Bagian 21

592 41 3
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 21

Diantara sejuta kemungkinan lainnya, kemungkinan ini yang tidak pernah masuk dalam bayanganku. Ngapaian kamu Mentari?

“Ehm… saya berubah pikiran, Pak. Saya mau mengenal anak bapak, makanya saya sepagi ini udah datang kesini, niat mau bantu apapun yang bisa membantu bapak,”jawabnya lancar tanpa kutanya. Dan aku bertingkah bodoh dengan berdiri dari tempatku duduk.

Tidak sampai  disitu saking kagetnya aku memilih duduk kembali pada kursi yang kududki semula lalu mendapati Mentari mengajak ngobrol kedua anakkku. Ya Tuhan kurasa aku sedang mimpi. Tidak mungkin Mentari berani datang ke rumahku seperti ini.

Apa Mentari sedang bercanda denganku?

“Tari, asal kamu tahu, aku tidak pernah memintamu bisa seenaknya datang ke rumahku, apa kamu ingat?” bisikku tegas.

“Pak, udah dua minggu bapak cuekin pesan dan telpon dari saya, Bapak udah gak pernah lagi datang ke apartemen, bapak menolak lagi kupanggil dengan panggilan sayang, apa salahku?”

Astaga. Serius aku harus menjawab pertanyaan ini?

Mentari membuatku berhenti berpikir dalam sekejab. Aku meneliti seluruh raut di wajahnya untuk bisa menebak isi pikirannya. Rambut panjangnya terjuntai indah, aku melihat bibirnya yang menarik dan yang sering bertemu, tapi, sebulan terakhir aku tidak lagi mengunjunginya. Apakah ada yang salah dengan bahasaku padanya jika aku tidak ingin apapun yang terjadi diantara kami diketahui oleh siapapun?

“Mentari, kamu ingat apa yang aku bilang? Kamu ingat nggak?,”tanyaku berusaha menenangkan diri.

“Aku ingat.”

“Terus,” koreksiku

“Saya hanya mencoba menjawab pertanyaan bapak dua minggu lalu, tentang masalah ngenalin anak, jadi ini jawabannya, saya bersedia bapak kenalin dengan mereka,”jawabnya lirih. Aku memijit kepalaku yang mendadak sakit. Bayangan DIta yang akhirnya pulang ke rumah setelah tiga bulan lamanya dengan wajah penuh tanya saat melihat Mentari membuatku bergidik ngeri. Tidak boleh. Tidak. Dita tidak boleh tahu tentang Mentari.

“Gini, Tari. Hal ini perlu kita omongin secara jelas, karena kamu datang ke rumah saya tanpa pemberitahuan, mending daripada semua yang kita rencanakan buyar, kamu pulang dulu. Oke? Aku janji besok pagi-pagi banget akan datang ke apartemen kamu, gimana?” tawarku antusias. Dalam hati aku berusaha menghitung detik demi detik.

“Janji?”

“Iya, aku janji akan datang besok pagi,” jawabku meyakinkan. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya Mentari merangkulku sebelum bergegas keluar rumah. Aku masih terdiam di tempat selama beberapa saat setelah kepergiannya. Jujur aku masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja kusaksikan. Tidak menutup kemungkinan ada kali ketiga dia akan datang.  Bahkan keempat dan kelima. Besok pagi aku harus berusaha lebih cermat meyakinkan serta menyadarkan Mentari posisi kami, hak dia serta Batasan dia. Dan, datang ke rumahku tanpa pemberitahuan termasuk pelanggaran terhadap kesepakatan kami.

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang