Ada yang pergi, tapi bukan aku

6.7K 241 19
                                    

Jangan lupa, bintangnya!





"Mas mau ke mana?" tanya Narumi heran. Dia merasa Janu akan pergi jauh. Ciuman di kening dan kata-kata lelaki itu sangat jelas, bahwa ia akan pergi.

"Sudah aku bilang, Na, aku gak pergi ke mana-mana." Janu menghapus air matanya sembari terkekeh.

"Jangan bohong, Mas. Aku tanya sekali lagi, kamu mau ke mana?"

"Gak ke mana-mana, Sayang. Beneran, deh. Oh, ya, tadi kamu sudah makan?" Janu mengalihkan pembicaraan dan Narumi tidak menyukai itu.

"Sudah. Papa memberiku makan terus. Nih, lemak di perut numpuk." Narumi menunjukkan perutnya yang sama sekali tak berlemak.

Janu kembali terkekeh. Istrinya ini cerewet sekali sejak dulu. Ya, Janu baru menyadarinya, sejak bertemu delapan bulan lalu, sosok Narumi tidak berubah. Padahal, sudah banyak sekali ia menyakiti Narumi, tetapi sikap istrinya tetap hangat.

"Papa baik, ya? Duh, aku gak bisa bayangin, kamu jadi mamaku, Na. Ntar judulnya, 'Mamaku adalah Mantan Istriku'. Keknya, author seneng banget punya judul baru."

Bercandaan itu sama sekali tidak lucu. Narumi gak ngerti jalan pikiran Janu. Tadi nangis, sekarang ketawa-ketawa yang miris. Ya, ketawa penuh kesedihan.

"Sudah, Mas? Gak ada yang lucu, padahal. Aku tanya sekali lagi, kamu mau ke mana?" Narumi itu batu. Salah jika Janu berpikir bisa lolos dari desakan Narumi.

Pria itu menghela napas panjang. Dia beralih meluruskan duduknya tidak lagi menghadap Narumi. Matanya menatap kosong pada jajaran komputer milik Abed yang layarnya menghitam.

"Aku gak tau cerita dari mana, Na. Yang pasti, aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa menjagamu lagi. Menjaga diriku sendiri saja butuh bantuan Devan dan Om Jendra. Aku ... aku buronan, Na. Kamu pasti ingat kejadian waktu makan malam itu?"

Ya, Narumi mengingatnya. Dia kembali menatap Janu, penampilan Janu sekarang mirip sekali dengan pelayan pria yang terus saja menatapnya kala itu.

"Jadi itu kamu, Mas?"

"Iya. Aku bukan agen asuransi, Na. Aku ... aku assassin," aku Janu tanpa satu pun ditutupinya lagi. Ya, dia tidak ingin menyesal lagi.

Narumi agak kaget sebenarnya, tapi selama ini dia bersama Jendra sebulan ini, dia bisa mengendalikan emosi dan tetap tenang.

"Udah? Terus, kamu mau ke mana?"

Janu takjub. Dia kira Narumi akan marah, bahkan menamparnya. Dia sudah siap dengan pipinya. Namun, reaksi terkesan biasa saja dari istrinya cukup membuat Janu heran.

"Kamu ... gak papa, Na? Kamu gak takut sama aku?"

"Takut kenapa? Emang kamu bakal ngebunuh aku gitu?" Narumi menaikkan sebelah alisnya.

"Heh, mulutnya!" Janu sontak menepuk pelan mulut Narumi.

"Ya, kan, kudu ngapain? Aku sering nontonin drakor yang bunuh-bunuhan gitu. Biasa aja kali."

Janu menepuk jidat. Ini Narumi benar-benar berani atau pura-pura, sih? Atau dia sengaja berpolos ria?

"Mas, aku tidak mengurusi itu. Aku tanya kamu mau ke mana?"

"Humm, aku akan pergi sementara waktu, Na. Kamu harus tetap bersama Om Jendra, ya."

"Ke mana pun itu, Mas, tetap jaga diri. Aku tahu, kamu pasti dalam bahaya sekarang. Sehingga kita bertemu di sini, kan? Aku memang gak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa kamu memang dalam bahaya, kan?"

Apa wanita memang perasaannya memang sepeka itu? Janu merasakannya sekarang. Setelah dulu Mamanya yang selalu bisa menebak, kini Narumi.

"Ya."

Hangatnya Ranjang Ayah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang