Bagian 32

707 47 1
                                    

Asal Istri dan keluargaku tidak boleh tahu 32

Kurasa aku benar-benar kehabisan napas karena napasku sesak luar biasa. Entah alasan apa lagi yang akan keluar dari mulutku nanti. Tapi, sebenarnya jantungku lebih gelisah saat melihat ibu juga ikut berdiri seolah mengiyakan pancingan si cicak. Awas kalian, jangan harap aku bakalan bayarin tagihan atau isiin token listrik kalian. Aku berjanji. Minta suami kalian yang isiin.

“Ini siapa ya?”tanya ibuku tanpa basa-basi lalu berlanjut menilai Mentari dari atas hingga bawah.

“Saya Mentari, Bu. Mau balikin Hp Pak Dygta.” Ucap Mentari sopan.

“Makasih Ya, mungkin ini ketinggalan di mobil kantor tadi, saat antarin saya pulang,”jawabku berusaha mengatasi kecanggungan.

“Kok bisa kamu tahu rumah Dygta? Sering ke sini ya?’potong ibuku yang makin membuatku kehabisan kata-kata

Ya Tuhan. Ibu.

“Baru dua kali, kok Bu. Ini juga karena Hp Bapak ketinggalan.”

“Semoga aja ini yang terakhir, katanya kalau ada ketigakali selanjutnya setan, eh maksud saya, gak bisa dibiarin, mungkin Dygta punya bibit penyakit pikun, mirip eyangnya dari pihak bapaknya. Dulu eyangnya meninggal karena pikun, ada juga yang kusta dan diabetes, makanya tiap hari menantuku yang cantik itu jagain eyangnya Dygta, gak jarang bersihin kotoran.”

Ya Tuhan Ibu. Salahku apa?

“Eh, iya Bu. Ini saya hanya kembaliin hp kok Bu, kalau begitu saya pamit dulu Ya, Pak.”sahut Mentari. Aku mengiyakan tanpa jeda. Dia sebaiknya pulang jika tidak ingin dihabisi oleh ibuku.

“Eh..eh…boleh minta nomor hpmu? Cacaaaa….ambil hp ibu dalam tas, simpan nomor staf jadi-jadian ini.”

Bu, kenapa gak sekalian ibu ambil cabe, taro semuanya di mataku? Tak lama si caca datang dengan wajah kalemnya. Ia dengan sangat sopan meminta nomor Mentari lalu menyimpannya. Nah, ingatkan aku malam nanti, buat ingatin Mentari agar secepatnya ganti nomor.

“Duh makasih ya, soalnya ibu kurang temen cerita, kamu bisa kan temani ibu cerita?”

“Bi..bisa Bu, mau ditemenin cerita apa Bu?”

“Ya tentang apa aja, terutama tentang aktifitas ibu sama kawan-kawan ibu, eh kamu tahu nggak, akun lambe lakor? Itu aku masuk anggota grup itu tuh, kali aja kamu mau jadi anggota, ya itung-itung kamu pemanasan, eh kamu udah nikah belum?”

“Be…belum, Bu.”jawab Mentari seolah kehilangan fokus. Aku jelas melihatnya tertegun.

“Loh? Kenapa?”

“Bu, ijinkan Mentari pulang ke apartemennya, kami baru saja pulang Dinas dari luar kota, masih capek Bu.”sanggahku lalu lebih dulu berdiri dan memberi kode pada Mentari agar dia bisa segera berlalu pergi.

“Sa..saya, pamit dulu ya, Bu. Kalau ibu butuh sesuatu boleh kabari saya.Sa..saya permisi pulang Pak,”

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang