dengan baik.

Aku sampai bertanya-tanya darimana asal muasal sumber keenggananku padanya? Apa yang membuat aku jenuh melihatnya? Apa yang membuatku tidak lagi minat melihatnya. Tapi,itu tiga bulan lalu. Setidaknya sebelum DIta pergi. aku jadi tahu bagian mana yang telah dikerjakan Dita secara sempurna, bagian mana yang dikerjakan DIta tanpa kuketahui. Masalah-masalah yang kuanggap sepele ternyata malah sangat besar pengaruhnya.

Sebut saja saat minggu kemari aku lupa meninggalkan uang iuran sampah, hingga mengakibatkan bau busuk menyengat hingga ke tetangga. Aku lupa menutup pagar samping sebelum tidur akibatnya, beberapa hewan peliharaan pak Lurah masuk dalam rumah, dan aku baru sadar keesokan paginya. Dan masih banyak hal sepele lainnya yang selama ini kuanggap remeh dan mengganggp jika DIta selalu bergantung padaku.

Padahal kenyataannya aku yang telah bergantung padanya. Aku yang sadar dengan mata kepalaku apa saja peran DIta padaku. Hal-hal sepele seperti menyediakan air jeruk tiap malam atau mengganti sambel tiap hari hanya Dita yang mampu melakukannya.

Menyiapkan pakaiannya sesuai hari, memilihkan padanan pakaian, mengganti alas kaki, taplak, belanja bulanan, listrik, kebersihan, dan semuanya. Oh Tuhan kepalaku mau pecah, hanya terlalu gengsi mengakuinya. Jika boleh memilih aku juga ingin tingal di apartemen bersamanya. Karena pulang ke rumah dengan kenyataan anak-anak tidak di rumah membuatku tidak baik-baik saja.

Masalahnya beberapa hari terakhir aku selalu menelpon Dita. Aku mengiriminya pesan. Bahkan aku menelponnya menggunakan nomor baru. Berjuta kalimat perintah dan pertanyaan telah kukirim, tapi tidak satupun mendapat balasan darinya. Ditambah lagi masalah Mentari yang membuatku…astaga, besok pagi aku harus menemuinya. Aku harus memastikan ia tidak lagi datang ke rumah dan membuat masalah. Atau haruskah sekalian kuakhiri semuanya?

“Ibu pikir kamu lupa kalau punya Ibu, Dygta. Semua telepon ibu kamu acuhkan, adikmu-adikmu juga kompak lempar pertanyaan, kalian pikir ibumu ini orang bodoh?.”

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang