Bagian 5

486 45 2
                                    

Asal istri dan keluargaku tidak boleh tahu 5

_________<_>

“Kita gak mungkin begini terus, kan? Aku aku ingin punya status meski tersembunyi, aku ingin kita bisa tenang berhubungan, lagipula, aku yakin dengan kita menikah, bapak tidak akan sungkan buat tinggal menghabiskan malam denganku, iya kan? Aku janji tidak akan meminta banyak, aku janji,” pintanya.

“Tari, kamu ingat kan? Apa yang menjadi syarat hubungan ini? Kalau kamu ingat di awal aku bilang dengan jelas, kalau aku tidak ingin hubungan kita sampai menyakiti siapapun apalagi ketahuan keluargaku,” ujarku mengingatkan. Meski sebenarnya dadaku berdebar, takut jika Mentari akhirnya memutuskan tidak lagi menerima hubungan tidak jelas ini.

“Tapi keadaan berubah, untuk di tahap Bapak tidak ingin ketahuan istri dan keluarga aku mengerti, tapi, ini berhubungan dengan hatiku, aku tidak ingin bimbang jika ada pria yang mendekatiku, atau gunjingan orang-orang nanti, apakah bagi Bapak, permintaanku terlalu berat?”pelasnya lembut. Astaga kenapa mentari bisa semenggiurkan ini? Andai kendali diriku tidak kuat mungkin sudah sejak awal aku membawanya menghabiskan malam berdua denganku di kamar. Tapi, aku sadar hal itu tidak bisa kulakukan. Atau belum lebih tepatnya.

“Tari, aku jujur belum bisa memberimu apapun jika kamu bersikeras, jika kamu ngotot ingin hubungan kita diresmikan, aku tidak bisa, banyak hal yang aku pertimbangkan, Tari. Dan kamu tahu aku mencintai keluargaku, tentu, jika suatu saat aku melihat peluang istriku bisa menerima kita, aku tidak anak segan-segan memberitahumu,”kataku menenangkannya.

“Iya tapi kapan?”

“Enam bulan Tari, beri aku waktu enam bulan dari sekarang buat meresmikan hubungan kita, sementara aku hanya bisa memberimu sebatas ini, untuk hubungan yang lebih jauh, maaf, aku jujur belum bisa, dalam hal ini kamu yang paling dirugikan nanti sayang,”elakku lagi. Kali ini bibir Mentari merekah penuh goda. Ya, aku tergoda, apalagi dia makin mendekatkan dirinya padaku dan berlanjut memelukku. Sebagai pria yang baik, aku tentu menyambutnya. Pria mana yang bisa menolak godaan sebesar ini?

Lalu sentuhan Tari makin membuatku gila. Kali ini akulah yang lebih dulu mempertemukan bibir kami.

Aku kembali ke rumah pukul sebelas lebih. Anak-anak telah tidur, saat masuk ke dalam kamar aku melihat Dita juga ikut tidur di kamar anak-anak. Hah, baguslah, setidaknya aku bisa tidur nyenyak malam ini agar besok pagi bisa ke kantor dengan hati yang tenang.

Aku bangun pukul tujuh lebih, seperti biasa anak-anak sudah ada diatas meja makan dan bersiap akan ke sekolah, Dita seperti biasa sedang sibuk mengurus bekal dan peralatan anak-anak ke sekolah. Saat melihat bagaimana kacaunya rumah pagi itu, aku berniat menyelesaikan makananku secepatnya dan berniat angkat secepatnya.

Seingatku dulu, ibu tak pernah membiarkan rumah berantakan seperti ini saat mengurus kami anaknya. Dita harus banyak belajar sama iBU. Dulu aku maklum karena dia ditinggal ibunya saat usianya masih kecil, tapi sekarang? Aku berharap DIta sadar.

“Dit, selesai antarin anak-anak sekolah, coba sekali kali kamu fokus bersihin rumah,” kataku

“Rumah ini sehari empat kali dirapiin. Ada Pi. Tadi pagi aku udah bersihin malah, berantakan lagi, bedak berhamburan, ya maklum aja Bi Sati datang jam delapan, pengasuh anak anak ketemu di taman bermain. Ya, gini jadinya.”

“Alah itu alasan kamu aja sebenarnya, kamu selalu punya jawaban atau bantahan kalau aku yang ngomong,” tuturku mulai kehilangan selera makan dan berniat segera mandi lalu ke kantor.

“Loh? Ini kenyataannya, aku ngurus Dama sama Manik dari pagi sampai malam, sedang kamu Pi? aku minta main sama mereka aja, kamu cari alasan lain, apa sebenarnya aku udah bikin Papi bosan? Atau Papi memang udah gak suka liat aku? Gampang kok kalau mau bikin aku udah gak berkeliaran di rumah ini, papi punya senjatanya, begitu Papi ucapin aku pasti pergi,” sahutnya lancer tanpa hambatan apa-apaan ini? Dita mulai mengancamku? Siapa dia?

“Mau kamu apa sih Dit nyari rebut pagi pagi gini?”

“Aku nyari ribut? Papi yang nyari rebut, sadar nggak kalau beberapa tahun ini, papi udah gak pernah manggil aku dengan sebutan Mami kayak dulu lagi?”

Nah, mulai lagi drama abad 21 nya si Dita. Aku bosan. Benar-benar bosan harus menjelaskan hal yang sama beratus kali.

“Dit, jangan mincing emosiku, kamu tahu benar aku udah sering kali complain dengan banyak hal, kamu cukup ubah aja, kamu udah kufasilitasi semuanya, tinggal pakae otrak cerdasmu buat aplikasiin, percuma kamu kubiayain sekolah tinggi-tinggi tapi urusan berat badan aja kamu malu-maluin aku.”

“Papi!”

“Apa? Kenyataan kok. Apa yang bikin kamu marah? Kamu memang gemuk DIta, aku gak lagi liat kamu yang dulu, aku…aku…..aku benci kamu yang sekarang,”Pungkasku pada akhirnya.

“Aku gini juga ada sebabnya, aku bukan gak usaha, aku udah usaha, tapi polanya harus teratur, gak bisa instan, butuh waktu.”

“Iya sampai kapan? Mau nunggu sampai aku lihat wajahmmu juga eneg?”

“Terus kalau aku masih juga gemuk dan program diet gak berhasil, gimana?,” kata DIta dengan nada bicara yang tak pernah kudengar sebelumnya. Kurasa inilah defenisi bertengkar sesungguhnya. Baik. Dita harus aku kasih pelajaran.

“Hah, itu masalahmu Dit,”tuturku mulai paham kemana ini akan bermuara.

“Jawab Pi, kalau badanku setelah tiga atau lima tahun gak juga turun kamu mau apa?”teriaknya. dan aku benci dengan teriakannya. Kemana DIta yang anggun? Kemana DIta yang penuh tatakrama?

“Ah..sudahlah Mentari, aku mau mandi.”jawabku Lelah.

Aku berjalan secepat yang aku bisa, lalu hanya butuh dua detik saat aku sadar telah melakukan kesalahan fatal.

“Mentari? Siapa Mentari?”

Ahhh... Kenapa bisa ini kejadian?

LUKA HATI DITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang