Memaafkan tidak untuk melupakan

8K 301 10
                                    

Btw, kenapa sepi banget?


....



Sebulan berlalu begitu saja. Sepanjang itu pula Narumi sudah tujuh kali datang ke psikiater. Dia juga harus melakukan terapi terus menerus. Jendra selalu berada di sampingnya. Pria itu menyempatkan waktu di sela kesibukan untuk sekedar menemani Narumi.

Hari ini kunjungan mereka ke empat kalinya. Keadaan Narumi jauh lebih baik. Dia sudah banyak tertawa dan ceria seperti biasa. Hanya kadang masih sering bermimpi buruk di malam hari. Namun, karena adanya Jendra, keadaan itu lebih mudah teratasi.

Selama sebulan itu pula, Narumi sama sekali tidak mendengar kabar Janu. Sesekali dia ingin sekali bertemu dengan pria itu sembari meluruskan kesalahpahaman yang lalu. Namun, setiap kali ia mencoba menghubungi, nomor Janu tidak pernah aktif. Narumi baru sadar, ia tidak banyak mengenal Janu, atau pun teman-teman suaminya itu.

Narumi juga tidak pernah bertemu orang-orang dari masa lalunya. Hanya sekali nomor tak dikenal mengirim pesan menanyakan kabar mengatasnamakan dirinya sebagai Newina. Namun, malah ia blokir saja. Narumi tidak ingin lagi mengingat mereka. Dia ingin kembali melupakan, walau mungkin itu sangat sulit.

"Hei, kenapa melamun?" Jendra yang baru pulang bekerja, menghampiri Narumi yang duduk termenung di stool bar depan kitchen set.

"Papa? Kok, aku gak denger?" Narumi cukup kaget karena tidak mendengar langkah papanya itu. Senyap seperti kepak burung hantu.

"Hahaha, kamu saja yang melamun, Naru! Apa yang dilamunkan?" Jendra duduk di hadapan Narumi sembari menenggak air mineral yang baru saja ia ambil dari kulkas.

"Pa, apa Mas Janu ada menghubungi Papa?"

Jendra mengerti kegelisahan Narumi. Dia lantas menatap serius ke arah wanita berdaster batik itu. Ya, selama tinggal di apart Jendra, Narumi memakai daster sebagai pakaian rumahan. Dia membelinya secara online karena murah. Mana semuanya bermotif batik. Padahal, dulu ia selalu ogah memakai pakaian rumahan khas ibu-ibu itu.

"Kamu ingin bertemu dia?"

"Humm, aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Entah kenapa aku gak bisa benci sama Mas Janu, walau aku tahu Papanya yang membunuh Ibu, dia bermain dengan wanita lain, bahkan melakukan hal yang sangat kasar. Aku malah kasihan. Mas Janu itu sama seperti aku, Pa. Dia sekarang sebatang kara." Alih-alih benci, Narumi malah kasihan. Matanya mulai berkaca-kaca.

Begitupun Jendra. Dia juga berpikir begitu. Selama sebulan ini, sudah tiga kali dia bertemu dengan Janu secara sembunyi-sembunyi. Anak tirinya itu juga menceritakan semua yang telah terjadi padanya. Jendra sama sekali tidak keberatan saat Janu meminta bantuan. Ia malah senang, Janu adalah anak Malini, berarti anaknya juga, kan? Walau Malini sudah tidak ada. Jendra tetap menganggap Janu sebagai anak. Terlepas dia pernah memukul Janu saat berlaku kasar pada Narumi.

"Naru, apa kamu masih mencintai Janu?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Narumi memandang heran.

"Kalau cinta keknya sudah enggak, Pa. Kalau sayang iya. Sayang sebagai kakak. Aku juga gak tau kenapa akhirnya bisa begitu. Alih-alih mencintai, aku lebih suka bilang menyayangi. Ya, aku sayang Mas Janu. Sebagaimana aku sayang kepada Mama Malini."

"Kalau dengan saya?"

Deg!

Narumi jadi sulit berkata-kata. Dia merasa pipinya memanas. Kenapa tiba-tiba papanya ini bertanya seperti itu? Hanya karena sebuah pertanyaan, dadanya bergetar hebat. Padahal, sudah banyak hal mereka lalui, bahkan hampir make out. Aih! Membayangkan kejadian-kejadian itu membuat Narumi tambah malu. Ia rasa pipinya benar-benar memerah sekarang.

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang