Jendra masih betah memandangi menantu kecilnya yang terlihat gusar. Ia menemukan Narumi duduk sendiri sedang menikmati rainbow cake. Lelaki itu baru saja selesai meeting di lantai dua. Ruangan yang disediakan kafe lebih intim dan privasi.
Ketika turun, tak sengaja Jendra menemukan Narumi di antara banyaknya pengunjung kafe. Ketika melihat pelayan akan mengantar pesanan ke meja Narumi, Jendra memilih mengambilnya.
"Biar saya saja."
"Ta-tapi, Pak--" Pelayan itu terbata karena terpana dengan sosok lelaki matang di depannya.
"Saya mengenalnya. Tidak apa-apa," ucap Jendra lagi membuat pelayan itu mundur teratur.
Jendra berjalan menuju meja Narumi di sudut ruang. Gadis itu tampak tertawa-tawa memainkan ponselnya. Jendra bertanya-tanya apa yang membuat menantunya begitu senang.
"Nanti kopinya dingin," ucap Jendra seraya meletakan Americano di meja Narumi.
Narumi yang menyadari suara itu, terdiam. Dia perlahan mengarahkan pandangan ke depan. Lelaki yang dipanggil Papa Jendra itu sudah duduk manis di depannya.
"Pa-papa Jendra?" Narumi tergemap. Sosok di depannya sangat mengintimidasi. Apalagi Narumi menyadari dua kancing atas kemeja laki-laki itu terbuka. Menampilkan sedikit bagian dada bidangnya. Ya, bidang. Narumi melihat itu tadi malam. Ya ampun, kepalanya memang harus dipukul lebih kuat kalo begini.
"Kamu sendirian?" tanya Jendra. Dia pun memanggil pelayan untuk memesan sesuatu. Mengalihkan pikiran Narumi yang bertindak liar.
"I-iya, Pa. Kan, Mas Janu belum kembali." Mati-matian Narumi agar tetap terlihat tenang, tapi dasar suaranya yang tiba-tiba tersendat-sendat. Dasar!
"Dari mana?" tanya Jendra lagi. Dia menatap lurus ke arah lawan bicaranya. Tidak sadarkah Jendra, hal itu malah makin membuat nyali Narumi ciut.
"Dari interview." Untuk menghilangkan kegugupan, Narumi meminum kopinya yang masih mengepulkan asap. Dan ...
"Auh, panas!" Narumi mengipasi lidahnya yang terbakar. Aduh, ini kenapa mertuanya tidak pergi-pergi. Jadi, salah fokus terus si Narumi.
"Hei, pelan-pelan!" Jendra memberikan sehelai tissue. Wajahnya terlihat khawatir.
Narumi menerima dengan canggung. Wanita itu mengira Jendra sosok yang dingin dan tidak tersentuh. Nyatanya, lelaki berstatus ayah tiri suaminya ini sosok yang hangat dan perhatian. Berbeda sekali dengan Janu yang hanya perhatian di depan orang atau keluarganya saja. Namun, ketika hanya berdua, dia akan cuek dan asyik dengan dunianya sendiri. Duh, kenapa Narumi harus membandingkan keduanya yang jelas berbeda.
"Kamu mencari pekerjaan?" tanya Jendra lagi. Terlihat sekali pria itu ingin tahu apa yang dilakukan menantunya.
"Iya, Pa. Aku sudah izin sama Mas Janu dan diizinkan. Aku juga sudah bilang sama Mama, Pa."
"Oh, jadi, kamu ingin bekerja di bidang apa? Mungkin saya bisa mencarikan--"
"Eh, tidak usah, Pa. Saya tinggal menunggu hasil seminggu lagi," potong Narumi cepat.
Jendra mengangguk. Dia mengira Narumi akan merengek meminta pekerjaan. Namun, wanita mungil di depannya ini malah bersusah payah melakukan interview di perusahaan lain. Padahal, bisa saja dia meminta bantuan Janu atau Malini. Seketika hal itu membuat nilai tambah di mata Jendra dan tak sadar membuat senyumnya terukir, walau sangat tipis. Narumi pun tidak menyadari.
"Semoga berhasil. Setelah ini kamu mau ke mana?"
Narumi berencana ke mal. Dia harus membeli beberapa beberapa produk perawatan wajah yang sudah habis.
"Mau ke mal."
"Oke. Biar saya antar."
"Heh? Kok, gitu, Pa? Gak usah! Aku biasanya sendiri, kok. Gak papa. Papa, kan, pasti sibuk," tolak Narumi halus.
"Tidak ada penolakan. Saya sudah bilang Malini, kalau kamu sama saya sekarang. Ayo, cepat habiskan cake-nya kita jalan!" putus Jendra sepihak dan Narumi tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti titah sang mertua yang sialnya tampan. Ia tampan sehingga membuat pasang mata kaum hawa berlomba melirik pada Jendra.
Selama perjalanan, tak ada obrolan di antara keduanya. Narumi jadi sangat pendiam, apalagi pria di balik kemudi itu fokus dengan jalanan di depannya.
"Pa, kok, gak pakai sopir?" Narumi bertanya lebih dulu karena menyadari Jendra berkendara sendiri. Biasanya, papanya itu ditemani sopir pribadi bernama Ali. Dia tidak bisa berdiam diri di mobil. Jika dengan Janu, pasti ada saja hal random yang mereka obrolkan. Entah pengamen lucu atau emak-emak penguasa jalanan sein kanan belok kiri. Pokoknya apa saja yang mereka lihat, pasti jadi obrolan. Walau selalu Narumi yang memulai dan Janu menanggapi seperlunya.
"Pak Ali lagi sakit. Jadi, saya menyetir sendiri. Kenapa?" jawab Jendra menatap lurus ke depan.
"Tidak apa-apa, Pa. Tapi bener ini gak ngerepotin, kan? Mungkin Papa sibuk gitu." Narumi masih saja tidak enak.
"Tadi pekerjaan terakhir saya. Dan free sampai sore. Tidak ada yang direpotkan. Kamu sudah saya anggap anak sendiri. Jadi, ada masalah?"
Anak dari mana coba? Mana ada lelaki muda seperti Rajendra memiliki anak gadis seperti Narumi. Di mata orang-orang, mereka tampak seperti pasangan kekasih. Bahkan, beberapa perempuan menatap iri ke arah Narumi ketika turun dari mobil di parkiran mal.
"Pa, aku biar sendiri saja, deh." Narumi berusaha menjauhi Jendra karena sempat mendengar bisik-bisik tadi.
"Sudah? Saya akan tetap di belakang kamu."
Mau tidak mau, Narumi berjalan duluan. Dia harus cepat menuntaskan kegiatannya hari ini agar terbebas dari mata elang Rajendra. Ya, mata Rajendra itu tajam dengan warna hitam pekat. Persis seperti elang yang mengawasi mangsanya. Narumi harus terbiasa. Eh, maksudnya membiasakan diri.
*
Narumi menghela napas lega. Akhirnya, dia selesai membeli keperluan tubuhnya. Kini, saatnya melangkah pulang. Sejak tadi, si mertua benar-benar hanya berjalan di belakangnya. Lelaki itu tidak bertanya atau menawarkan untuk membayar belanjaan. Narumi sudah seperti dikawal ke mana-mana.
"Sudah selesai?" tanya Jendra setelah melihat Narumi hendak turun ke lantai dasar.
"Udah, Pa."
"Apa kamu tidak ingin membeli pakaian? Sepertinya, itu cocok untuk kamu." Tunjuk Jendra pada sebuah gaun tidur tipis menerawang berwarna dusty pink. Ia mengingat kemarin malam Narumi memakai pakaian sejenis. Namun, kali ini modelnya lebih terbuka.
"Hehehe, untuk Mama Malini keknya cocok, Pa." Narumi tertawa kaku.
"Malini tidak suka warna itu. Dia penyuka warna putih," sanggah Jendra. Matanya masih mengarah ke gaun tidur tersebut.
"Hehehe, aku juga tidak suka, Pa. Hehehe," tawanya masih kaku. Padahal, hampir semua benda milik Narumi berwarna pink.
"Tidak suka, ya? Lalu tas dan sepatu kamu?"
Deg!
Narumi melupakan satu hal. Saat ini dia menggunakan sepatu dan tas berwarna pink. Ayo tenggelamkan saja Narumi ke dasar sungai paling dalam. Narumi malu! Dia berjalan cepat menuruni eskalator, menghiraukan panggilan dari sang papa mertua yang sialnya masih saja tampan.
Rajendra tidak tinggal diam. Dia mengikuti dengan langkah lebarnya. Namun, sialnya Narumi sangat cepat, walau langkahnya pendek.
"Shit!" Jendra mengumpat setelah tidak menemukan keberadaan Narumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hangatnya Ranjang Ayah Muda
ChickLitNarumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh-jauh sana!