Chapter 22: Sejarah Kembali Terulang.

216 188 18
                                    

Chapter 22: Sejarah Kembali Terulang.

Sudut pandang Ivory.

Bulan mulai menampakkan cahaya redupnya, menyinari bumi meski tak pernah dianggap.

Suara-suara jangkrik memenuhi keheningan di malam hari. Burung hantu mulai berkeliaran kesana kemari.

Demikian denganku, terjebak di dalam penjara bawah tanah yang mengerikan seperti ini.

Rantai-rantai yang bergesekan dengan tanah mulai mengeluarkan bunyi ketika aku mencoba untuk menggerakkan anggota badanku.

Klang! Klang! seperti itulah suaranya.

Sekali lagi, pandanganku mulai memudar. Wajahku semakin pucat dan mengeluarkan keringat dingin.

Tubuhku membeku dalam keheningan yang membisu, tak ada lagi suara apapun. Tak ada lagi suara rantai yang mengikatku. Tak ada lagi suara rantai yang bergesekan.

Sekuat apapun kuberusaha, tubuhku tetap tak bisa digerakkan. Rasa sakit memenuhi seluruh tubuhku yang mati rasa.

Semuanya benar-benar hening, tak ada lagi suara diriku yang mencoba mengatur napas. Semuanya, hening. Layaknya mati dalam keheningan, itulah kalimat yang pas dalam situasi seperti ini.

Kamu mengetahuinya, namun kamu tak punya kesempatan untuk bergerak. Dirimu memiliki ke-lima indra namun kamu tidak bisa menggunakannya dengan benar.

Inilah, akhir dariku. Bukankah itu hal yang mengesankan? sejarah kembali terulang karena aku melakukan kesalahan yang sama. Aku memiliki ke-lima indra namun bahkan aku tidak bisa mengunakannya dengan benar.

Seringkali sesuatu yang dianggap remeh adalah alasan dari kejatuhan seseorang. Begitu juga dengan hal-hal kecil, seperti menjadi keras kepala bahkan terburu-buru dalam menyelesaikan sesuatu.

Bukannya mendatangkan keuntungan justru mendatangkan kerugian. Begitulah hukumnya. Cobalah untuk menikmati dan mengembangkan diri sebelum terburu-buru dalam menghadapi hal terakhir yang akan kamu lakukan.

Rasa sakit yang perlahan memenuhi diriku, akhirnya sampai pada puncaknya. Ketika akhirnya aku merasakan sakit yang sebelumnya juga pernah aku rasakan, rasa sakit akan kematian.

Aku kehilangan kesadaran diriku sepenuhnya, dan mungkin selamanya. Tak ada lagi suara berdetaknya jantungku. Tak ada lagi suara bising yang memenuhi telingaku. Hening, semuanya benar-benar hening. Keheningan, dan aku mencintainya.

Di dalam keheningan tak berujung itu. Perlahan aku mendapatkan kembali kesadaranku, terdengar suara ketukan nada jam yang memenuhi seisi keheningan. Tak lama kemudian, terdengar suara air yang menetes ke bawah dengan lembut.

Aku yang akhirnya mencoba sekuat tenaga menggerakkan salah satu anggota badanku. Setelah mengalami hal pahit itu, akhirnya aku bisa bergerak layaknya orang normal. Aku terbebas dari jeratan maut kesakitan.

Escape the Destiny || by noonaaanathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang