30. TRAUMA

707 71 9
                                    

Annyeong 👋

Sebentar lagi End nih🥰

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak yawww

Spam komen dan Vote🥰

Happy reading

•••

"Ngos-ngosan banget, habis lari lo?" tanya Joyi heran yang melihat Debora dari belakang berjalan mendahuluinya lalu duduk dengan susah payah di atas sofa.

"Lo gak lihat gue lagi hamil besar? Sejak kapan ibu hamil lari Jo?" Kesal Debora, di tambah Joyo yang tidak membantu nya untuk duduk tadi.

"Yaudah sih biasa aja, gue kan cuman nanya." Joyo ikut duduk di samping Debora. "Emosian banget Lo jadi bumil."

"Makanya lo rasain deh Hamil, biar Lo tau apa yg gue rasain."

"Sorry, gue gak mau," tolak Joyi. "Lo aja yang rasain sendiri."

Debora hanya berdecak. "Mana makanan gue?"

Joyi menggelengkan kepala. "Emang boleh seenggak sopan itu mintanya?"

"Buruan, gue lapar!" Pinta Debora tidak sabaran, seolah tidak mendengar sindiran Debora.

Joyi yang lelah berdebat dengan Debora yang sedang hamil lantas beranjak ke dapur untuk mengambil rendang ayam yang dia buat, tentunya atas permintaan Debora.

"Nasinya mana?" tanya Debora setelah Joyi meletakkan rendang tersebut di atas meja kaca dan Debora telah duduk lesehan di atas karpet bulu.

Joyi berdecak. "Banyak mau banget nih bumil," gumamnya. "Untung lagi hamil, kalau enggak udah gue tendang keluar dari tadi."

"Nih, makan, jangan ada yang lo sisain," Joyi memperingati karena dia tidak suka jika makanan yang dia buat tidak di habisin.

Dengan lahap Debora pun memakan rendang ayam buatan Joyi tersebut. Debora benar-benar menikmati nya sampai tidak sadar rendang serta nasinya sudah habis tanpa tersisa sedikit pun.

"Kenyang banget gue," Debora bersandar sambil mengusap perut besarnya. "Anak gue pasti kenyang banget. Masakan aunty nya enak pol." Katanya sembari mengangkat jempolnya pada Joyi.

Joyi melipat kedua tangan di depan dada, lantas mengangkat sedikit kepala ke atas dengan bangga. Tidak sia-sia dia bangun pagi-pagi sekali pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan. Semua terbayarkan dengan melihat wajah senang serta puas sahabat nya yang tengah hamil tua tersebut.

"Jadi gimana kelanjutan rumah tangga lo? Gak lama lagi lo kan lahiran," tanya Joyi mulai membuka pembicaraan.

"Menurut lo gimana?" tanya Debora balik.

"Emm, menurut penglihatan gue sih rumah tangga dan hubungan lo sama Bina mulai membaik." Joyi bangkit berdiri untuk membantu Debora yang ingin duduk di atas Sofa. "Bina juga care banget kan sama lo. Dia benar-benar jagain Lo banget."

Yang Joyi tau rumah tangga Debora dan Bina sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Debora bahkan tidak pernah lagi bercerita tentang masalah rumah tangganya pada Joyi. Keduanya bahkan terlihat kompak, Bina yang selalu siap siaga menjaga Debora, menemani Debora untuk berolahraga dan masih banyak lagi.

"Dan gue rasa pun, Bina kayaknya udah gak ada lagi niatan untuk pisah sama lo. Yang waktu itu dia minta pisah ya karena cuman emosi sesaat aja." tambah Joyi.

Debora mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa sadar membenarkan semua perkataan Joyi. Karena memang itulah yang sebenarnya terjadi.

"Lo sendiri gimana?" tanya Joyi kemudian.

Debora diam sesaat. "Gue masih Cinta sama Bina. Dan kayaknya perasaan cinta itu udah bertambah."

"Bagus dong kalau gitu," sahut Joyi senang.

"Tapi gue masih ragu Jo."

"Apa lagi sih Bor yang Lo raguin?" tanya Joyi masih tidak mengerti dengan Sahabatnya itu. "Bina Cinta banget kan sama lo, keluarga dia juga sayang banget sama lo. Dan lo sendiri yang bilang kalau keluarga nya memperlakukan lo layaknya seorang anak, bagian dari keluarga mereka. Bukan seperti menantu."

Semua yang Joyi katakan lagi-lagi memang benar. Namun bukan itu yang membuat Debora ragu.

"Jo, masalahnya bukan di keluarga Bina. Tapi di diri gue sendiri. Diri gue masalahnya." Debora menatap Joyi dengan serius. "Gue ngerasa gue gak pantas ada di bagian keluarga Bina yang selalu harmonis."

"Karena lo broken home gitu?" tanya Joyi tepat sasaran.

Debora diam, karena memang iya. Dia tidak terbiasa dengan keluarga Bina yang terlihat penuh dengan basa-basi. Debora tidak suka itu.

"Bor, gue tau lo punya banyak rasa takut tentang sebuah keluarga setelah semua yang pernah lo alami di masa kecil. Tapi Bor itu semua bukan sebuah alasan untuk lo gak mau punya keluarga."

"Lo sendiri gimana Jo? Trauma lo di masa kecil juga kan yang buat lo jadi gak mau punya anak?" Pertanyaan itupun seketika membuat Joyi bungkam.

Joyi tersenyum getir. "Jangan samakan kisah kita Bor. Kita jelas sangat beda. Karena yang punya trauma gak cuman gue aja, tapi juga suami gue. Dan asal Lo tau, perempuan mana yang gak mau punya anak?"

•••

Dengan langkah pelan sambil mengusap perut besarnya serta menggigit bibirnya, Debora berjalan menuju apartemennya yang hanya berjarak satu pintu lain dengan Apartemen Joyi. Debora benar-benar merasa tidak enak atas perkataannya pada Joyi. Debora sadar dia telah menyinggung perasaan sahabat nya itu. Padahal Joyi hanya tidak mau rumah tangganya dan Bina berantakan.

Debora menghela napas. "Nih mulut emang gak bisa di kontrol banget anjirrr."

Debora yang hendak menekan sandi apartemennya terhenti ketika menyadari jika pintu itu sudah terbuka sedikit karena ada sebuah sendal yang mengganjal.

Debora menendang pelan sendal anak kecil itu kemudian segera masuk karena mendengar suara yang tidak asing di telinga nya.

Baru dua langkah dia berhenti, terdiam karena terkejut mendengar percakapan tiga orang tersebut.

"Sebentar lagi Debora melahirkan, kamu harus secepatnya urus dan ngomong sama pengacara keluarga kita mengenai hak asuh."

Ujar seorang perempuan yang Debora yakini adalah Oma.

"Oma gak mau tau hak asuh harus jatuh di tangan kita nanti. Oma gak yakin Debora bisa jaga anaknya."

"Oma, kita gak perlu urus itu." Tambah Bina. "Debora kan udah bilang kalau dia gak mau anak yang dia kandung."

"Tetap aja Bin, kita harus jaga-jaga. Karena bagaimana pun perasaan seorang ibu bisa berubah." Sahut mama kemudian.

Debora membekap mulutnya tidak percaya akan semua yang dia dengar. Genangan air mata sudah memenuhi kantung matanya.

"Ehhh, itu Aunty Debora," Ali yang baru keluar dari kamar karena sedang main sembunyi-sembunyian dengan dua saudara perempuannya pun menunjuk ke arah Debora dengan senyum cerahnya.

Lantas tiga orang yang duduk di ruang tamu itupun bangkit berjalan menuju Ali yang melihat kearah lorong pintu. Ketiganya terdiam, dan menatap Debora dengan wajah takut.

Dengan susah payah menahan air matanya agar tidak jatuh, Debora berjalan mendekat dengan percaya diri.

Debora menepis kasar tangan Bina yang memegang lengannya, menatap pria itu dengan tajam lalu masuk kedalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.

Ketiganya saling melempar tatapan.

"Debora gak mungkin dengar yang kita omongin tadikan?" tanya Mama cemas.

•••

Spam komen disini 👉

02082024 - 22:43

DEBORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang