Kainan Adipati

4.2K 176 12
                                    

Jangan lupa  vote!

....


Hujan masih mengguyur, walau tidak deras lagi. Namun, tetap saja dinginnya menusuk kulit-kulit manusia yang terbuka. Begitupun Narumi, sejak tadi ia tak henti menggosok telapak tangannya karena dingin menyerang.

Jendra yang baru kembali meninggalkan Janu, melepaskan coat panjang yang tadi dipakaianya sewaktu di mobil. Kemudian, menyampirkan di bahu Narumi.

"Pakai!" Pendek dan jelas.

Narumi diam saja. Bukan waktu yang tepat untuk membantah. Jadi, dia tetap memakainya karena memang dress motif bunga yang dipakainya itu tidak dapat menghalau dingin.

Di sisi lain, Janu menangis dalam diam. Tubuhnya bersandar ada tembok kamar mayat yang dingin. Namun, tak lebih dingin lagi dari perasaannya saat ini. Lima tahun lalu dia juga merasakan hal yang sama, saat kematian papanya, Kainan Adipati.

Saat suara sang papa terputus di seberang telepon, saat itu juga Janu pergi mencari keberadaan Kainan. Dia berkendara kesetanan, sampai hampir menabrak sejumlah pengendara motor.

Dia ingat kalimat terakhir sang ayah saat telepon terputus. Tato naga, ya, Janu yakin itu. Sebab, sebelum benar-benar sambungan mati, suara orang lain terdengar di sana.

Masih terlalu awal menarik kesimpulan tentang kecelakaan, tetapi yang pasti Janu yakin ada orang lain di sana. Baru tiba di gerbang tol, ponsel Janu berbunyi. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal.

Janu yang saat itu masih berusia 20 tahun segera mengangkatnya. Dia berpikir mungkin saja penting. Dan benar saja, telepon tersebut dari sebuah rumah sakit yang mengabarkan sang ayah sudah meninggal dunia.

Dunia Janu berhenti seketika. Dia tidak mendengar saat pengendara di belakangnya mulai marah dengan menekan kencang klakson mobil mereka. Beberapa menit dalam kekosongan, Janu akhirnya tersadar saat petugas tol mengetuk kaca mobilnya.

"Maaf, Mas membuat kemacetan di belakang," ucap petugas tol wanita berseragam menggunakan hijab.

Janu tersadar dan memutar arah mobilnya sembarang. Lagi-lagi dia tidak peduli teriakan bahkan makian dari pengendara lain. Saat ini, ia hanya ingin memastikan keadaan Papanya bukan sekedar mimpi belaka.

Dua puluh menit kemudian, Janu sampai di sebuah rumah sakit militer di daerah Jakarta Pusat. Pria itu bergegas menanyai resepsionis di lobi rumah sakit.

"Bapak Kainan disemayamkan di kamar mayat lantai dua," ucap resepsionis tersebut.

Tidak menunggu lama, Janu dengan tergesa menaiki lift yang kebetulan kosong. Dia langsung menekan lantai dua di mana ruang persemayaman jenazah.

Sesampainya di sana, Janu sudah melihat mamanya terduduk lemas. Terlihat beberapa orang berpakaian seragam Kepolisian juga berdiri di sana.

"Ma," panggil Janu, membuat Malini mengangkat wajahnya yang terlihat kacau.

"Janu ..." tangis Malini pecah lagi di pelukan Janu.

Mamanya itu meraung, membebaskan segala sesak yang terasa akan membunuhnya saat itu juga. Kehilangan belahan jiwa tiba-tiba, membuat separuh nyawanya tak menapak tanah.

"Jan, Papa baik-baik saja, kan? Papa baik-baik saja, kan?" ujar Malini di sela tangisnya.

"I-iya, Papa baik-baik saja." Di sisi Tuhan maksud Janu.

Tangannya mengepal erat. Melihat kesedihan meyelimuti sang ibu, Janu tidak suka. Dia akan mencari tahu sendiri siapa dalang kematian ayahnya.

Sejak saat itu, Janu tidak pernah lelah mencari tahu. Hampir tiap minggu, dia mampir ke kantor polisi untuk menanyakan perihal hasil penyelidikan. Namun, polisi selalu bilang belum selesai. Beberapa minggu kemudian, pihak kepolisian mengumumkan hasilnya dan makin membuat Janu emosi dan tidak percaya.

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang